SERIKATNEWS.COM – Hampir seratus dosen Universitas Indonesia (UI) dari berbagai fakultas menolak revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang telah disetujui oleh seluruh anggota DPR.
Hingga Senin (9/9/2019) pukul 07.10 WIB, sebanyak 97 dosen UI sudah menandatangani seruan penolakan itu. Bahkan, jumlahnya akan terus bertambah.
“Rakyat Indonesia dikejutkan oleh sidang Paripurna DPR yang menyetujui Usulan Revisi UU KPK. Proses pembahasan RUU dilakukan tanpa mengindahkan aspek transparansi, aspirasi, dan partisipasi publik,” demikian pengantar seruan para dosen UI itu.
Disebutkan, isi revisi RUU KPK justru melemahkan KPK. Padahal, KPK adalah amanah reformasi dalam upaya melawan korupsi. Penanggulangan korupsi adalah amanah reformasi sekaligus amanah konstitusi.
“Mengingat tujuan kemerdekaan RI tidak akan tercapai selama korupsi marak di Indonesia, kami dosen Universitas Indonesia yang bertanda tangan di bawah ini menentang setiap upaya pelemahan penanggulangan korupsi.”
Sementara itu, pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum UI yang juga salah satu penandatangan seruan penolakan itu, Novrizal Bahar mengatakan, setiap pembuatan UU baru ataupun perubahan UU seharusnya didahului pembuatan Naskah Akademik (NA) dan RUU yang disosialisasikan ke masyarakat, khususnya kepada kelompok-kelompok masyarakat yang merupakan stake holders yang paling dekat mengalami akibat dari UU baru ataupun perubahan UU tersebut.
“Terkait atau revisi UU KPK ini, NA dan RUU seharusnya disosialisasikan ke LSM-LSM yang bergerak di bidang pemberantasan korupsi dan KPK sendiri. Seyogyanya, minimal ada masukan dari mereka sebagai wakil dari masyarakat yang menyampaikan suara dan aspirasi ke DPR, sebagai lembaga yang punya kewenangan merumuskan atau membuat UU,” papar Novrizal.
Novrizal menambahkan, sangat penting juga untuk mendapatkan masukan dari lembaga akademik atau perguruan tinggi yang terkait substansi UU. Terkait revisi UU KPK ini, NA dan RUU-nya idealnya dimintakan terlebih dahulu komentar dari berbagai fakultas hukum. Dan yang tidak kalah penting juga apakah RUU Perubahan KPK itu termasuk dalam prioritas Proglegnas tahun ini?
“Nah, semua proses tersebut tidak dilalui oleh DPR dalam membuat revisi UU KPK. Inilah yang dimaksud dengan tidak adanya transparansi dalam pembuatan revisi RUU KPK ini,” ujar Novrizal.
Ia pun mengatakan, walaupun dari sisi legalitas, DPR periode saat ini (2014-2019) tetap mempunyai kewenangan membuat UU, namun dari sisi legitimasi, sebenarnya sudah sangat kurang. Sebab, masa kerjanya sudah mau berakhir. Akhirnya, DPR dituduh oleh rakyat hanya ingin menggolkan agenda politik di saat-saat injury time, tanpa peduli lagi dampak dari UU yang dibuatnya.
“Sebaiknya, jika DPR dan Pemerintah ingin membuat revisi UU dari sebuah lembaga negara, seharusnya dibuat dulu ukuran-ukuran, alasan-alasan, atau urgensinya mengapa revisi itu diperlukan, lalu disosialisasikan, dan diminta masukan dari para stakeholders UU itu,” tuturnya.
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...