Reforma Agraria merupakan salah satu solusi kongkrit yang dicoba dilakukan oleh beberapa founding fathers/mothers kita semenjak negeri ini berdiri. Land reform berasal dari bahasa inggris yang memiliki arti pembaharuan perihal kepemilikian, penguasaan dan pemanfaatan hak atas tanah
Program ini merupakan sebuah sanggahan atas tata kelola tanah yang tak sehat akibat dari konstruksi hukum kolonial sebelumnya; Agrarische Wet 1870, aturan ini sarat akan kepentingan sepihak Penjajah untuk mengeksploitasi sumberdaya alam Indonesia dengan cara membuat stratifikasi sosial atas tanah, monopoli lahan atas dasar kepentingan Negara colonial hindia belanda sebagaimana kita kenal dengan konsep Domein Verklaring.
Muara dari itu, ditahun 1938 di Pulau Jawa saja terjadi ketimpangan penguasaan tanah yang tinggi, dengan rincian Jumlah Pemilik tanah kurang dari 1/3 ha sebanyak 70% KK, 1/3ha-1ha sebanyak 25% KK, 1 ha-2 ha sebanyak 3% KK, 2 ha- 5 ha sebanyak 1,5% KK dan lebih dari 5 ha sebanyak 0,5% KK (M Tauchid,1952:176).
Semenjak Indonesia merdeka, semua anasir bercorak kolonialisme dirubah dengan berbagai gagasan cemerlang salah satunya dengan agenda reforma agraria. Terbukti, 13 tahun indonesia merdeka Soekarno mengesahkan Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 1959 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda. Di lain sisi, rezim Soekarno juga lahirkan UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yang mengatur tentang pengelolaan atas tanah serta menghapus sistem tanah swapraja –mengingat sebelumnya penguasan tanah di berbagai tempat masih beraromakan feodalisme.
Dalam UUPA, reforma agraria secara implisit ditegaskan dalam Pasal 17, disebutkan bahwa penguasaan atas tanah terdapat batasan maksimum dan apabila terdapat kelebihan dari batas maksimum akan diganti oleh negara yang kemudian didistribusikan kepada rakyat yang membutuhkan.
Keberhasilan reforma agrarian dizaman soekarno terbagi dalam tiga tahap; Tahap I Pemerintah berhasil merampungkan distribusi tanah ditahun 1964 dengan luasan tanah 337.445 ha tersebar di daerah Jawa, Madura, Bali, dan NTB yang memakan waktu 2 tahun sejak tahun 1962-1964. Tahap II agenda reforma agraria berhasil menyebarkan 152.502 ha tersebar di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau kecil.Kedua tahap ini setidaknya sekitar 450.000 ha tanah yang berhasil dibagikan. Pada tahap III ditahun 1966-1968 dari target luasan 800.000 ha kepada 850.000 KK hanya terealisasi 92.000 ha. Setidaknya, agenda Reforma di zaman itu ada 1 juta Mayarakat yang mendapatkan hasilnya, namun 2 juta diantaranya masih menunggu giliran. Pada tahun-tahun berikutnya usaha menghalangi reforma agraria masih dilaporkan, yang kebanyakan dilakukan oleh penguasa militer lokal.
Berubahnya penguasa politik berubah pula politik agrarianya.Pemerintah orde baru sama sekali tidak mewariskan kepentingan ideologis dan politis politik agraria (Noer Faozi:1999;147).
Reforma Agraria Jokowi
Setelah 6 kali perubahan rezim, dari Soeharto hingga Jokowi pembangunan ekonomi nasional mengalami fluktuasi yang begitu kompleks. Dewasa ini, sebagaimana laporan Oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak diimbangi dengan distribusi pendapatan yang merata. Jurang antara orang kaya dan miskin di Indonesia tumbuh lebih cepat dibandingkan negara-negara dikawasan Asia Tenggara. Indonesia berada pada posisi 6 peringkat terbawah di dunia dalam hal ketimpangan, harta dari 4 orang terkaya di Indonesia setara dengan harta 100 juta orang miskin di Indonesia. (Source; https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/3430615/kekayaan-4-orang-terkaya-ri-setara-harta-100-juta-orang-miskin. )
Realitas itu, Penulis ‘mengira’ salah satunya diakibatkan oleh akses ekonomi masyarakat yang kurang luas. Bagaimanapun, segala usaha untuk mencukupi kehidupan seseorang khususnya kelas menengah kebawah seperti petani, buruh tani, dan pelaku UKM takkan lepas dari sebidang tanah. Bahkan matipun manusia masih membutuhkan tanah sekedar untuk membaringkan diri untuk selama-lamanya.
