Silang pendapat antara Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono dan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan tentang banjir Jakarta dan sekitarnya usai meninjau daerah terdampak banjir dari atas helikopter menarik untuk dicermati.
Di depan rekan-rekan media, Basuki yang berdiri berdampingan dengan Anies memberikan keterangan didahului permintaan maaf, “Maaf, Bapak Gubernur ternyata Kali Ciliwung sepanjang 33 kilometer yang dinormalisasi baru 16 kilometer. Yang sudah dinormalisasi Insya Allah aman.”
Pernyataan Basuki merujuk pada proyek normalisasi Kali Ciliwung sepanjang 33 kilometer yang dimulai sejak 2013 namun terhenti pada 2017. Tidak diteruskannya proyek normalisasi ini yang disinyalir Basuki sebagai penyebab banjir. Menurut Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung-Cisadane, Bambang Hidayah, proyek normalisasi terhambat karena masih adanya lahan yang belum dibebaskan oleh Pemprov DKI. Normalisasi Kali Ciliwung yang dimulai dari Jakarta Outer Ring Road (JORR) hingga Manggarai merupakan komitmen pemerintah pusat untuk mengendalikan banjir Jakarta. Sementara pengendalian banjir dari hulu ke hilir dibangun bendungan kering Ciawi dan Sukamahi yang semula ditargetkan rampung akhir 2018.
Anies pun menyangkal pernyataan Basuki yang berdiri di sebelahnya dengan mengatakan jika penyebab banjir Jakarta adalah tidak adanya pengendalian air hujan yang mengalir deras dari selatan, yakni dari wilayah Bogor dan sekitarnya yang merupakan hulu air. Bukan karena permasalahan normalisasi kali. Selama air tak dikendalikan, tambah pak Gubernur, selebar apa pun sungainya, Jakarta akan tetap banjir. Ini agak kontradiktif dengan yang terjadi pada tahun 2012 lalu, ketika Jakarta dilanda banjir yang diakibatkan oleh dirinya sendiri, karena hujan deras yang hanya melanda Jakarta dan bukan karena hujan di daerah hulu.
Hujan sebenarnya telah diprediksi oleh BMKG. Ketika volume airnya sangat ekstrem, tentu akan mengakibatkan luapan-luapan. Pokok permasalahannya pada watersheds atau Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berada di hulu, tengah dan hilir. Infrastruktur dan rekayasa yang dilakukan tidak terintegrasi. Normalisasi atau belakangan ini muncul istilah naturalisasi yang digaungkan oleh Pemprov DKI Jakarta adalah dua konsep yang pada intinya mengembalikan sungai sesuai fungsinya. Seorang budayawan keberatan dengan istilah normalisasi jika yang dimaksud adalah betonisasi, mengubah sungai menjadi got raksasa. Hal itu bisa dipahami dengan melihat bentuk-bentuk kali yang telah dinormalisasi. Menurunkan derajat sungai menjadi got raksasa rasanya ungkapan yang tak berlebihan. Betonisasi tak memberi Ciliwung kesempatan untuk menjalankan fungsi sempadannya dalam menampung dan meresapkan luapannya, hanya mempercepat laju air.
Menurut Hadi Susilo Arifin, Ahli Ekologi Universitas IPB, normalisasi atau naturalisasi disesuaikan dengan kondisi geografis. Normalisasi akan tepat dilakukan untuk sungai perkotaan yang diapit jalan raya dengan beban kendaraan yang masif. Sementara naturalisasi dapat dilakukan pada wilayah datar dan ruang terbuka yang cukup luas, sesuai dengan pengertian naturalisasi itu sendiri, kembali pada alam secara natural. Bentuk sungai yang berkelok akan dikembalikan lagi sesuai history-nya, bukan lurus berbeton.
Apapun itu, keduanya butuh pembebasan lahan dan relokasi bangunan. Dan tentu saja untuk naturalisasi dibutuhkan ruang yang lebih luas. Seharusnya kedua konsep ini tidak menjadi dikotomi pemerintah pusat dan daerah yang memiliki ego sektoral masing-masing. Sebab toh harus dilakukan secara sinergi.
“Selebar apa pun sungainya, Jakarta akan tetap banjir,” kata pak Gubernur. Tampaknya ia masih terus memainkan politik imagologi atau politik pencitraan yang membangun image kebenaran atas dirinya. Nurul Hasfi, rekan yang mengajar di Ilmu Komunikasi, Universitas Diponegoro, Semarang berpandangan dalam ber-demokrasi Anies Baswedan gagal mempraktikkan komunikasi politik yang mengundang simpatik. Dalam situasi berduka, Anies seharusnya membangun komunikasi politik yang didasarkan pada argumen-argumen rasional, didasarkan pada data-data scientific bukan sekedar retorika yang berorientasi pada kemenangan pendapat dan memperuncing konflik. Meminjam prinsip pandangan demokrasi deliberatif milik Habermas, komunikasi politik Anies seharusnya berfokus pada upaya bersama mencari solusi dan mengupayakan konsensus tentang cara penanggulangan banjir dengan bersedia mendengarkan dan mengakomodir pendapat lawan bicaranya.
Bersikukuh pada pendapat pribadinya tentang banjir Jakarta dengan didasarkan pada data yang mudah dibantah bukan cara membangun demokrasi yang baik. Di kesempatan seperti ini boleh jadi publik justru menanti langkah radikal dari seorang Anies Baswedan dalam menangani banjir. So, please stop blaming others and take responsibility, Mr Governor. The stage is set for you to swoop in and be the hero!
Penulis adalah News Presenter BeritaSatuTV dan Tenaga Ahli DPR RI, Jakarta
Mahasiswi Program Doktor Ilmu Kriminologi UI
Baru-baru ini meluncurkan buku Kumpulan Cerpen; Apple Strudel
Chat Nastiti untuk informasi lebih lanjut melalui Twitter/Instagram @nastitislestari
Menyukai ini:
Suka Memuat...