Mahasiswa punya prediksi dan value. Di banding kelompok ‘kelas menengah’ lain, mahasiswa dipandang sebagai elite intelektual unik tapi bernas. Mahasiswa, sejak lama adalah anak kandung kalangan ‘grass root’, karena itu, mereka kerap –menyitir istilah Edward W Said dalam Representation of Intelektual— mengejawantah sikap, kehendak, dan pesan masyarakat.
Laiknya pisau pada buah, mahasiswa selalu punya strategi menekan dan menguliti status quo. Menjadi wadah kontrol sosial, idealisme dan kecakapan argumen menjadi instrumen yang terus dibanggakan. Bahkan, sejarah telah menulis dengan tinta merah betapa peranan mahasiswa menjadi kawah candradimuka bagi gelisah masyarakat.
Hari ini, sejarah itu terus berulang: mahasiswa mengambil peran protes di jalan. Sejak sepekan terakhir, perkumpulan mahasiswa sejumlah universitas di beberapa daerah menggelar aksi demonstrasi masif. Substansi yang diusung berkaitan dengan polemik ruang publik: RKUHP dan UU KPK. Mereka juga menyoal rencana pengesahan sejumlah RUU kontroversial, seperti RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual oleh DPR.
Meski demikian, di tengah polarisasi politik yang terus meruncing, isu tersebut menggelinding bagai bola panas yang memercik kontroversial. Tak sedikit pihak yang menilai gerakan masif mahasiswa sebagai ‘pion’ atas politic interest kepentingan elite tertentu. Bahkan, ditengarai, gerakan protes oleh kelompok mahasiswa bertujuan untuk menggulingkan kekuasaan yang sah—tentu ini hanya klaim.
Tapi memang, ‘kelamin’ aksi demonstrasi hari ini memang memiliki domain yang cukup berbeda dengan demonstrasi 98. Atmosfer akademiknya bahkan terlihat sebagai aksi ‘instastory’. Bukan tanpa sebab, tak jarang ditemukan massa aksi yang ikut berbaris-berteriak di jalan demi selfie hanya demi diunggah di lini masa sosial media. Animo publik rupanya lebih cenderung bukan pada substansi tuntutan, tetapi kalimat unik poster yang bertebaran.
Kadang, kalimat-kalimat tak perlu dan ‘saru’ ditulis di flayer dan poster. Bukan hanya terlihat tidak lucu, justru menihilkan substansi dan nyaris kering inspirasi. Apalagi, kalimat protes tersebut hanya dugaan yang bahkan dalam RUU tak pernah jadi bahasan. Kesannya justru, demonstrasi ini sekadar gagah-gagahan sekaligus lucu-lucuan. Bahkan, saat perwakilan mahasiswa ditanya dalam satu forum diskusi yang disiarkan TV, mereka tidak membaca secara komprehensif RUU yang tengah mereka gugat. Lucu!
Apalagi, sangat disesalkan, demonstrasi dengan puluhan bahkan ratusan massa mahasiswa di sejumlah daerah berkesan ada ‘penokohan’. Aksi massa memang mestinya impersonal karena hanya menjadi instrumen dari gelisah rakyat. Muncullah sejumlah orang seolah sebagai perwakilan dari protes massa di TV dengan busana rapi dan resonansi pembicaraan yang berapi-api. Mereka berdialog seolah tengah ‘mewakili’. Padahal, sejak aksi demonstrasi tak lagi impersonal, substansi hanya akan menjadi ‘milik pribadi’.
Tentu penulis tidak dalam rangka menggeneralisir komponen protes ini. Ada pula aksi yang benar-benar dibarengi kajian akademik dan referensi yang sahih. Selebaran dan pamflet analisis tersusun begitu rapi, ditulis mengutip gagasan sejumlah tokoh, menyalin aspirasi dengan sejumlah komitmen yang juga kokoh. Tetapi, toh, isu yang dibawa terlihat tidak populis, segmented-parcial, soal UU KPK, misalnya.
Sebagaimana disebutkan, RUU KPK digulirkan sejak tiga tahun lalu. Sejak pertama muncul ke publik, RUU ini memang kontroversial dan tak jarang menjadi polemik. Dibahas di sejumlah kampus oleh puluhan profesor, gelombang protes tak bergulung sebesar hari ini. Memang, secara politis, dukungan terhadap KPK tidak bulat sebagaimana pertama lembaga antirasuah ini dibentuk.
Ada pembelahan persepsi di ruang publik. Apalagi, kita tahu, isi UU KPK bisa menjadi diskursus akademik yang terbuka untuk dibedah. Mahasiswa mestinya mengajukan protes dengan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) mengingat UU KPK sudah disahkan. Ini jalan konstitusi, tanpa anarkhi.
Tetapi, di tengah iklim birokrasi yang begitu terbuka, mahasiswa memilih menggelar demonstrasi. Dengan massa yang besar, unjuk rasa ini kerap bergesekan dengan penunggang gelap’: terlihat betapa aksi damai ini sering diprovokasi hingga berakhir rusuh dan anarkhi. Hingga kini, ada sejumlah korban dari mahasiswa bahkan polisi. Polarisasi dan agitasi sering membenturkan keduanya, seolah-oleh demonstrasi adalah ‘oktagon’ perang antara mahasiswa versus aparat!
Akhirnya, yang terjadi seolah-olah negara dan polisi adalah common enemy yang harus terus diperangi. Pola ini tentu saja tidak tepat. Disintegrasi di raung publik hanya akan menjadi senjata paling mujarab bagi ‘penunggang gelap’ untuk mengadu-domba. Kemudian, yang berkepentingan dan tak bertanggungjawab itu, mengolah siapa pihak yang akan menjadi ‘kambing hitam’. Semua elemen negara akan saling bermusuhan.
Saya khawatir, aksi demonstrasi hanya sebagai romantisisme masa lalu tanpa pembacaan dan telaah yang final. Masa lalu, di tahun 98, aksi mahasiswa dibarengi dengan energi sipil untuk tidak hanya menyampaikan tuntutan biasa, tetapi juga hendak menggulingkan penguasa. Sebab saat itu, seluruh perangkat bernegara seperti dikebiri: krisis ekonomi, otoritarianisme, kekuasaan hegemonik, harga sembako menjulang, PHK terjadi terus-terusan. Hari ini, kita berdemonstrasi, seolah memanggul spirit ‘hidup atau mati’ karena KPK: sebuah lembaga produk reformasi yang memang sudah seharusnya dikoreksi.
Psikologi massa, bagaimanapun, potensial dimanfaatkan dan dimanipulasi. ‘Penunggang gelap’ tadi biasanya sering menebar ketakutan-ketakutan kolektif demi tujuan politik tertentu. Saya bukan dalam posisi menganggap demonstrasi mahasiswa beberapa hari terakhir hanya basa-basi dan ditunggangi, tetapi potensi itu memang harus dibaca dan diprediksi. Lagi pula, jika memang ada ihwal yang perlu diprotes, selesaikan melalui debat, musyawarah, atau diskusi sebagai jalan konstitusi, sebagai amanat reformasi. Begitu!
- Koordinator Nasional Himpunan Aktivis Milenial Indonesia
- Alumnus Fakultas Hukum UBK Jakarta
Menyukai ini:
Suka Memuat...