Tahun 2030 Indonesia masih jaya, jika sebelum memasuki 2019 kita mau ganti otak. Lho ganti otak, apa bisa? Ya sudah, kalau ndak bisa ya ganti pikiran saja. Kenapa?
Ternyata jalinan syaraf di batang otak sebagian orang Indonesia ini terlalu peka, sehingga mudah berreaksi terhadap rangsangan external yang menggugah rasa, terutama rasa takut dan marah. Informasi yang berjalin dengan soal suku, agama, dan ras sering ditelan tanpa validasi. Padahal di tahun 2019 ada potensi besar berita gorengan semacam itu untuk kepentingan kontestasi.
Kita sama sama paham bahwa hoax sudah menjadi strategi politik di banyak negara. “Suksesnya” Pemilu di Amerika, Venezuela dan beberapa yang lain tidak lepas dari jasa produsen dan penyebar hoax. Konon mejelang 2019 ini tenaga marketing dari perusahaan mesin hoax sudah berkeliaran menemui para kontestan pemilu untuk menawarkan jasa robot yang bersedia mengantar hoax sampai gadged Anda. Jika kita masih memakai otak yang lama, cerita fiktif tentang kehancuran Indonesia tahun 2030 akan menjadi keniscayaan.
Produsen hoax dengan cerdas memproduksi berita yang langsung dikonsumsi batang otak kita. Berita itu memiliki kemampuan mem bypass neo cortex, tempat logika manusia ditumpukan. Ketika terpapar berita semacam itu logika kita majal.
Berita semacam apakah itu? Berita yang mengaduk aduk kecemasan, ketakutan dan kemarahan. Issu SARA adalah makanan lezat bagi batang otak atau reptilian brain kita. Tahun 2019 diramalkan akan banyak beredar issu sara untuk kepentingan politik. Jika otak kita masih bekerja dengan cara yang sama, apa beda kita dengan reptile lainnya.
Mari kita mundur sedikit di bulan Januari 2014. Pada saat itu dunia maya digemparkan oleh gambar seorang anak kecil yang tidur diantara dua pusara. Caption-nya, kira kira begini: Seorang yatim piatu dari Syria tidur di antara makam kedua orang tuanya. Syria pada waktu itu sedang berada di cengkeraan ISIS. Foto itu langsung dicerna otak primitive kita. Sehingga tanpa validasi, masyarakat rame rame menyebarkannya.
Belakangan muncul klarifikasi dari Abdel Aziz Al Atibi, seorang fotografer berkebangsaan Saudi yang mengatakan bahwa foto itu adalah karya seni. Anak yang menjadi model itu Ibrahim keponakannya. Foto itu diambil di Arab Saudi bukan di Syiria. Pusara itu juga cuma tanah yang dibuat gundukan. Abdel juga mengunggah foto yang lain untuk klarifikasi.
Foto itu terlanjur jadi viral dan mencemari otak bangsa manusia. Orang Indonesia banyak andilnya. Kenapa ? Karena otak reptile kita gampang disentuh oleh rasa perasaan yang haru biru. Bila sudah tercipta kondisi semacam itu produsen hoax tinggal mengarahkan bidikan saja, “Jadilah cerdas dengan memilih si Bejo, bukan si Jono. Maka apinya pun akan menyala.
Bagaimana agar di tahun 2030 Indonesia masih jaya? Menjelang 2019 ini, mari kita ganti pikiran kita. Biarlah otak kita disegarkan oleh tema thema lain, selain sentiment agama, suku, dan ras yang akan menjadi komoditas politik. Kita segarkan neurotransmitter kita dengan mengenal hal hal baru seperti issu lingkungan, HAM, cinta kasih, pembangunan berkelanjutan, transformasi peradaban dan lain sebagainya. Sebelum 2019, jika tidak bisa ganti otak, mari kita ganti thema thema dalam pikiran kira.
Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Menyukai ini:
Suka Memuat...