Kita tahu bahwa salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia adalah NU, dengan beragam sikap moderat dan toleransinya, membuat ormas ini bisa leluasa dan diterima dengan mudah oleh masyarakat luas. Mbah Hasyim Asy’ari adalah salah satu pendiri ormas yang memegang prinsip Ahl Assunnah wa Al Jamaah sebagai Manhaj ad Diniyah (metodologi keagamaan), Manhaj al Fikr (metodologi berpikir), dan Manhaj al Harokah (metodologi berproses atau bergerak). Dari ketiga metode itulah kemudian warga Nahdiyin memiliki karakteristik moderat dan toleran.
Mewujudkan Islam yang rahmatan lilalamin menjadi satu orientasi NU dalam melanjutkan dakwah Nabi Muhammad SAW. Pun menjaga citra Islam sebagai agama yang mengayomi, tidak mendiskreditkan siapa pun yang berada di luar Islam. Karena prinsipnya adalah la ikraha fi addin, tidak ada paksaan dalam keberagamaan. Oleh sebab itu akan menjadi kewajaran ketika NU kemudian merangkul siapa pun, baik yang berbeda secara prinsip keilmuan tentang akidah, pun yang berbeda secara keagamaan. Apalagi terhadap ormas Islam yang lain, dalam hal ini FPI.
Maka ketika NU dipandang berdamai dengan FPI atau ormas yang lain, pertanyaan sederhananya adalah “oh… jadi dulu NU pernah bermusuhan, dan sekarang sedang berdamai? Mengapa opini publik selalu membangun persepsi yang membingungkan masyarakat awam? Di saat banyak pergeseran nilai yang terjadi, justru tidak sedikit orang “pintar” yang membangun opini publik sehingga ada interpretasi yang berujung pada justifikasi yang over–generalisasi.
NU memiliki prinsip yang dipegang teguh dalam menjalani kehidupan yang beragam di berbagai sisi. Moderat dan toleran adalah bentuk sikap sosial maupun intelektual yang selalu menjadi metode berpikir pun bertindak dalam tubuh NU. Dengan psikologi masyarakat yang berbeda-beda, prinsip yang berbeda-beda pula, justru akan menjadi sangat beragam interpretasi dari opini publik yang dibangun, ketika NU, FPI, Muhammadiyah atau ormas yang lain dibenturkan dalam berbagai disiplin ilmu atau pendekatan syariat dan akidah.
Jika Nasrani dipuji oleh Tuhan karena sikap dan loyalitas terhadap persahabatan yang sangat kuat, maka umat Nabi Muhammad memiliki label sebagai umat penengah, pun sebagai khaira ummatin. Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana menjadi umat penengah atau sebaik-baiknya umat, jika masih saling gaduh dan kisruh satu sama lain? Seharusnya menjadi tumbuhnya sikap hati-hati dalam melangkah dan menjalani amanah Tuhan tersebut (Ali-Imran: 110).
Substansinya adalah menerima perbedaan sebagai rahmat, karena dengan begitu konsep syura dalam Alquran menjadi sangat penting dalam kehidupan beragama. Apalagi NU dan FPI pun ormas-ormas yang lain. Kecuali yang sangat sulit menerima perbedaan, dan menghendaki kebenaran secara sepihak. Hal ini sejalan dengan sunnah Nabi bahwa ia diutus untuk menumbuhkembangkan etika dan moral, tujuannya adalah memahami dan menghormati sesama.
Banyak orang beragama tetapi jauh dari sikap keberagamaan, hal ini pernah disampaikan oleh Gus Dur dalam salah satu esainya. Dengan kata lain, label agama yang melekat belum tentu menunjukkan bagaimana sikap dan etikanya. NU atau ormas yang lain yang mengedepankan kemanusiaan memiliki dasar bahwa “sesungguhnya Allah menjaga agama ini maka bersikaplah dermawan dan berbudi luhurlah, karena agama dihiasi dengan dua prinsip sosial itu” (Mau’idlatul Mu’minin min Ihya’ al Ulum ad Din; Juz II, hal. 204).
Sehingga ketika opini yang berkembang adalah kompetisi antara NU dan FPI maka secara tidak langsung menengarai adanya perpecahan dalam tubuh Islam sendiri. Lantas apakah tidak ingkar terhadap hadis Nabi di atas? Silakan Anda jawab sendiri. Karena yang pasti jika hari ini NU merangkul FPI maka secara langsung ada usaha untuk mewujudkan kontekstualisasi dari hadis di atas. Bahwa bersikap dermawan tidak hanya ditandai dengan meluangkan sebagian rezeki, tetapi juga dalam bentuk yang lebih luas, pemikiran atau dukungan misalnya. Pun bersikap yang luhur, atau menumbuhkan sikap yang etik adalah orientasi dari setiap ormas, atau setiap personal yang berpengetahuan dan berprinsip, pun mengejawantahkan nilai-nilai keberagamaan.
Tentunya tulisan ini tidak memuat secara utuh perihal sikap NU dan FPI serta nilai keberagamannya. Tetapi selagi masih tertanam sikap, moral, dan meta–etik, maka dapat dipastikan bahwa setiap manusia yang beragama memiliki kesadaran untuk senantiasa belajar untuk lebih baik dari sebelumnya. Karena dengan begitu, bukan perihal mesra atau tidak hubungan NU dan FPI atau dengan ormas yang lain, melainkan bagaimana selalu menumbuhkan sikap saling menghargai dan menjaga kedamaian negara antara satu dengan yang lain.
Sedang Nyantri di Bayt Al-Karim Gondanglegi dan Bayt Al-Hikmah Kepanjen Malang