Pada momen lebaran di kampung kemarin, suasana yang terhampar begitu lekat dengan rangkaian kekayaan kita akan tradisi lisan yang sangat luar biasa. Usaha menyambung tali silaturahmi (kasih sayang) dengan bermaaf-maafan antar keluarga, tetangga dan sanak keluarga tidak hanya digelayuti oleh kemampuan artikulasi kebahasaan yang lemah, monoton, sangat standar, dan resmi sekali yang ditularkan lewat perbincangan tak berujung ihwal kontestasi politik negeri ini. Melainkan juga dihiasi oleh dongeng, cerita rakyat, dan mitologi yang turun-temurun lintas generasi kita kagumi.
Kekuatan tradisi kita mengabadikan rangkaian kekayaan tradisi lisan terpapar sebagai nilai inklusif terhadap terpaan gelombang zaman yang menerpa bak tsunami. Luberan informasi (information spill over) yang kini dihadapi sebagai persoalan lain, bermuwajjahah dengan jernihnya kesegaran rohani yang tumbuh dari persemaian cerita, dongeng, ataupun mitologi yang secara mengalir diceritakan oleh orang tua kita.
Banjir informasi itu, tak tampak memberikan pesona apalagi inspirasi rohani. Sementara kearifan cerita rakyat, dongeng dan mitologi yang dijadikan materi silaturahmi kita begitu kuat energi kebudayaannya, seperti air dari gunung-gunung yang turun ke lembah menjadi sumber air yang segar bagi masyarakat yang—meskipun jauh dari gunung itu sendiri.
Anak-anak yang suka diperdengarkan dongeng sebelum tidur, juga menjadi faktor yang menuntun imajinasi mereka berkembang pada penciptaan mitos-mitos baru perihal mimpi kebesaran Indonesia. Indonesian dreams.
Kata Mohammad Sobary, tradisi lisan itu telah menjelma menjadi Ibu kita, Bapak kita, Nenek-moyang kita. Dan juga menjadi seperti Kiai kita, Pastor kita, Biksu kita, Padende kita, pendeknya ia menjadi Oemar Bakri kita. Dari sanalah kita memetik kedalaman pesan politik, budaya dan moral yang teraktualisasikan melalui kekuatan peran ketokohan dan alur dalam cerita, dongeng dan mitologi tersebut.
Ihwal tradisi lisan itu, baik yang “milik” kita maupun yang bukan “milik” kita, melalui mekanisme kebudayaan yang canggih, lama kelamaan terasa semakin akrab, melebur, dan sudah tidak menjadi penting, antara milik kita atau tidak milik kita. Seperti cerita yang termaktub dalam Kitab Suci melalui dongeng Ibrahim sampai Abu Lahab, atau dongeng Simbad dan Aladdin, Nasruddin Hoja sampai Saridin, Mahabarata hingga Kolor Ijo, Majapahit sampai Demak dan Mataram.
Semua diceritakan untuk kemudian diambil sebagai energi budaya yang sanggup mengangkat kuasa imajinasi simbolis terhadap hidup yang lesu akan rangsangan kultural dan imajinasi simbolis seperti dialami oleh ustaz yang melabeli Masjid As-Safar sebagai Masjid Iluminati. Bahwa mungkin ia lupa bagaimana dunia kalau tidak ada segitiga.
Rangsangan kultural dan imajinasi simbolis adalah dua hal penting yang lahir dari peresapan tradisi lisan. Kekuatan itu melenturkan kita terhadap kehidupan yang kian menegang. Tuntutan hidup yang melelahkan dan silang-sengkarut dunia perpolitikan menjadi hal lain yang menghentikan peran culture matters dalam mewarnai kepribadian manusia untuk merumuskan langkah-langkah profetik sebagai ajudan hidupnya.
Karena kedalaman rohani yang diartikulasikan lewat rangsangan kultural dan imajinasi simbolis itu, seorang Bapak Proklamator kita, Bung Karno, secara simbolis menyebut dirinya sebagai Putra Sang Fajar, yang memancarkan fajar kemerdekaan. Bung Karno, secara simbolis pula menyebut dirinya Karna, putra Dewa Surya, artinya Dewa Terang, Dewa Fajar, yang menyingsing. Karena kedalaman karakter yang diperkaya oleh tradisi lisan—cerita, dongeng dan mitologi—itu, kita menjadi pribadi yang kuat secara sosial, secara politik, dan kuat secara moral.
Kearifan zaman dengan cara yang luar biasa mendidik kita, menghibur kita, membuat kita kaya rohani, juga kaya imajinasi dan kreativitas, sehingga hidup tidak hanya ditimbuni oleh beban dan kesulitan-kesulitan yang menekan dan mengimpit kita yang membuat kita lemah, tertekan dan frustrasi. Tapi sebaliknya, hidup memancarkan optimisme, kesegaran dan harapan yang menjadi energi budaya yang tidak terukur lagi kekuatannya.
Ya, siraman rohani tidak dapat kita serap dari banyak segi. Dari cerita, dongeng, mitologi, bahkan pembacaan terhadap gejala alam (sasmita alam), digaungkan seraya mencermati gejala zaman. Sembari juga bersilaturahmi menghabiskan jajan tuan rumah, eloknya kita bertukar cerita, memberi wawasan baru, memberikan rangsangan kultural dan imajinasi baru untuk Indonesia yang lebih baik-baik saja.
Peneliti Muda Isais UIN SUKA