SERIKATNEWS – Dalam rangka turut mengawal proses politik yang berkualitas dan damai, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Fakultas Hukum menggelar kegiatan diskusi daring bertajuk “Strategi-Partisipas Mahasiswa Mengawal Pilkada 2020 Berkualitas dan Damai”. Dialog virtual melalui platform Zoom Meeting ini dihelat pada Senin, (7/9) siang.
Ratusan peserta yang ikut bergabung notabene berasal dari mahasiswa, aktivis kampus, hingga akademisi dan dosen. Hadir sebagai narasumber pada kegiatan dialog online itu Dosen Ilmu Politik Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) sekaligus Direktur Riset Setara Institute, Halili, dan Ketua Kaukus Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kota Surakarta, Bambang Nugraha.
Presiden BEM UMS Fakultas Hukum, Aditya Ramadhan, menjelaskan dalam sambutannya, mahasiswa mesti berpangku tangan dengan elemen lain untuk berpartisipasi dan berkontribusi mengawal jalanannya proses politik Pilkada 2020 berkualitas. Menurutnya, fungsi social control mahasiswa mesti digalakkan untuk mengantisipasi praktik buruk dalam Pilkada 2020.
Setidaknya, kata Aditya, menguatnya sentimen yang dibungkus dalam praktik politik identitas serta massifnya informasi bohong dan adu-domba mestinya menjadi perhatian serius semua kalangan, termasuk mahasiswa. Politik identitas dan hoaks justru akan menumpulkan rasionalitas pemilih yang akhirnya hanya akan membuat sistem demokrasi kita lumpuh.
“Karena itu, demi merawat marwah demokrasi dengan menjamin proses Pilkada 2020 berkualitas dan damai, mahasiswa mesti berkontribusi dengan melakukan edukasi publik tentang bahaya informasi bohong yang mudah mengadu-domba, termasuk juga bahaya sentimen politik identitas yang tak jarang membuat retak keakraban masyarakat,” ungkap dia.
“Harapannya, gelaran diskusi ini mempu memantik kepekaan mahasiswa dan aktivis kampus terhadap isu-isu Pilkada. Mari kawal bersama-sama proses pemilihan elektoral ini secara transparan, berintegritas, dan sejuk,” pungkas Aditya.
Politik Identitas
Dalam pemaparannya, Halili menyebut peran mahasiswa sangat penting, terutama untuk memberikan kontribusi dalam meningkatkan kualitas demokrasi. Peran tersebut menjadi kian urgen mengingat lemahnya kontrol pengawasan di tingkat elite.
Menjelang Pilkada 2020, selain untuk mengontrol kekuasaan, kata Halili, mahasiswa juga harus menjadi soliditas dan kohesi sosial masyarakat. Sebab, dalam kontestasi elektoral, politisasi agama, misalnya, akan merusak kebhinekaan yang telah menjadi pondasi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Jika agama digunakan sebatas untuk kepentingan kontestasi politik, akan memengaruhi preferensi pemilih. Alih-alih mendorong terciptanya demokrasi berkualitas, politisasi agama justru memperburuk co-eksistensi damai,” terang Halili.
Pasalnya, tak jarang politik identitas dilakukan oleh masyarakat. Tentu, ini berbeda dengan masa Orde Baru, di mana politik identitas diciptakan oleh tentara.
“Konsekuensinya ialah mudahnya setiap individu melakukan tindakan persekusi dan diskriminasi terhadap individu lain. Politik identitas yang lahir dari masyarakat lebih berbahaya ketimbang politik identitas yang diciptakan negara,” kata dia.
“Atas dasar itu, mahasiswa jangan segan-segan untuk mengingatkan masyatakat sekitar akan bahaya politisasi agama, ujaran kebencian, dan hoaks,” pungkas Halili.