Sobat kental tanya – apa penyebab kejadian kejadian terkini. Saya lihat ia ingin jawaban nyeleneh bukan normatif. Saya jawab singkat- REFORMASI. Matanya mendelik – melihat lebih serius.
Zaman Orde Baru Pak Harto apa ada seperti ini ? Ia menggeleng. Nah ketika ada kebebasan maka semua keinginan terpendam sadar tak sadar – suka tak suka muncul kembali.
Sayangnya EKKA (Ekstrem Kanan) dan EKKI (Ekstrem Kiri) yg dijaga ketat, pasca reformasi hanya Ekki yg masih diblock. Ekka bebas meraja-lela.
Jadi sebenarnya reformasi bukan hanya menimbulkan hal-hal positif, ia memunculkan juga sisi ekses yang negatif di mana berujung pada sikon terkini. Sobat saya terpaksa mengangguk membenarkan.
Ketika kita sudah menerima 4 Pilar maka sebenarnya keinginan utk menjadikan NKRI berazaskan Islam sudah tertutup. Namun ternyata keinginan untuk tetap mencoba masih terlihat jelas kendati akan diupayakan secara damai dan demokratis. Ini yang sebenarnya membedakan dengan terorisme dimana kekerasan dikedepankan. Tapi manakala pintu sudah tertutup maka apa yang akan dikerjakan ?
Radikalisme menjadi kata kunci. Ia digunakan untuk suatu pandangan ekstrem dan diimplementasikan. Bukan hanya suatu bahan diskursus yg bertele-tele. Ketika zaman ekstrem kiri “in” pandangan kiri baru mendunia maka sayap gerakan Brigade Merah menjadi momok. Namun perubahan gerakan sosialisme internasional menggerus pandangan ekstreem menjadi lebih ketengah – apalagi ketika mereka bisa berkuasa di Eropa Barat bahkan di Inggris. Jelas di Indonesia sikap pemerintah meneruskan Pak Harto- tidak akan memberikan ruang sedikitpun hingga ideologi kalaupun boleh disebut yang ada hanyalah nasionalis dan agamis.
Sayangnya radikalisme internasional berbasis agamis (utamanya Islam) semakin mendunia. Sukses di Mesir, Libya, Irak menjadikan semacam pembebaran bahwa cara tersebut bisa berhasil di negara dengan populasi muslim mayoritas seperti Indonesia. Ketika muslim di Indonesia sebagian besar dianggap soft maka perlu dengan berbagai cara diupayakan tumbuhnya muslim garis keras.
Tanpa kita sadar ini sudah berjalan bertahun-tahun. Boleh dibilang kaum nasionalis dan Islam moderat – “planga-plongo” saja. Hingga bisa saja ketika mereka bangun disuatu Senin pagi – semua sudah terlambat.
Retno Listyarti menulis di Kompas, Jumat 18-5-2018 “Ketika Radikalisme Masuk Ke Sekolah”. Jelas bahwa kebencian sudah ditanamkan sejak dini. Mereka akan menjadi teroris setelah melalui beberapa tahap. Jelas ini tidak bisa didiamkan. Kita berpacu dengan waktu untuk menetralisir sejak dini, sementara pemuda-remaja dan dewasa harus diberi pengertian. Diajak berdiskusi – memakai nalar dan logika yang baik dan benar. Karena justru agama yang mengajarkan menggunakan nalar – akal sehat itu adalah Agama Islam.
Bersama seorang sobat lain kami pernah mencoba menghitung berapa banyak ustadz, guru ngaji yang baik untuk mengajarkan nilai-nilai Islam yang berguna bagi kemanusiaan dan peradaban – ternyata lebih dari 100.000 orang. Namun yg tak kalah pentingnya adalah mendorong orang tua untuk bersikap seperti itu. Organisasi-organisasi keagamaan tentu telah jauh hari melakukannya. Bagaiman meningkatkannya dan menjaganya agar tetap semangat. Karena sebenarnya disinilah hari depan bangsa dan negara kita.
Menempatkan nilai-nilai luhur pada semua warganegara tidak berkaitan dengan proses menang kalah dalam politik. Karena siapapun yang memimpin ia tetap harus melaksanakan tugas sesuai konstitusi di atas.
Demikian juga dalam menegakan keadilan serta memakmurkan seluruh rakyat. Jadi inti pokoknya seluruh warganegara Indonesia yang cinta akan negara dan bangsa wajib untuk waspada dan tidak boleh lengah.
Menyukai ini:
Suka Memuat...