MENJELANG pemilu 2024, rakyat Indonesia akan menghadapi pesta demokrasi kesekian kalinya untuk memilih para calon pemimpin, mulai dari tingkat Presiden dan Wakil Presiden hingga DPR, DPD, DPRD dan kepala daerah secara langsung dan dilaksanakan di depan umum—yang menekankan hak kebebasan memilih, bersifat rahasia, jujur, dan adil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Sebagaimana diketahui, pemilu menjadi ajang untuk mengekspresikan aspirasi sebagai warga negara, mengawal proses demokrasi, serta memperkuat lembaga-lembaga demokrasi yang ada. Kendati demikian, menyadari pentingnya pemilu sebagai wujud dari kedaulatan rakyat, publik juga harus memahami bahwa pesta demokrasi ini tidak lepas dari tantangan dan permasalahan.
Dalam konteks pemilu, menarik jika menilik persoalan politik uang (money politic), sehingga menimbulkan pertanyaan tentang kematangan sistem demokrasi Indonesia. Karena bagaimanapun, persoalan klasik tersebut telah lama mengakar kuat dalam lanskap politik Indonesia—khususnya pascareformasi hingga sekarang—dan para kandidat (calon pemimpin) sangat bergantung pada sumber daya keuangan untuk melakukan kampanye sebagai bentuk dukungan politik.
Tak ayal jika, politik uang mengacu pada pengaruh uang dan sumber daya keuangan pada proses politik dan pengambilan keputusan. Hal ini merupakan fenomena di mana uang digunakan untuk mendapatkan keuntungan dalam pemilihan, memengaruhi keputusan kebijakan, atau mengamankan posisi politik. Dalam politik uang, kelompok yang berkepentingan, seperti individu, organisasi politik, korporat, dapat memberikan dukungan keuangan kepada kandidat atau partai politik dengan imbalan kebijakan yang menguntungkan guna menuju tampuk kekuasaan (Sunaji Zamroni, et al., 2016).
Dampak uang dalam politik sangat signifikan, karena dapat membentuk hasil pemilu, agenda kebijakan, dan proses demokrasi secara keseluruhan. Para kritikus berpendapat bahwa politik uang dapat menyebabkan konsentrasi kekuasaan di tangan beberapa pemodal atau kelompok kepentingan sehingga merusak prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan dalam sistem demokrasi. Pada gilirannya, hal ini dapat menghambat keberagaman dalam representasi politik dan menggerogoti cita-cita demokrasi dan melemahkan kepercayaan publik terhadap proses pemilu (Moch Edward Trias Pahlev & Azka Abdi Amrurobbi, 2020).
Di samping itu, ketika uang menjadi faktor dominan dalam pemilihan, risiko munculnya Tindakan korupsi dan praktik-praktik tidak etis lainnya pun meningkat. Para calon yang kemudian terpilih menjadi pemenang akan cenderung terikat oleh utang politik dan kepentingan kelompok tertentu, yang dapat mengganggu program kerja atau kebijakan-kebijakan—saat menjalankan roda kepemimpinan—mereka yang seharusnya didasarkan pada kepentingan publik.
Untuk mengatasi masalah terkait politik uang, khususnya di Indonesia, terdapat seperangkat peraturan hukum terkait dana kampanye untuk membatasi dampak uang pada pemilu—sesuai Peraturan KPU No 34 Tahun 2018 Tentang Dana Kampanye Pemilihan Umum dan UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pasal 280).
Beberapa Pertimbangan
Dalam konteks kematangan demokrasi, peraturan dana kampanye tersebut merupakan langkah penting untuk menjaga prinsip-prinsip demokrasi yang sehat. Dengan memprioritaskan transparansi, mencegah tindakan korupsi, dan memastikan kesetaraan dalam proses politik bagi semua calon kandidat, peraturan tersebut dapat berkontribusi pada pembangunan demokrasi yang lebih matang dan berintegritas di Indonesia.
Dengan demikian, untuk mengatasi masalah politik uang serta bagaimana memperkuat kematangan demokrasi secara bekelanjutan ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan: Pertama, regulasi yang ketat terkait pendanaan kampanye politik yang transparan serta batasan yang jelas terhadap sumbangan dari individu atau kelompok tertentu—sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan KPU No 17 Tahun 2014 Tentang Dana Kampanye Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 dan Peraturan KPU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Pedoman Audit Laporan Dana Kampanye Peserta Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Kedua, mewujudkan pendidikan politik untuk meningkatkan kesadaran warga negara tentang urgensi pemilu dan perannya dalam mengambil keputusan politik secara sehat. Mengingat tindakan curang melalui politik uang tidak hanya menjerat hukum bagi pemberi, bahkan penerima dapat diganjar dengan hukum pidana yang sama—sebagaimana ditegaskan dalam UU Nomor 7 Tahun 2017. Sehingga sejumlah pihak ormas yang berbadan hukum, penegak hukum, LSM, perguruan tinggi, lembaga nirlaba; salah satunya pondok pesantren, patut menggemakan pendidikan politik berkelanjutan. Di samping edukasi politik melalui corong iklan televisi, talkshow, karya ilmiah, lokakarya, bimtek, sosialisasi, film dokumenter—sebagaimana disinggung pula dalam Permendagri No. 36 Tahun 2010—penting digelorakan agar masyarakat senantiasa bijak dan sadar untuk mencegah politik uang, dan tetap mempertahankan konsistensi pilihannya dalam proses pemilu yang akan dihelat nanti.
Ketiga, merawat marwah Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU) yang kuat dan independen dalam menegakkan aturan hukum pemilu serta menindak secara tegas praktik korupsi dan segala bentuk gratifikasi lainnya saat penyelenggaraan pemilu.
Keempat, memperkuat peran media massa dan mendorong jurnalisme independen dan kredibel dalam menyajikan pemberitaan terkait kampanye politik dan praktik money politic. Di mana pers diikat dengan UU No 40 tahun 1999 tentang Pers, terutama yang teruang dalam Pasal 6—untuk menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan;
Biarkan Pemilu 2024 menandai titik balik dalam perjalanan demokrasi Indonesia, di mana pengaruh uang dalam politik berkurang, dan suara rakyat didengar serta dihargai. Karena itu, sebagai warga negara, kita menuntut perubahan yang subtansial terhadap para pemimpin yang akan terpilih nanti untuk memprioritas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sesuai sila ke-5.
Alumni Magister Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Menyukai ini:
Suka Memuat...