Dr. Habib dalam tulisannya memaparkan bahwa untuk mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, perlu dilakukan ‘Revolusi Agraria’. Konsep revolusi agraria mengandung pengertian adanya perubahan politik dan sosial secara cepat yang berkaitan dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sesuai dengan pasal 33 ayat 3 UUD 1945, dan pasal 1 ayat 2,4,5 dan ayat 6 UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria).
Dengan demikian sektor-sektor agraria meliputi; sektor pertanahan; sektor kehutanan dan lingkungan hidup; sektor kelautan dan tata guna air; ruang angkasa; energi dan sumber daya alam. Revolusi agraria mengandung maksud agar fungsi-fungsi agraria dilakukan secara sinergis, dan terintegrasi. Sehingga dengan demikian persoalan agraria tidak bersifat sektoral.
Untuk mencapai maksud tersebut di atas, maka Kementerian Sektor Agraria, disusun di bawah Menteri koordinator Bidang Agraria yang membawahi kementerian-kementerian yang meliputi: 1) Badan Pertanahan Nasional dan tata ruang. 2) Kementerian Kelautan, Perikanan dan Jasa Tirta. 3) Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. 4) Kementerian Pertanian, Peternakan dan KaBulog. 5) Kementerian ESDM Pertambangan.
Akan tetapi, di Indonesia belum ada lembaga atau institusi yang mengatur dan menyelenggarakan penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan terhadap bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan pasal 2 ayat 1 dan 2 UUPA. Dengan demikian, Indonesia perlu mendirikan Badan Usaha Milik Negara yang meliputi; Bank Tanah Indonesia; Bank Air Indonesia; Bank Ikan Indonesia; Bank Kayu Indonesia; dan Bank tambang Indonesia yang terdiri bank emas, nikel, alumunium, batu-bara, dan pasir.
Dengan adanya pendirian bank- Bank tersebut, maka akan memberikan pendapatan dalam APBN sebagai berikut: Pertama, Bank Tanah Indonesia akan memberikan pendapatan ke dalam APBN kurang lebih sekitar 2900 Triliun Rupiah, dengan cara mengelola lahan-lahan terlantar, tanah sengketa dan tanah kelebihan luas maksimum yang ada di Indonesia.
Kedua, pendirian Bank Air Indonesia, maka setiap perusahaan yang menjual air mineral akan membeli kepada negara dan hasil penjualan air tersebut akan memberikan pemasukan ke dalam APBN sebesar 225 Triliun Rupiah. Ketiga, pendirian Bank Ikan Indonesia pada setiap titik zona laut di Indonesia akan memberikan pendapatan ke dalam APBN sebesar 350 Triliun Rupiah.
Keempat, pendirian Bank Kayu Indonesia akan memberikan pendapatan ke dalam APBN per tahunnya sekitar 250 Triliun Rupiah. Kelima, pendirian Bank Tambang Indonesia yang keseluruhannya akan memberikan pendapatan ke dalam APBN sekitar 3700 Triliun Rupiah.
Revolusi Agraria Indonesia dapat menjadi solusi untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana sila ke-5 dalam Pancasila yaitu APBN Indonesia akan meningkat menjadi 7.425 Triliun Rupiah setiap tahun.
Lembaga- lembaga ini didirikan dengan Undang-Undang/PERPU dalam bentuk Holding Company secara Nasional. Perlunya lembaga-lembaga di atas sesuai dengan data yang ada di Badan Pusat Statistik (BPS) luas wilayah laut Indonesia mencapai 5.076.800 Km dan bilamana dijadikan ke dalam hektar adalah 507.680.000 Hektar, sedangkan luas daratan Indonesia mencapai 1.904.569 Km dan bilamana dijadikan hektar 190.456.900 Hektar. Apabila luas wilayah laut dan daratan Indonesia dikelola dengan baik akan memberikan kesejahteraan dan kemakmuran secara maksimal kepada bangsa dan rakyat Indonesia.
Di seluruh wilayah NKRI sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Indonesia Agrarian Watch (IAW) lebih dari 28 Juta Hektar atau sekitar 14,7% dari sejumlah daratan di Indonesia merupakan tanah terlantar dan diterlantarkan, baik itu tanah kawasan hutan, tanah negara yang dikuasai oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota maupun tanah hak perseorangan/badan hukum. Hal ini mengakibatkan tanah menjadi tidak produktif dan menyalahi prinsip kemanfaatan dan keadilan.
Hasil penelitian IAW memperlihatkan lebih dari 3,4 Juta Hektar kawasan hutan berizin, hutan produksi, yang meliputi hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi dan tanah dalam bentuk Hak Guna Usaha dan bekas Hak Guna Usaha untuk perkebunan besar, tidak dikelola dengan baik karena pemegang tanah tersebut tidak memiliki, tidak menggunakan modal usaha yang cukup sehingga tanah-tanah tersebut kurang produktif. Hal inilah salah satu titik kelemahan potensi ekspor Indonesia yang tidak maksimal.
Tanah yang ditelantarkan dan tidak dikelola dengan baik tersebut manakala dikelola dengan modal usaha yang cukup, maka Indonesia akan mampu mandiri dan swasembada dalam sektor pertanian, peternakan, perikanan, bahkan Indonesia akan menjadi lumbung pangan dunia.
Sejak mulai berlakunya UUD No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang berlaku mulai tanggal 24 September 1960 sampai dengan saat ini, tidak ada perubahan undang-undang. Pelaksanaan agraria di Indonesia masih bersifat sektoral dan belum terintegrasi secara nasional, sehingga bumi, air, luar angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya belum dapat memberikan kesejahteraan dan kemakmuran secara maksimal kepada bangsa dan rakyat Indonesia.
Bahwa Kementerian Agraria/tata ruang dan Badan Pertanahan Nasional, sesuai dengan keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988, selama ini hanya mengelola salah satu fungsi agraria yang bersifat administratif dalam bidang pertanahan yang tugas pokoknya mengurusi pendaftaran tanah/sertifikasi tanah, mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan. Oleh sebab itu, revolusi agraria Indonesia merupakan langkah dan strategi yang tepat sebagai jawaban terhadap keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menyukai ini:
Suka Memuat...