Semenjak dicalonkan menjadi Presiden Republik Indonesia, Jokowi-JK dalam Nawacitanya menyebutkan akan melakukan kembali program reforma agraria. Ini merupakan angin segar bagi masadepan perekonomian indonesia. Nawacita ini kemudian tercantum dalam Pepres No 45 Tahun 2016 terkait reforma agraria yang meliputi;
(a)Penguatan Kerangka Regulasi dan Penyelesaian Konflik Agraria, (b)Penataan Penguasaan dan Pemilikian Tanah Obyek Agraria, (c)Kepastian Hukum dan Legalisasi Hak atas Tanah Obyek Agraria, Pemberdayaan Masyarakat dalam Penggunaan, (d)Pemanfaatan dan Produksi atas Tanah Obyek Reforma Agraria dan Kelembagaan Pelaksanaan Reforma Agraria Pusat dan Daerah. (Source : http://www.bpn.go.id/Publikasi/Siaran-Pers/langkah-percepatan-reforma-agraria-67110)
Keempat agenda progressif itu barang tentu menuai banyak kritikan dari berbagai kalangan, khususnya pada hal penyelesaian konflik agraria dan penataan penguasaan tanah obyek agraria. Sebab pada realitasnya, dari berbagai konflik agraria yang terjadi diberbagai tempat, negara seolah menjadi tokoh antagonis dalam penyelesaiaannya. Kita masih ingat, bagaimana perjuangan Petani Kendeng berjuang mempertahankan kelestarian lingkungan pegunungan karts kendeng melawan ijin pertambangan oleh Gubernurnya sendiri, pengeroyokan yang berujung matinya aktivis lingkungan di Lumajang Salim Kancil, banyaknya kriminalisasi terhadap petani akibat mereka menolak beberapa pembangunan oleh pemerintah dan banyak lagi yang lainya.
Dalam catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) 2016, konflik agraria di indonesia terdapat 450 titik konflik dengan luasan 1.265.027 ha dengan melibatkan 86.745 KK yang terdampak. Persentasi konflik warga versus negara sebanyak 41,78% dengan rincian 22,44% warga versus Pemerintah, 13,56% warga versus BUMN dan 5,78% warga versus TNI dan Polri. 58,22% sisanya adalah konflik yang melibatkan pihak swasta dan perorangan. Sektor konflik agraria terjadi di sektor perkebunan, properti, infrastruktur, kehutanan, pertambangan dll.
Data diatas merupakan salah satu alasan mengapa kesenjangan ekonomi di indonesia sangat meningkat. Hilangnya akses ekonomi masyarakat atas sebidang tanah sebetulnya dijawab pemerintah melalui program reforma agraria. 9 juta hektare lahan yang didistribusikan melalui 4 skema; pertama 3,9 juta ha dilegalisasi/sertfikasi, kedua 4,1 juta ha redistribusi lahan kawasan hutan, ketiga 600.00 ha lahan transmigrasi, keempat redistribusi lahan seluas 400.000 ha eks HGU.
Bagi saya, redistribusi lahan baik melalui sertifikasi, redistribusi kawasan hutan, redistribusi lahan transmigrasi maupun lahan eks HGU haruslah tepat sasaran bagi yang benar-benar membutuhkan. Tentunya hal ini membutuhkan sebuah riset untuk mengentahui seberapa efektifkah lahan yang telah dibagikan. Pun, Pemerintah juga harus memberi pemberdayaan kepada masyarakat dalam hal penggunaan lahan distribusi reforma agraria.
Penting difikirkan juga, sebagaimana Pepres No 45 tahun 2016, negara dalam penyelesaian konflik agraria di berbagai tempat mestinya bersikap aktif memihak kepada masyarakat yang lemah bukan malah bersikap vis a vis dengan mereka.
Sudah 72 tahun bangsa ini merdeka, harusnya kemerdekaan rakyat atas tanah dijamin keberlangsungannya oleh negara. Sebab kata Bung Karno: “….revolusi tanpa land reform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi”( pada Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1960).”
*Penulis Adalah Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan kalijaga
Oleh: Mauzun Visioner (Pegiat Literasi) PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur sedang mencuri perhatian publik. Pasalnya, Pilgub kali ini menampilkan tiga figur
FIGUR kyai masih menarik untuk dilibatkan atau terlibat pada kontestasi pilkada 2024. Pernyataan tersebut setidaknya sesuai dengan kondisi proses pilkada
PERNYATAAN Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie tentang “pendidikan tinggi adalah tertiary education, bukan