Sejarah telah mengukir bahwa dalam setengah abad dari tahun 1885 sampai 1935, seluruh landscape di Asia tiba-tiba berubah. Sebuah kejadian yang telah merombak konstelasi yang ada di Asia Timur disebabkan karena kemenangan Jepang atas Rusia dalam tahun 1905. Peristiwa ini menegaskan kemungkinan kemenangan bangsa terbelakang jika bangsa tersebut menggunakan cara-cara, teknik serta organisasi Barat. Kemenangan yang tidak terduga ini membangunkan harapan-harapan baru dan menggerakkan rakyat-rakyat Asia maupun Afrika dalam suatu kesadaran diri yang baru. Kerajaan kepulauan kecil di Asia Timur setelah berupaya setengah abad lamanya berhasil mencapai kedudukan yang sama dengan negara-negara Barat dan menyamai bahkan melebihi Barat dalam politik kolonial dan imperialismenya.
Kemenangan Jepang atas Rusia akhirnya melahirkan berbagai gerakan-gerakan nasionalisme yang menghasratkan perubahan-perubahan merajalela diseluruh Asia. Di India, Tiongkok, dan lain-lain, tidak terkecuali di Indonesia sendiri. Untuk Indonesia, menjelang berakhirnya Perang Dunia ke-II, ketika Jerman Nazi pada tanggal 7 Mei 1945 unconditional surrender atau menyerah tanpa syarat (Hitler bunuh diri pada tanggal 1 Mei 1945) dan Mussolini telah terbunuh terlebih dulu pada tanggal 28 April 1945 oleh tentara partisan Italia sendiri. Dengan demikian berakhirlah perlawanan Jerman dan Italia terhadap sekutu.
Akibat dari kekalahan Jerman dan Italia di Eropa tersebut, maka kedudukan Jepang di Asia Pasifik semakin mendekati keruntuhannya. Momentum kekalahan Jerman dan Italia dapat dimanfaatkan oleh pasukan sekutu, sehingga kekuatan sekutu dapat dikonsentrasikan pada satu titik yaitu agresi Jepang sesegera mungkin harus diakhiri. Ledakan Bom Atom dari Amerika Serikat pada tanggal 6 Agustus 1945 di Hiroshima dan tanggal 9 Agustus 1945 di Nagasaki, ditambah dengan pernyataan perang Sovyet Russia terhadap Jepang pada tanggal 8 Agustus 1945 menyebabkan Tenno Heika, pada tanggal 15 Agustus 1945 mengumumkan bahwa Jepang menyerah tanpa syarat.
Posisi Jepang yang telah menyerah tanpa syarat ini berakibat pada situasi Vacuum of Power (kekosongan kekuasaan) ditanah air. Sebab, pada waktu itu Jepang sudah tidak berkuasa lagi, sedangkan tentara sekutu belum menjalankan pemerintahan ditanah air. Pada tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamirkan.
Pada situasi ini dapat dikatakan bahwa kemerdekaan Indonesia diperoleh dari bertemunya keadaan-keadaan obyektif internal didalam negeri (Vacuum of Power dan nasionalisme rakyat Indonesia yang sedang menaik) dengan situasi obyektif eksternal luar negeri (Belanda setelah Jepang menyerah tidak berjaya kembali atas kekuatannya sendiri, sedangkan Inggris terlambat datang karena perubahan strategi Sekutu yang mengirimkan tenaga perangnya Amerika Serikat langsung ke Jepang).
Perang Dunia, baik Perang Dunia ke-I maupun Perang Dunia ke-II adalah merupakan implikasi dari situasi krisis dunia. Situasi krisis dunia merupakan dampak dari gelombang globalisasi yang sedang mengalami situasi batas. Maksud dari situasi batas yaitu situasi dimana pranata-pranata lama dianggap tidak lagi dapat diharapkan untuk menyelesaikan masalah-masalah penting dunia, sementara pranata-pranata baru masih dalam sebuah proses pembentukan. Terjadinya proses perubahan dan pembentukan pranata-pranata lama ke yang baru biasanya dikondisikan oleh perubahan yang terjadi pada pola distribusi kekayaan dan pola produksi ataupun konsumsi masyarakat.
Frederic S. Mishkin membagi proses gelombang globalisasi (perdagangan bebas) dalam tiga tahap. Tahap pertama gelombang globalisasi terjadi pada tahun 1870 dan berakhir pada tahun 1929. Tahap kedua gelombang globalisasi dimulai setelah berakhirnya Perang Dunia ke-II dan berakhir pada tahun 2003. Dan tahap ketiga dari gelombang globalisasi sampai saat ini masih belum memunculkan wujudnya, artinya saat ini dunia sedang mengalami situasi batas, dimana situasi gelombang globalisasi ketiga belumlah muncul.
