Mengenal Lampuyang
Lampuyang, satu nama desa yang terletak di sebelah barat Kecamatan Tanara, sebelum pemekaran tahun 2012 lalu termasuk desa yang ada di wilayah Kecamatan Tirtayasa. Kini jumlah penduduknya paling banyak dari desa-desa yang ada di wilayah Kecamatan Tanara sekitar 5000 jiwa dan termasuk salah satu desa yang menerima dana ADD (Anggaran Dana Desa) dari sumber APBN.
Secara sosio-religius, Lampuyang dikenal sebagai masyarakat agamis, konservatif dan memegang tradisi Islam Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Sementara dilihat dari aspek pendidikan, kini Lampuyang masih dikenal sebagai desa santri dan desa terpelajar. Banyak putera Lampuyang yang mampu belajar hingga ke perguruan tinggi dan sampai pula ada yang telah S3. Rerata pendidikan anak-anak Lampuyang sampai S1 (strata 1).
Secara culture, masyarakat Lampuyang sama dengan masyarakat Serang, Banten pada umumnya, meskipun ada adat istiadat lokal yang sedikit berbeda. Seperti dalam perayaan maulid Nabi SAW, walimahan, dan kegiatan di hari lebaran Idul Fitri (syawalan). Tradisi yang berasal dari pesantren salaf itu masih tampak terlihat di masyarakat Lampuyang dan berakar dari tradisi leluhurnya yang kebanyakan ulama salaf (ulama ahli tarekat).
Kampung ini pula banyak melahirkan ulama-ulama besar yang terkenal dan mendunia, seperti Syaikh Abdul Karim, Syaikh Arsyad Thowil, Syaikh Arsyad Qhosir, Syaikh Marzuqi, Syaikh Abdul Gaffar, Syaikh Syanwani, Syaikh Maulud, Syaikh Adung, Syaikh Fakhri (Aslam), Syaikh Fayumi Thowil (Astana), kedua terakhir nama yang disebut itu adalah putera dari Syaikh Arsyad Thowil dari ibu Lampuyang.
Riwayat Kelahiran
Arsyad lahir pada tahun 1851 M di Kampung Lampuyang, Kecamatan Tanara, Kabupaten Serang, Provinsi Banten, dari pasangan Imam As’ad bin Mustofa bin As’ad dan Ayu Nazham.
Arsyad terlahir dengan nama Muhammad Mas Arsyad bin As’ad. Kata ‘Mas’ merujuk pada gelar bangsawan yang sudah melekat di masyarakat kesultanan Banten tempo dulu, yakni sebutan dari Permas, di samping gelar bangsawan lainnya seperti Tubagus dan Entol. Gelar Permas lalu disingkat menjadi Mas.
Kemudian gelar tersebut tidak lagi dipakai setelah Arsyad mukim di Mekkah saat menjadi santrinya Syaikh Nawawi al-Bantani, dan saat menjadi mutawwif (pembimbing haji) pada tahun 1870-1880 M. Arsyad lebih dikenal dengan Syaikh Arsyad Thowil dengan penyebutan thowil dari kata B. Arab طويل yang artinya panjang atau tinggi, konotasi dari sosoknya yang tinggi besar.
Pendidikan
Pada saat usia masih belasan tahun, Arsyad muda menimba ilmu di pesantren yang diasuh oleh Syaikh Sahal (guru Syaikh Nawawi), dan di pesantren yang dibina oleh Syaikh Yusuf Purwakarta, Cilegon, Banten. Kemudian sekitar usia 16 tahun, yakni di tahun 1867, Arsyad muda berangkat ke Mekkah mengikuti jejak para pendahulunya untuk menuntut ilmu di Tanah Suci, Mekkah saat itu telah menjadi pusat dari kajian ilmu-ilmu agama Islam.
Untuk pertama kalinya saat di Mekkah, Arsyad muda menimba ilmu kepada Syaikh Abdul Ghani Bima, kemudian Arsyad melanjutkan belajar kepada ulama besar lainnya yang masyhur di Mekkah, seperti Syaikh Zaini Dahlan, Syaikh Nahrawi, Syaikh Sayyid Umar Syatha, Syaikh Sayyid Usman Syatha, Habib Muhammad bin Hussein al-Makky, dan ulama yang masyhur di Madinah, Arsyad muda belajar kepada Sayyid Ali bin Zhahir al-Watri, Syaikh Abdul Jalil Barradah.
Arsyad muda juga belajar kepada ulama-ulama yang berasal dari Nusantara, terutama kepada sang guru utama, yaitu Syaikh Nawawi Tanara dan kepada saudaranya, yakni Syaikh Abdul Karim yang telah masyhur menjadi sufi besar tarekat qodiriyah wa naqsabandiyah.
Snouck Hurgronje, orientalis Belanda memuji ulama-ulama Banten dengan ungkapan ‘the most highly esteemed leaders of the intellectual movement originate in most cases from Banten’ yang artinya kira-kira bahwa sebagian besar asal para ulama paling dihormati, penggagas gerakan intelektual berasal dari Banten.
