Bancamara
Aku menghirup setiap nafas ikan di sudut buritan
dan serakan gemintang di pojok selatan
terjaga, antara rumah-rumah di runduk siwalan
Sepanjang jalan membentang
kudengar kakek menembang setengah sumbang
;rinduku pecah pada kampong tumbang
Di hari yang kian sepi,
ibu duduk di depan tungku yang menyalakan api
berharap matahari lahir di sini
untuk melawan temaram, nanti
Pendar angin melintas di atas pagar
pekiknya ke mana-mana terdengar
menemani sunyi yang kutanggalkan
Di sini, aku lahir
dari patahan karang
dari ombak yang terus kusibak
nun jauh,
desah nelayan menghentak
Memasuki perkampungan ini
hanya dongeng leluhur yang kukhidmati
kutahu tak ada sebentuk apa pun di sisi.
Andherenat
Dengan mantra secukupnya, aku berdiri
di tengah dahaga memekik dan matahari yang kian terik
desau lumbung ke mana-mana terdengar, berletupan
sampai jalan melintang
Tak ada batang jagung runduk tinggal tanah yang membusuk
dada yang dahulu busung satu persatu pelan limbung
angin mendesir ke hilir lalu bisu di hadapan musim
;aku mulai menangis sewajarnya
sedang kabut berdiam di pojok ladang
sebentuk ketakutan di hari menjelang
Kepada ranting kering, yang gugur dengan hening
sulur doa kurapatkan, mengharap
puing gerimis melesat dengan wingit
tembang-tembang berdentam
menghentak berpuluh gamang
dan kukhidmati, ritual yang lari dari dongeng
ratusan tahun lalu
sementara tujuh rupa kembang perawan,
menyekapku diam-diam
;matahari gusar di tempatnya, awan menggumpal
mulai bergetar
Dengan bahasa dada, lagu-lagu diterbangkan kakek
desau lumbung mulai merendah
hanya sayup-sayup didengar sendiri
menawarkan cerita tanpa henti
adalah kicau burung yang sejenak indah
lantas lubur
Di kepalaku dahulu, hujan bersarang
Lama-lama mengerang
kini ia enggan dipandang
Mantra-mantra yang semalam ayah asah
lebih perkasa dari apa pun dari siapa pun
ada langkah yang tak lagi asing di beranda
(anak-anak hujan tunjam setelah kupaksa)
lalu kusabun luka-luka
sambil menegur desing dahaga
Tak ada yang lebih perkasa dari petuah purba
atau sekadar ayat yang jatuh mengenai sawah
sekarang sejenak kuindahkan
celoteh anak gembala di perbatasan lembah
menunggu ekor hujan tiba.
Petik Laut
Entah bersama siul angin yang menujum langit
atau dentum ombak dengan raut cemburu
di sini, kerap berdesik-desik perihal cita
sebelum embun mencium tanah
kini setelah lama kesakitan kuperam
menghalangi ritual dan kidung keberangkatan
ada keceriaan yang kugaris beberapa langkah
dari gerimis
sedang dermaga tempat meredam maha duka
Desah orang-orang pantai dan ombak
sama-sama menghentak
kesakitan satu persatu kusibak
doa yang kujahit menekur angin
nafas ikan di burasin
menjelma letupan dalam kuntum gelombang
sampan-sampan menyapa buritan, berpacu
sepanjang tenang
maka kubiarkan bitèk harapan memahat jalan
tak kulupa puluhan mantra kuberikan secukupnya
bila merasa kurang kau boleh kembali
walau hanya gigil yang kau haturkan
Setelah lama tak terdengar hilir angin
yang biasa berpendar, dari utara
terus melebar membentur layar
aku tengadah, ku bayang-bayang
setitik cahaya jatuh mengenai wajah
lebih-lebih setelah tubuh disergap dahaga
Sekarang, pasir putih berkilauan
anak angin berkejaran menyempurnakan celoteh
aku terjaga sebelum subuh dikumandangkan
dan upacara ini
mengekalkan semangat orang pesisiran.
Keterangan:
Bancamara: Desa di Pulau Giliyang, pulau yang memiliki kadar oksigen tertinggi kedua setelah laut mati di Yordania berdasarkan hasil survei LAPAN.
Andherenat: Ritual pemanggil hujan masyarakat pulau Giliyang kala kemarau panjang.
Petik Laut: Selamatan laut atau disebut rokat tase’ oleh masyarakat Giliyang.
Bitèk: Perahu kecil yang dibuat untuk memuat sesaji dalam prosesi petik laut.
Pegiat Sanggar ASAP MA. Nasy’atul Muta’allimin Gapura & Kelas Puisi Bekasi
Menyukai ini:
Suka Memuat...