Apa yang akan terjadi jika disuatu negara para pemimpinnya berwajah palsu (baca: munafik)? Tidak jarang ditemukan pemimpin yang ketika di depan masyarakat mengaku patriotik, pembela kepentingan rakyat, namun di belakang, karena jabatan dan kemampuannya yang dapat mempengaruhi kebijakan, justru menguras kekayaan negara. Akhirnya, negara di bawah tangan mereka digirng ke arah kebangkrutan, dan, tentu saja kepada kekacauan (chaos)
Tidak jarang pula masyarakat disuguhkan oleh tingkah yang begitu memuakkan para elit politik, baik yang berposisi oposan maupun yang berkuasa dalam memperebutkan kursi kekuasaan. Di hadapan publik, manusia-manusia ini terlihat begitu meyakinkan, tidak jarang dihormati dan disanjung, namun sebenarnya memiliki sebuah misi yang begitu misterius.
Wajah asli manusia-manusia semacam ini akan terlihat ketika situasi negara dalam keadaan sulit. Apakah mau berkorban atau tidak, akan tampak terlihat disaat negara sedang krisis. Jiwanya sebenarnya rapuh, melow dan keropos, bahkan terkulai lemas jika dimintai pertanggung jawaban oleh publik. Untuk itu, di antara sesamanya kadang saling menyalahkan dan saling melempar tanggung jawab. Di kepala mereka, pada situasi yang sedang krisis, hanya memikirkan bagaimana mereka dapat terbebas dari jeratan problem.
Ditambah lagi dengan pengusaha kelas atas, konglomerat yang keberadaannya selalu menempel pada pejabat, para elit politik, atau menempel pada wakil rakyat hasil elektoral. Para pengusaha ini selalu berusaha mencari muka, mencoba menawarkan jasa gratis, bahkan memberi hadiah untuk menarik simpati demi mendapatkan privilage. Di saat negara sedang mengalami krisis, para konglomerat ini akan segera kabur, jangankan memikirkan nasib rakyat dan negara, para konglomerat ini bahkan tidak segan-segan melarikan hartanya ke luar negeri.
Manusia-manusia ini tidak saja munafik, melainkan juga sangat rapuh, melow nan keropos jiwanya. Idealnya, dalam situasi krisis, para pemimpin hendaknya mengorganisir rakyat untuk bersama-sama melawan krisis, dan bersama-sama bergotong royong membangun negara yang sedang terseok.
Dalam situasi negara yang krisis, karena para pemimpin ini kadang masih ingin mempertahankan kekuasaan dan tentu terhadap akses kepada periuk nasinya, dengan atas nama negara dan nasionalisme, tidak segan-segan memilih berhutang kepada negara luar. Negara akhirnya, meminjam bahasa dari Andre Gunder Frank, dibuat menjadi “ketergantungan”.
Krisis, jika merujuk pada pengertian asalinya di dalam bahasa Yunani, berasal dari kata kerja “krinein” yang berarti memilah-milah, memutuskan, atau menegaskan suatu keputusan. Maka, krisis yang dimaksud tidak lain berarti saat untuk mengambil keputusan atau waktu untuk menegaskan diri dihadapan problematika kesulitan yang segera menerjang. Karena manusia memiliki bakat menalar, maka manusia (atau sebuah bangsa) diandaikan telah terlebih dahulu mampu mendeteksi atau mengenali datangnya krisis. Dari hasil pendeteksian tersebut, kapasitas, kemampuan maupun daya untuk menegaskan sebuah keputusan dalam situasi krisis diharapkan dapat diambil secara tepat.
Situasi krisis dalam hal ini menuntut seseorang untuk berpikir radikal dan tentunya cara berpikir itu diambil di luar wilayah batas kenormalan. Situasi yang abnormal harus diselesaikan dengan cara-cara yang juga abnormal. Hal ini berarti bahwa, ketika menegaskan diri di tengah krisis dan untuk bersikap tepat, seseorang harus terlebih dahulu mengenali problematika yang dihadapi.Martin Heidegger, mengemukakan bahwa tuntutan untuk mengambil keputusan dihadapan problematika dalam situasi krisis selalu berada di antara dua kutub.
Pertama, keterlibatan atau keterjangkaran pada masalah dasar yang melingkupi keadaan eksistensial manusia, dan yang kedua, keterarahan pada cakrawala kemungkinan yang tidak terbatas.
Pada yang pertama, memungkinkan manusia untuk selalu mempertanyakan, menggugat, dan mendefinisikan atau memaknai kembali cara beradanya yang secara mendasar bersifat kontingen (berubah-ubah atau tidak pasti). Dan pada yang kedua memungkinkan manusia untuk berani menanggung beban masa depan yang belum diketahuinya, termasuk kematiannya sendiri.
Untuk itu, manusia yang tidak dapat memutuskan dan menegaskan diri dihadapan situasi krisis adalah manusia yang tidak mampu mengenali masalah sebagai masalah, sekaligus manusia yang selalu takut dan cemas dengan dirinya sendiri yang terekspos dihadapan kemungkinan masa depan yang tidak pasti. Manusia seperti ini adalah manusia yang tidak authentik, inferior, yang lari dari dirinya sendiri dan lari dari masalah yang dihadapi. Bayangkan saja jika hal ini dilakukan oleh mereka yang mendaulat dirinya sebagai pemimpin.
Bukankah seorang pemimpin adalah karena dia yang mampu membaca situasi dan mampu mengarahkan dan memberi petunjuk kepada mereka yang dipimpin kearah masa depan untuk keluar dari masalah? Kemampuan itu tentu saja tidak banyak dimilikii oleh orang kebanyakan, justeru karena itulah dia disebut sebagai pemimpin.
Sayangnya, banyak pemimpin saat ini yang mendaulat dirinya sendiri sebagai pemimpin, ketika situasi sedang sulit, justeru yang paling terlebih dahulu melarikan harta dan diri pribadi agar selamat. Dan setelah situasi kondusif, mereka juga yang paling pertama tampil di muka publik dengan senyum nyinyir.Orang-orang inilah, yang ketika situasi dunia yang terus berkembang dan maju, dunia yang terus membentuk dirinya dari hasil kerja manusia, yang akan tersingkir dari ruang publik.
Tersingkirnya orang-orang ini bukan karena begitu saja tiba-tiba disingkirkan oleh masyarakat, namun karena ulah mereka sendiri-lah yang meruntuhkan kepercayaan publik atas mereka. Mereka mendelegitimasi dirinya sendiri, dan akhirnya menjadi teralienasi dari lingkungan sosial tempat tinggal-nya.
Jika masyarakat sudah menutup diri terhadap mereka, tentu akan menjadi sulit bagi mereka untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Konsekwensi-nya adalah mereka akan sulit untuk melakukan aktualisasi diri di ruang publik. Gambaran ini berlaku jika diandaikan masyarakat itu sendiri bukan-lah masyarakat yang pelupa.
*Mahasiswa Ketahanan Nasional, Pascasarja UGM.