TIDAK terasa ramadan akan berakhir. Bulan yang segala lipat ganda pahala dan keberkahan serta napak tilas turunnya al-Qur’an (nuzulul qur’an) yang sudah barang tentu merupakan kewajiban yang dijalankan bagi umat Islam di seluruh dunia.
Melalui bulan ramadan ini setidaknya kepekaan rohani semakin membuncah kepada hadirat-Nya. Dengan demikian, bulan puasa sebagai madrasah spritual untuk menempa diri (riadlah), serta mengekang segala macam godaan hawa nafsu, baik lahir maupun batin. Kita juga dianjurkan melakukan hal-hal yang–meminjam istilah Prof. Dr. Komaruddin Hidayat– mencerahkan kehidupan sosial kita pasca bulan Ramadhan. Inilah tindakan terpuji serta dijanjikan berlipat-lipat pahala melalui amalan-amalan yang mulia.
Tak ayal, bagi hamba-Nya yang memiliki kepekaan rohani yang mendalam, tentu rasa kehilangan disertai perasaan sedih, bahkan isak tangis tak terasa bercucuran, lantaran tak mampu melepas rindu yang terasa sebentar. Kita belum tidak menjamin bisa merasakannya di tahun mendatang. Tentu ada rasa penyesalan yang teramat sangat jika bulan penuh ampunan (maghfirah) ini dengan menyibukkan diri dengan aktifitas keduniawian sehingga lalai atau tidak patuh dalam menjalankan perintah-perintah-Nya. Ini dikarenakan nyaris di antara umat Islam kurang melakukan pendalaman makna yang utuh agar bagaimana seharusnya memanfaatkan bulan yang dimuliakan oleh Allah Swt.
Ramadan, Maafkan Kami
“Allah, maaf, kami masih saja sibuk. Kami lebih sibuk mempersiapkan mudik kami, hingga kami lengah mengisi Ramadan-Mu yang hendak berakhir ini. Kami sibuk mempersiapkan Lebaran kami, sehingga tak sadar bisa jadi ini Ramadhan terakhir kami.” Itulah sepotong renungan filosofis-sufistik Ahmad Rifa’i Rif’an dalam Buku Ramadan, Maaf, Kami Masih Sibuk. Sebuah renungan yang benar-benar menggugah kesadaran batin kita bahwa, bulan yang penuh berkah ini terasa terlewati begitu saja. Barisan kalimat yang kaya makna tensebut menjadi pelecut semangat untuk memperbaharui diri agar kita menjadi pribadi yang berkualitas dalam menjalankan perintah-perintah-Nya.
Namun demikian, menodai perjalanan bulan suci dengan tindakan-tindakan yang amoral justru menciderai esensi bulan penuh rahmat ini. Maraknya kasus korupsi di tengah pandemi, intoleransi, anarkisme, vandalisme, menebar kebencian, hingga tindakan-tindakan tidak kala terpuji lainnya menjadi menu yang tersaji di layar kaca dan media informasi lainnya. Di samping itu, tanpa disadari pula, kita juga sibuk dengan kesalehan-kesalehan individual daripada kesalehan sosial (hablun minallah wa hablun minannas).
Lebih lanjut, Ahmad Rifa’i Rif’an, menyentil kita melalui renungan berikut ini: “Tuhan, maaf, Ramadan-Mu kami terlantarkan. Padahal ini kesempatan dari-Mu untuk meninggikan derajat kami, menghapus dosa-dosa kami, mengasah kepekaan sosial kami, menghias jiwa kami,” tulis Ahmad Rifa’i Rif’an dengan renungan yang sangat kritis.
Mata Air Kesalehan
Selagi ada sisa umur kita semestinya pantang menyerah belajar mengasah kepekaan (hasasiyah) agar ramadan tahun ini—lebih di luar zona bulan ramadan—memiliki bekas yang memiliki pengaruh yang kuat bagi perilaku-perilaku kita pasca ramadan. Sehingga ibarat sebuah senyuman, ramadan yang telah pergi akan terus dikenang dan selalu dirindukan. Dengan izin-Nya, kita dapat bersua kembali pada bulan penuh kenikmatan itu.
Dengan demikian, ramadan tidak hanya sekadar renungan yang mengingatkan kita tentang pentingnya puasa, akan tetapi juga menggugah kesadaran batin kita bahwa, betapa bulan suci ini adalah tambang kekayaan yang harus dimanfaatkan. Dalam istilah Ahmad Rifa’i Rif’an (2017), di bulan suci ini kita diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk bisa meneguk mata air kesalehan. Yaitu semacam kesadaran ilahiah dalam menebarkan kebajikan kepada sesama.
Mata air kesalehan adalah inti dari ramadan. Barang siapa yang sanggup mereguk mata air ini pastilah hidupnya dihiasi dengan kearifan dan kesalehan. Namun demikian, bagi mereka yang tidak sanggup, puasanya tidak akan memiliki efek apa-apa, baik bagi kesalehan dirinya, lebih-lebih bagi lingkungan sosialnya.
Dalam konteks inilah, ketika ramadan mendekati detik-detik akhir, kita harus senantiasa merenung sedalam-dalamnya apakah puasa yang kita jalani diterima oleh-Nya atau justru ditolak. Selalu evaluasi, koreksi, dan instropeksi pada diri kita itu sebuah keniscayaan.
Ahmad Rifa’i Rif’an kembali menyentil kita dengan mempertanyakan kualitas ibadah puasa kita; Ramadan merupakan madrasah yang harusnya membentuk jiwa muslim menjadi pribadi yang bertakwa. Maka jika setelah keluar dari ramadan tetapi akhlak kita, ibadah kita, kekhusukan kita, keikhlasan kita, tak mengalami peningkatan sigifikan, maka layaklah kita bertanya pada diri, apakah benar kita sudah menang?
Itulah sebabnya, ungkapan Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali layak diresapi: “Tanda diterimanya amal ibadah hamba di sisi Allah adalah ketika satu ketaatan menuntunnya pada ketaatan yang lebih baik lagi. Adapun tanda ditolaknya amal seorang hamba adalah ketika ketaatan disusuli dengan kemaksiatan. Dia tak tercegah darinya. Dan tanda diterimanya tobat seorang hamba adalah jika kekeliruan masa lalunya tak diulang dan dia terus sibuk berketaatan.”
Karena itu, selama sebulan penuh, kita menempa diri—dengan meningkatkan iman dan takwa—serta mengendalikan dari segala macam godaan atas larangan-Nya, agar kita dapat mengakhiri rukun Islam yang 4–sebulan penuh– ini dengan baik, dan menutupnya dengan kemenangan di hari nan fitri. Wallahu A’lam Bishsawabin…
Alumni Magister Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Menyukai ini:
Suka Memuat...