Pada gelombang globalisasi tahap pertama yang tentu juga melanda Indonesia, pada akhirnya disambut dengan sebuah respon kebangsaan. Bisa dilihat bahwa lahirnya Boedi Oetomo, Sarekat Islam dan sebagainya diawal abad ke-20 hingga Soempah Pemoeda tahun 1928, lahirnya partai-partai politik seperti PNI, PKI dan sebagainya adalah merupakan respon kebangsaan atas permasalahan dan tantangan Bangsa Indonesia saat itu sebagai akibat globalisasi. Pada saatnya respon tersebut terbukti mampu menjadi energi pendorong terbentuknya Negara Republik Indonesia.
Gelombang globalisasi tahap kedua yang juga melanda Indonesia setelah kejatuhan Bung Karno, bahkan hingga hari ini, sama sekali tidak memunculkan respon kebangsaan. Padahal globalisai gelombang kedua tidak kalah hebatnya dengan gelombang globalisasi tahap pertama. Sejumlah masalah yang muncul dan mengancam keutuhan dan kedaulatan negara dan Bangsa Indonesia saat ini terjadi bersamaan dengan proses berjalannya gelombang globalisasi kedua. Hari ini dapat disaksikan bersama bagaimana situasi negara dan Bangsa Indonesia hampir tenggelam karena digulung derasnya gelombang globalisasi kedua yang telah berakhir. Sementara dunia saat ini sedang bersiap menghadapi gelombang globalisasi ketiga.
Lantas yang menjadi pertanyaannya adalah, apa yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk menyambut datangnya globalisasi ketiga?
Untuk menghadapi akan masuknya gelombang globalisasi ketiga, maka “respon kebangsaan” dapat diwujudkan apabila Bangsa Indonesia mempunyai dua syarat, yaitu, pertama, harus adanya kesadaran akan datangnya masalah besar yang mengancam keutuhan, kedaulatan dan eksistensi negara dan Bangsa Indonesia. Kedua, Bangsa Indonesia setidaknya harus memiliki kesetiaan terhadap keinginan dan cita-cita bersama yang disepakati ketika negara Indonesia didirikan pada tahun 1945 seperti yang tercantum di Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Sebagaimana jika sebuah sistem ekonomi direstrukturisasi, demikian juga hubungan geopolitik dunia akan ikut terstrukturisasi. Struktur persekutuan sangat dimungkinkan akan berubah. Pasifik saat ini muncul sebagai kekuatan ekonomi. Berbagai bangsa yang telah merestrukturisasi kekuatan ekonominya sedang mengatur posisinya didalam tatanan global yang sedang menyingsing, dan masing-masing menyaksikan industri klasik yang sedang sekarat ditengah situasi ekonomi baru yang telah terbit. Pergeseran yang besar ini merupakan sebuah konsekwensi kebangkitan suatu peradaban baru, dalam arti tatanan ekonomi baru, bentuk masyarakat baru, dan tanpa dapat ditepis, sebuah struktur politik yang baru pula, situasi atau keadaan inilah yang dinamakan dengan “Zaman Baru”. Sebelum struktur global yang baru itu terkristalisasi, kita akan terus hidup dalam sebuah keadaan ketidakstabilan. Demikian Toffler berkata.
Dalam masa-masa situasi batas yang sedang berlangsung, atau dimana struktur global yang baru yang sampai saat ini masih belum mengkristal untuk mengganti struktur-struktur global yang lama, ketika ketidakstabilan masih berlangsung akibat kekuatan-kekuatan dunia yang belum stabil mengkonsolidasikan diri, seharusnya bangsa Indonesia saat ini mampu untuk mengambil momentum dari situasi yang tidak stabil itu. Seperti halnya yang pernah dilakukan oleh para founding father’s bangsa Indonesia, yang lalu diceritakan oleh Bung Karno sewaktu Bung Karno berkunjung ke Amerika Serikat. Waktu kunjungannya ke Amerika Serikat pada sekitar bulan Mei sampai dengan Juni 1956, dimuka program TV “youth want to know”, Bung Karno sempat mendapatkan pertanyaan “sebab apakah bangsa Indonesia pada bulan Agustus 1945 memproklamirkan kemerdekaannya?” oleh Bung Karno dijawab bahwa“ex-tempo raniously”, bahwa pada saat itu di Indonesia “the chain of international colonialisme is at the weakest” bahwa rantai kolonialisme internasional di Indonesia pada waktu itu adalah yang paling lemah.
Para founding father’s telah mampu memerdekakan Bangsa Indonesia dengan mengambil momentum situasi batas dari gelombang globalisasi tahap satu pada waktu itu, dengan cara pandang dunia yang luas dan dengan melepas segala cara pandang mementingkan diri sendiri demi merdekanya nusa dan bangsa. Namun, lagi-lagi pertanyaan dapat dilontarkan, yakni sudahkah Bangsa Indonesia saat ini memiliki cara pandang yang baru dalam melihat dunianya?
Menyukai ini:
Suka Memuat...