TARIF resiprokal yang diumumkan Amerika Serikat pada April 2025 bukan sekadar kebijakan perdagangan. Ia adalah cermin. Cermin yang menampilkan wajah dunia yang semakin keras dan mementingkan diri sendiri. Tetapi juga cermin bagi kita untuk bertanya: apakah ekonomi kita cukup kuat berdiri di atas kaki sendiri?
Dunia memang sedang berubah. Proteksionisme bukan lagi kata kotor. Ia menjadi strategi. Di tengah perubahan itu, Indonesia tidak bisa hanya menjadi penonton atau korban. Kita harus memilih: tetap nyaman sebagai eksportir bahan mentah, atau mulai menata ulang ekonomi agar benar-benar berpihak pada kekuatan dalam negeri.
Momentum Kemandirian
Ketika pasar besar seperti Amerika mulai menutup diri, kita diuji: apakah fondasi ekonomi kita cukup kokoh? Apakah industri kita hanya menjadi buruh global, atau bisa tumbuh sebagai tuan rumah di negeri sendiri?
Saat ini, struktur ekspor kita masih rapuh. Banyak komoditas kita hanya diproses setengah jadi. Banyak produk manufaktur kita masih bergantung pada bahan baku impor. Tapi tekanan ini bisa menjadi pemicu. Kita perlu membangun ulang: dari hulu ke hilir, dari desa ke kota, dengan rantai pasok yang lebih adil dan berkelanjutan.
Inilah waktu untuk mempercepat hilirisasi, mendorong industri lokal berbasis bahan mentah dalam negeri, dan menjadikan ekonomi sebagai jalan menciptakan pekerjaan berkualitas, bukan sekadar angka pertumbuhan di atas kertas.
Diversifikasi Pasar
Jika satu pintu tertutup, kita harus membuka yang lain. Dunia ini luas. Afrika, Asia Selatan, Timur Tengah, dan kawasan BRIICS menawarkan peluang besar. Kita perlu keluar dari ketergantungan pada pasar-pasar lama.
Tapi diversifikasi bukan hanya soal negara tujuan ekspor. Ini juga soal pelaku dan nilai. Pekerja migran dan diaspora kita bisa menjadi duta produk lokal. UMKM yang selama ini bertahan di lorong-lorong kota harus diberi jalan untuk menembus pasar global. Mereka menyerap lebih dari 90 persen tenaga kerja, tetapi ekspornya masih minim. Padahal potensi inovasi mereka luar biasa.
Ekspor masa depan tidak bisa hanya bergantung pada korporasi besar. Harus ada ruang bagi usaha kecil dan menengah untuk tumbuh dan bermimpi besar.
Dukungan yang Nyata
Ekonomi yang tangguh tidak lahir dari wacana, tapi dari keberanian memilih arah. Negara harus hadir, bukan sekadar mengatur. Kita perlu keberpihakan nyata: insentif untuk sektor produktif, pembiayaan murah bagi usaha kecil, dan ekosistem yang menghubungkan pelaku besar dan kecil dalam satu rantai nilai yang sehat.
Jika perlu, negara tidak boleh ragu menerapkan quantitative easing moderat; bukan untuk konsumsi semata, tetapi untuk menopang transisi struktural. Untuk mendukung industri hijau, riset teknologi, dan transformasi jangka panjang yang tak terikat siklus politik.
Di sinilah pentingnya konsistensi. Kita butuh lebih dari sekadar kebijakan populis sesaat. Kita butuh keberanian moral untuk membangun ekonomi yang berdiri atas keadilan, bukan sekadar efisiensi.
Tarif resiprokal dari Amerika bisa jadi batu sandungan. Tapi bisa juga menjadi batu loncatan. Semua tergantung pada cara kita membaca zaman dan menjawabnya. Kita tidak sedang menghadapi Amerika. Kita sedang menghadapi diri sendiri.
Apakah kita akan terus bergantung? Atau memilih untuk mandiri dan menjadi bangsa besar yang berdiri di atas kekuatan rakyatnya sendiri?
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI; Menteri Ketenagakerjaan RI 2014-2019; Wakil Ketua Umum DPP PKB.
Menyukai ini:
Suka Memuat...