SETELAH DPR, pemerintah dan penyelenggara pemilu memutuskan pelaksanaan pemilu serentak pada 14 Februari 2024 dan Pilkada pada 27 November 2024, kini beberapa elite partai politik memunculkan wacana penundaan pemilu. Akibat dari wacana partai politik koalisi pemerintah, yaitu Golkar, PKB dan PAN yang menyampaikan pendapat kepada media agar pemilu 2024 ditunda selama satu sampai dua tahun, timbul juga wacana perpanjangan masa jabatan presiden. Pandemi Covid-19 dan tingginya beban biaya pemilu dibandingkan pemilu sebelumnya menjadi alasan yang cukup rasional untuk menunda pemilu 2024.
Jika usulan ini direalisasikan, maka ini jelas pelanggaran terhadap konstitusi. Sebab, Pasal 22 E ayat 1 UUD 1945 telah menegaskan bahwa Pemilihan Umum dilaksanakan dalam lima tahun sekali dan pada Pasal 7 UUD 1945 diatur periodisasi masa jabatan Presiden/Wakil Presiden bersifat tetap dengan lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Banyak tokoh yang memberikan argumen bahwa bisa saja penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden dilakukan dengan jalan Amandemen UUD 1945.
Perubahan Konstitusi atau Amandemen UUD 1945 dengan tujuan hanya untuk menunda pemilu dan menambah masa jabatan Presiden adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai demokrasi yang ada di dalam konstitusi. Padahal salah satu fungsi konstitusi adalah untuk membatasi kekuasaan. Terlebih konstitusi juga tidak memberi ruang adanya penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden. Selain itu, penundaan pemilu juga sama artinya menunda regenerasi kepemimpinan yang seharusnya terus berjalan demi menghindari kekuasaan yang terlalu panjang.
Keadaan darurat karena pandemi Covid-19 tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda pemilu dan memperpanjang masa jabatan Presiden. Sebab, dalam menghadapi tantangan menjalankan masa pemerintahan pada masa darurat kesehatan saat ini, seharusnya Presiden beserta jajaran dan partai politik sebagai bagian dari fraksi di DPR mencari jalan keluar yang tepat yang dapat dilaksanakan dalam waktu dua tahun ke depan sebelum periode berakhir. Bukan justru sibuk mewacanakan perpanjangan waktu periode pemerintahan.
Merespons wacana yang melawan konstitusi tersebut bahwa beberapa ketua umum partai politik telah mengajukan usulan untuk melakukan penundaan pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden, penulis memberikan catatan sebagai berikut:
Pertama, bahwa ide perpanjangangan masa jabatan Presiden merupakan hal yang inkonstitusional. Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 telah mengatur masa periode jabatan Presiden, yaitu “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Dengan aturan ini tidak ada lagi presiden memegang kekuasaan yang sangat lama karena maksimal hanya dua periode atau 10 tahun.
Kedua, bahwa ide perpanjangan Presiden merupakan hal yang ahistoris. Melihat fakta sejarah hasil kesepakatan reformasi pada tahun 1998 menghendaki adanya penyempurnaan ketatanegaraan yang diikuti dengan demokratisasi. Tidak boleh lagi ada pasal multitafsir dan pembatasan kekuasaan.
Ketiga, bahwa ide perpanjangan masa jabatan presiden mengingkari semangat pembatasan kekuasaan (prinsip konstitusionalisme). Konstitusionalisme menghendaki bahwa kekuasaan itu harus diatur dan dibatasi. Diaturnya periodisasi masa jabatan ini untuk menjamin sirkulasi pergantian pemimpin. Tanpa ada pembatasan masa jabatan Presiden berpotensi akan memunculkan penyalahgunaan kekuasaan.
Keempat, apabila wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode akan direalisasikan, maka ke depan UUD NRI 1945 tidak akan digunakan lagi untuk mengatur dan membatasi kekuasaan tetapi justru untuk melanggengkan kekuasaan. Dengan demikian praktik-praktik abuse of power akan terjadi tanpa tahu kapan berakhir.
Terhadap beberapa catatan tersebut, penulis merekomendasikan siapa pun penyelenggara negara harus patuh dan taat kepada amanat konstitusi. Kemudian kepada Presiden dan DPR untuk menolak ide penundaan Pemilihan Umum 2024 sehingga agenda oemilu tahun 2024 tetap diselenggarakan sesuai perintah Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Terahir kepada ketua umum partai politik dibanding memberikan usulan yang inkonstitusional seharusnya lebih fokus melakukan kaderisasi, sehingga dapat menghasilkan calon yang berkualitas untuk diusung menjadi Presiden tahun 2024.
Magister Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Menyukai ini:
Suka Memuat...