Perjuangan
Tahun 1883, Arsyad telah yang menjadi Syaikh Muhammad Arsyad Thowil pulang ke Tanah Air bersamaan dengan peristiwa meletusnya Gunung Krakatau yang menelan korban 36.417 jiwa. Baru 2 tahun mukim dan berkeluarga di Lampuyang, tahun 1885 terjadi wabah penyakit hewan yang berdampak pada kesehatan masyarakat Banten.
Tidak hanya itu, Pemerintahan Kolonial Belanda membuat masyarakat Banten semakin tertekan dengan hukuman yang diberikan kepada masyarakat secara tidak adil, terutama kebijakan pajak yang mencekik dan sangat memberatkan pribumi.
Atas restu dari Syaikh Nawawi al-Bantani yang mukim di Mekkah itu, murid-murid sang Syaikh yang telah kembali ke Banten untuk melakukan jihad atas ketidakadilan pihak kolonial terkait pajak tinggi dan ketidakadilan hukum.
Sikap perlawanan tersebut dimotori oleh Syaikh Wasid Beji (Ki Wasid), Syaikh Arsyad Thowil (Ki Arsyad), Syaikh Arsyad Qoshir, Syaikh Marzuqi (Ki Marzuqi), Syaikh Tb. Ismail (Ki Ismail), Syaikh Yahya (Ki Wahiya), serta didukung oleh banyak ulama seantero Banten, khususnya Serang dan Cilegon. Sementara basis perlawanan disepakati semua ulama yaitu di kampung Lampuyang yang jaraknya jauh dari intaian mata-mata polisi rahasia Belanda. Kebetulan rumah Ki Arsyad Thowil dijadikan markas dalam mengatur strategi perang.
Peran Ki Arsyad dalam perlawanan terhadap penjajah Belanda dengan membuka rumahnya sebagai markas menunjukkan ghiroh yang luar biasa untuk melawan penjajah Belanda dengan dasarnya fardlu ain dan atas restu gurunya, yakni Syaikh Nawawi al-Bantani.
Pada tanggal 9 Juli 1888 disepakati sebagai awal mulainya perang yang sasarannya adalah kantor asisten residen Banten di Cilegon (asisten Goebels) dan ditengarai sebagai pihak yang memicu perlawanan ulama dan rakyat Banten. Maka perang yang berkobar dari tanggal 9 hingga 30 Juli 1888 itu dikenal sebagai Geger Cilegon.
Meski Geger Cilegon berhasil membunuh asisten residen Goebels dan banyak orang Belanda lainnya, justru perang tersebut tidak seimbang ketika bala bantuan dari Batavia datang dengan persenjataannya yang lengkap dan dapat memukul mundur perlawanan para ulama yang bersenjatakan golok, parang, tombak, pedang dan keris. Namun di kemudian waktu, ternyata pengaruh Geger Cilegon berdampak sangat luas.
Geger Cilegon menjadi perhatian pihak kolonial Belanda untuk mengambil tindakan menangkapi alim ulama yang terlibat dalam perang tersebut, dengan kuatnya militer kolonial Belanda mereka bergerak secara sporadis untuk menghukum mereka, satu di antara tokoh sentral Geger Cilegon ialah Ki Wasid dihukum pancung di depan kantor Asisten Residen di Cilegon, sedangkan ulama lainnya seperti Ki Marzuki dijebloskan ke penjara tanpa melewati pengadilan, dan ulama yang lainnya dijebloskan ke penjara Batavia untuk selanjutnya dihukum buang atau diasingkan seperti:
Ki Arsyad Thowil dihukum buang ke Manado Sulawesi Utara, Ki Abdurrahman bin Akib dihukum buang ke Kepulauan Banda, Ki Haris dihukum buang ke Bukittinggi, Ki Arsyad Qoshir dihukum buang ke Buton, Ki Tubagus Ismail dihukum buang ke Flores, sedangkan sisanya dihukum buang ke Ternate, Ambon dan Kupang.
Di tempat pengasingan (Manado) Ki Arsyad aktif mengajar penduduk Manado sekaligus menyebarkan Islam di wilayah yang mayoritas Kristiani itu hingga kemudian berkeluarga dengan orang Manado dan beranak pinak di sana tanpa kembali ke Banten.
Akhir Hayat
Di pengasingan Menado Sulawesi Utara, Syaikh Arsyad Thowil hidup dan berkeluarga dengan penduduk asli Manado yang kebetulan beragama Kristen, yakni menikahi Magdalena Runtu. Kemudian istrinya tersebut masuk Islam dan mengganti nama menjadi Tarhimah Magdalena Runtu.
Kehidupan baru Syaikh Arsyad Thowil bersama Magdalena Runtu di Manado diisi dengan kegiatan mengajar, mendidik dan membimbing penduduk Manado hingga sampai wafatnya di tahun 1935, tepatnya Senin 19 Maret 1935. Sang Syaikh yang wafat berumur 84 tahun itu dimakamkan di pemakaman keluarga Runtu di Lawangirung Wenang Manado.
Wakil Ketua PW Ansor Banten