Kemajuan teknologi di era globalisasi saat ini membuka ruang baru bagi publik untuk berekspresi mengeluarkan pendapat. Ini tertuang pada pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi: “Setiap orang memiliki hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, hak ini mencakup kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa campur tangan dan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan ide melalui media apa pun dan tanpa memandang batas.” Akan tetapi, problemnya bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi menjadikan setiap orang dalam penggunaan media sosial terkadang tidak bijak, terdapat banyak kasus ujaran kebencian dan berita hoax yang berurusan dengan hukum.
Ramalan Daniel Bell yang sangat legendaris dalam bukunya yang berjudul The Coming of Post – Industrial Society (1973) memprediksi pentingnya fungsi, peran dan posisi informasi-pengetahuan. “Jika modal dan tenaga kerja adalah ciri utama masyarakat industri, maka ciri masyarakat pasca industri adalah informasi dan pengetahuan.” Maksud dari prediksi Bell ini adalah jika peradaban sebelumnya bergantung pada aspek yang bersifat material (modal dan tenaga kerja), maka era masa depan ditentukan oleh hal yang non-material (informasi dan ilmu pengetahuan) dari yang tangible (benda) bertransformasi pada intangabile (non-benda). Pada saat ini modal dan tenaga kerja bukan menjadi penguasa dunia, namun mulai beralih pada informasi dan pengetahuan. Ukuran kekayaan sebuah negara bukan lagi sebatas seberapa banyak cadangan minyak bumi, batu bara atau mineral dan kandungan yang lain, tetapi mulai diukur pada seberapa banyak informasi dan pengetahuan yang dimilikinya. Ibaratnya, informasi menjadi lebih berharga dari pada emas.
Assosiasi Pengguna Jasa Internet (APJI) pada tahun 2018 menyebutkan bahwa pengguna jasa internet atau user di Indonesia berjumlah 143 juta user, sedangkan Google & Temasek – e Conomy SEA di 2018 menyebutkan data 150 juta user. Dalam hal perkembangan teknologi ini banyak kalangan pengguna internet yang tidak memahami bagaimana internet ini bekerja. Banyak yang tidak paham perbedaan antara Teknologi Corporate dan Media Corporate. Google, Facebook, Insta, Youtube dan yang lainnya masuk dalam Teknologi Corporate (TC), karena seperti Google dan TC yang lain dalam bekerja mereka menggunakan “keywords” dan setiap saat orang mengetik dalam pencarian “keywords” tersebut maka engine pada sistem tersebut akan merekam setiap kata yang masuk ke mereka dan basis teknologi ini sangat kuat.
Akan tetapi, teknologi corporate ini tidak mempunyai konten, sebab cara kerjanya adalah setiap kata atau artikel yang kita cari akan terekam di engine tersebut, dan engine akan bekerja mencari kata atau artikel yang kita cari pada kolom “search atau keywords” dan memunculkan pada halaman pencarian. Dengan adanya engine ini pada Google atau pun TC yang lain, maka iklan bisa kapan saja muncul sehingga “hoax” pun bisa disponsori secara tidak langsung. Sebab cara bekerja engine ini dengan melihat semakin banyak konten dengan rating tinggi. Dan hoax di TC sudah menjadi bagian dari ekosistem sebab yang mencari isi untuk konten ada dan yang membelanjakan iklan juga ada. Dan penyebaran hoax terbanyak ada pada Youtube, Facebook serta WA. Sedangkan pada Media Corporate dari situs abal–abal tidak banyak karena hitungan dari MC hanya 25%.
Media Corporate (MC) seperti detik.com, liputan6.com, kompas.com, tempo.co dan lain halnya dalam user “direct” penggunaan hanya 25% dibandingkan dengan penggunaan Teknologi Corporate yang mencapai 65% ke atas, artinya banyak user pengguna internet yang lebih sering langsung mencari sumber berita melalui Google (TC) misalnya daripada membuka portal MC secara langsung sehingga hal ini membuat ketergantungan MC terhadap TC sangat tinggi. Seperti kita tahu bahwa MC berupa konten dalam pemberitaan baik yang sifatnya berita, life style, liputan olah raga, kesehatan dan lain halnya di mana MC tunduk pada aturan dari Undang–Undang yang ada serta aturan atau ketentuan yang ada di dewan pers, sedangkan TC tidak terikat dengan aturan mana pun.
Seiring perkembangan internet dan kebutuhan para penggunanya, perlahan TC mulai membuat konten, seperti Google mulai dengan konten berita dan begitu juga dengan Youtube. Dan jumlah MC di Indonesia mencapai 67.000 di mana dari MC tersebut tidak semuanya “mainstream”. Sebab syarat untuk terpenuhi MC yang unggulan atau kredibel meliputi berbadan hukum usaha dan berbentuk PT serta Pemimpin Redaksi haruslah bersertifikat dan itu juga berlaku pada para jurnalisnya. Sayangnya di daerah banyak sekali “media individu” yang merusak ekosistem pada Media Corporate. Pada MC model bisnis masih dipengaruhi oleh banner, viewer, click, serta akuisisinya, makin banyak traffic dan viewer maka peluang pun makin besar. Media Company sendiri akan terus tumbuh sebab konten serta jurnalisnya tersedia, tim creative menjadi sangat penting dan kuat. Konten diperlakukan sebagai produk dan Brand Mention pada dunia digital masih terbilang baru. Hal ini yang belum tersedia pada Teknlogi Corporate.
Bila MC (Media Corporate) sudah memiliki aturan, tidak untuk TC (Teknologi Corporate). Untuk TC sendiri sampai saat ini belum ada sehingga hoax merajalela, sebab peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak mengenal istilah hoax namun mengenal istilah berita bohong. Dan aturan itu ada pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan perubahannya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Sehingga keberadaan berita bohong (hoax) dapat dikatakan sebagai tindak pidana.
Penanganan hoax sendiri belum maksimal dalam fitur teknologi aturan di Indonesia. Negara yang sudah menerapkan aturan jelas adalah Jerman, satu pemberitaan hoax dikenakan denda 10.000 Euro dan kasus ini pernah menimpa Facebook sehingga Facebook membayar denda tersebut pada pemerintah Jerman. Seharusnya Indonesia sudah mulai membuat aturan yang jelas untuk TC, sebab regulasi tentang TC masih sangat lemah. Harus ada klasifikasi aplikasi yang masuk dalam TC. Facebook di Amerika masuk dalam Media Company, sedangkan di Indonesia masih masuk dalam Teknologi Company. Sudah saatnya regulasi untuk TC didorong sehingga mempunyai ketentuan hukum yang jelas dalam era kemajuan teknologi saat ini.
Pemimpin Umum serikatnews.com
Menyukai ini:
Suka Memuat...