Cikal bakal lahirnya Otonomi Daerah pada saat arus reformasi tahun 1998 membuka harapan baru terhadap peningkatan kehidupan demokrasi dan pemerataan pembangunan di Indonesia. Salah satu buah reformasi adalah dilahirkannya Otonomi Daerah melalui pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan Perundang-undangan.
Setidaknya ada tiga hal tujuan dari Otonomi Daerah di Indonesia, tiga hal itu yang Pertama, meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah, kedua meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan ketiga meningkatkan daya saing daerah. Namun dalam perjalanannya, implementasi otonomi daerah tidak seperti yang diharapkan. Otonomi daerah menjadi otonomi korupsi, dengan kekuasaannya kepala daerah (eksekutif) sering menjelma menjadi raja-raja kecil yang melanggengkan praktik korupsi di daerah.
Sudah tidak terhitung berapa banyak kepala daerah di Indonesia yang terjerat kasus Korupsi. dikutip dari berbagai sumber, kurun waktu tahun 2004 sampai dengan tahun 2018 sekitar 104 Kepala Daerah yang terjerat kasus korupsi, di antara sejumlah kepala daerah yang terjerat kasus korupsi adalah sebagai berikut:
Jumlah kasus korupsi kepala daerah dari 2004-2018:
2004: 1 kasus; 2005: 1 kasus; 2006: 4 kasus; 2007: 7 kasus; 2008: 6 kasus; 2009: 6 kasus; 2010: 4 kasus; 2011: 3 kasus; 2012: 4 kasus; 2013: 4 kasus; 2014: 14 kasus; 2015: 4 kasus; 2016: 9 kasus; 2017: 8 kasus; 2018: 29 kasus.
Berdasarkan wilayah:
Jawa Timur: 14 kasus; Sumatera Utara: 12 kasus; Jawa Barat: 11 kasus; Jawa Tengah: 8 kasus; Sulawesi Tenggara: 6 kasus; Papua: 5 kasus; Riau: 5 kasus; Aceh: 4 kasus; Banten: 4 kasus; Kalimantan Timur: 4 kasus; Sumatera Selatan: 4 kasus; Bengkulu: 3 kasus; Lampung: 3 kasus; Maluku Utara: 3 kasus; NTB: 3 kasus; Sulawesi Selatan: 3 kasus; Sulawesi Utara: 3 kasus; Kalimantan Selatan: 2 kasus; Kepulauan Riau: 2 kasus; NTT: 2 kasus; Jambi: 1 kasus; Kalimantan Tengah: 1 kasus; Sulawesi Tengah: 1 kasus.
Dan yang terbaru untuk di tahun 2019, terdapat kepala daerah yang terjerat kasus korupsi berjumlah empat orang, di antaranya adalah:
- Khamamik (Buapti Mesuji, Provinsi Lampung)
- Sri Wahyumi Maria Manalip (Bupati Talaud)
- Nurdin Basirun (Gubernur Kerpri)
- Agung Ilmu Mangkunegara (Bupati Lampung Utara)
Setelah melihat data dan jumlah kasus di atas mengindikasikan bahwa ranah eksekutif di daerah rawan terjadi praktik korupsi, baik dari tingkat eksekutif Gubernur, Wali Kota, atau Bupati. Selanjutnya di dalam tulisan ini akan membahas lebih dalam lagi bagaimana cara atau strategi pemberantasan korupsi yang sering marak terjadi di ranah eksekutif pemerintahan daerah.
Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam dalam mengatasi praktik-praktik korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui berbagai kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tahun Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pemerintah juga membentuk komisi-komisi adhoc yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebenarnya untuk melakukan pemberantas korupsi yang ada Daerah dapat dilakukan dengan pencegahan dan penindakan. pencegahan dan penindakan yang dimaksud seperti:
- Dengan menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai dampak dari korupsi dan sosialisasi tindak pidana korupsi. Contohnya, ketika dalam pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) sangat perlu dilakukannya sosialisasi terhadap masyarakat dalam memilih pemimpin atau kepala daerah, karena pada saat pilkada di sanalah terlihat cikal bakal pemimpin yang akan melakukan korupsi ketika terpilih atau memegang jabatan nantinya, dengan cara calon kepala daerah melakukan suap atau money poltic (politik uang). Di sinilah peran masyarakat, masyarakat harus cerdas dalam memilih jangan sampai masyarakat memilih calon kepala daerah korupsi. Jelas kepala daerah yang terpilih dengan money politic akan melakukan korupsi. Karena mereka kepala daerah yang melakukan money politc akan melakukan berbagai cara untuk mengembalikan dana ketika saat Pilkada.
- Peran Legislatif (DPRD). legislatif dan eksekutif adalah mitra dalam pemerintahan, seharusnya DPRD harus lebih aktif dalam melakukan pengawasan terhadap Eksekutif agar tidak terjadi praktik korupsi. Namun nyatanya legislatif sering lalai dalam melakukan pengawasan terhadap eksekutif, bahkan seringnya legislatif dan eksekutif seperti berjalan sendiri-sendiri dalam melakukan pekerjaan, padahal setidaknya ada Tiga bentuk hubungan eksekutif dengan legislatif, tiga bentuk hubungannya yaitu: serah positif, serah negatif, serah positif negatif. Maksud dari hubungan serah positif, serah negatif, serah positif negatif adalah: Serah positif, menyatukan visi & misi eksekutif dan legislatif dalam pemerintahan. Serah negatif, eksekutif dan legilatif melanggar peraturan perundang-undangan yang contohnya seperti ialah Korupsi. Serah positif negatif, anatara eksekutif dan legislatif tdiak akur atau tidak bersinergi dalam menjalankan pemerintahan. Di sinilah hubungan serah positif harus ditekankan agar praktik-praktik korupsi tidak terjadi di ranah eksekutif daerah.
- Merevisi aturan hukum yang ada (Undang-Undang) di antaranya: melalui hukuman mati, hukuman yang berat terhadap pelaku dengan denda yang signifikan, pengembalian hasil korupsi kepada Negara, dan tidak menutup kemungkinan penyidikan dilakukan kepada keluarga atau kerabat pelaku korupsi.
- Membentuk KPK di Daerah. Terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih di daerah merupakan bagian dari cita-cita otonomi daerah. Oleh karena itu, gagasan untuk membentuk KPK di daerah merupakan komitmen dalam rangka menindak lanjuti ketentuan pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ide untuk membentuk lembaga KPK di daerah sebagai upaya untuk memberantas praktik-praktik korupsi yang ada di daerah yang menjerat kepala daerah baik di tingkat provinsi, kota/kabupaten. Dalam konteks membentuk lembaga KPK di daerah bukan dimaksud untuk mengambil ahli tugas lembaga penegak hukum yang sebelumnya (kepolisian dan kejaksaan). Bahwasanya hubungan kerja sama antar penegak hukum sangat penting agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien dalam memberantas korupsi.
Praktik-praktik korupsi yang sering terjadi di ranah eksekutif daerah yang dilakukan oleh kepala daerah baik di tingkat provinsi, dan kabupaten/kota adalah sebagian bentuk dari gagalnya otonomi daerah dalam menjalankan pemerintahan yang baik dan bersih yang merupakan bagian dari cita-cita otonomi daerah.
Untuk melakukan pemberantasan korupsi yang ada, setidaknya terdapat cara dengan pencegahan dan penindakan. Penindakan dan pencegahan yang dimaksud seperti:
- Menumbuhkan kesadaran masyarakat bahaya dari korupsi
- Peran Legislatif (DPRD)
- Merevisi aturan hukum (undang-undang)
- Membentuk lembaga KPK di daerah
Pemerhati Hukum Tata Negara dan alumni FH Universitas Islam Sumatera Utara