Gerakan Ekstremisme ISIS dan Geopolitik Timur Tengah
Laporan Serikat News
Jumat, 3 November 2017 - 01:04 WIB
Ilustrasi Foto
Oleh: Rohmatul Izad
Mewujudkan visi bangsa Indonesia dalam konteks kebhinekaan merupakan tugas dari kita bersama, minimal secara esensial berangkat dari diri ontologis terdalam kita. Bung Karno pernah berujar bahwa bangsa Indonesia jangan sampai terjebak dalam apa yang ia sebut sebagai “imperialisme pecah belah”. Salah satu hal terkini yang paling utama adalah tantangan Indonesia dalam menghadapi gerakan khilafah transnasional.
Gerakan transformasi menuju keadaan yang lebih baik memang menjadi dambaan setiap bangsa. Musim Semi Arab beberapa tahun lalu mungkin bisa menjadi bahan diskusi yang menarik. Setiap pergolakan rakyat tentunya memiliki variabel yang kompleks dan pelik, terlebih jika ditambah isu sektarian yang tidak jarang menenggelamkan substansi masalah. Karena isu sektarian, khususnya Sunni-Syiah, yang diledakkan oleh sebagian media, tidak sedikit orang Indonesia yang termakan fitnah. Kecurigaan sesama muslim pun tidak terbendung, hate speech meningkat diikuti dengan kasus kekerasan.
Padahal sikap tabayyun bagi setiap muslim seharusnya dikedepankan. Misalnya, apakah setiap bergolakan adalah tuntutan pada kebebasan, HAM atau menegasan demokrasi, atau kebangkitan Islam, atau pergolakan demi “sepiring nasi”? tulisan bebas ini akan sedikit-tentu saja sebagai informasi alternatif-memandang pergolakan di negara-negara Arab dalam beberapa tahun terakhir ini dan bagaimana posisi ISIS dalam percaturan geopolitik di Timur Tengah, termasuk posisi Syiah yang dianggap sebagai akar masalah.
Perlu disadari bahwa sejak akhir 2010 lalu hingga sekarang, belahan bumi di Afrika Utara dan Timur Tengah diguncang berbagai aksi protes dan demonstrasi. Percikan pertama dari rangkaian aksi ini terjadi pada 17 Desember 2010, manakala seorang pemuda Tunisia bernama Muhammad Buazizi (26) yang merasa terhina oleh kekejian aparat negara, membakar dirinya di depan kantor pemerintahan daerah Sidi Bouzid. Keesokan harinya, kota menyaksikan domenstrasi besar-besaran. Aparat kemudian memilih cara-cara mudah, yakni memberangus gelombang protes itu. Tapi akibatnya tak pernah bisa, justru kerusuhan semakin masif.
Pergolakan Tunisia ini lantas mewabah ke daerah sekitarnya, yakni Mesir dan Libya, dan ke seluruh penjuru Timur Tengah. Gelombang pergolakan inilah yang disebut dengan “Musim Semi Arab”. Pergolakan yang membentang dalam wilayah geografis sangat luas ini tentu saja memiliki latarbelakang, pemicu, pola, karakter, dampak, dan kerangka yang berbeda-beda. Sejumlah analisis memilah antara pergolakan yang autentik, lahir dari aspirasi rakyat domestik dan pergolakan yang disponsori dan dipicu oleh kepentingan asing.
Harus disadari bahwa para analis berselisih dalam memberi tema atau kerangka terhadap serangkaian gerakan ini. Sebagian menyebutkan sebagai gerakan untuk menuntut perbaikan tingkat kesejahteraan ekonomi, seperti yang dapat terlihat dalam konteks Tunisia. Di Tunisia, Buazizi melakukan aksi protesnya karena merasa terhina tak memiliki pekerjaan yang layak untuk menghidupi keluarganya, padahal dia adalah seorang sarjana. Sebagian analis melihat faktor ekonomi semata-mata tak mungkin menghasilkan ledakan amarah sebesar yang ada. Bagi mereka, kekejaman rezim dalam memberangus demonstrasi di satu sisi dan kebuntuan saluran komunikasi politik di sisi lain meningkatkan daya ledak gerakan ini hingga mencapai tuntutan menjatuhkan rezim.
Namun, ada sejumlah pengamat yang mencoba mengaitkan seluruh aksi protes ini dengan kebangkitan Islam secara umum. Bagi mereka, setidaknya ada tiga alasan kuat untuk menyebut kebangkitan Islam berada di balik gerakan Arab Spring: pertama, motor utamanya berasal dari kelompok Islam yang selama ini ditindas; kedua, penggunaan simbol-simbol Islam dalam gerakan, baik pada tahap perjuangan hingga pasca kemenangan; dan ketiga, kecenderungan historis kebangkitan Islam yang dimulai pada awal abad lalu.
Dalam konteks kelompok Islam ekstrimis yang mendewakan kekerasan itulah, ISIS mendapat tempat dalam percaturan gejolak politik di Timur Tengah. Islamic State of Iraq and Syam (ISIS, kelompok bersenjata) yang terus berusaha menggerogoti stabilitas Irak itu menyimpan obsesi untuk mengakuisisi seluruh wilayah Irak. Penetrasi kelompok ini sangat cepat, mulanya Tikrit dan Mosul, kemudian beberapa daerah lain sudah diambil alih. Meski sedikit terlambat, pemerintah Irak yang tengah disibukkan oleh seribu satu masalah itu mulai melakukan langkah taktis guna menghadang ekspansi ISIS sedapatnya.
Ketika pasukan Amerika Serikat ditarik pada 2011, suprastuktur dan infrastruktur militer Irak masih lemah, belum banyak pembenahan di bidang tersebut. Faksi-faksi tradisional bersenjata, seperti Moqtada Shadr, juga belum bersinergi secara optimal, baik secara politis maupun militer. Kondisi ini jelas mengungtungkan ISIS yang agresif dan akan menempuh cara apa pun untuk mewujudkan mimpi menaklukkan Irak.
Melihat arkeologi gerakannya, sulit mengkategorikan ISIS sebagai entitas tunggal yang berdiri sendiri. Kegagalan kelompok ini dalam menjatuhkan pemerintahan Bashar Al-Assad di Suriah, dengan membonceng pada bendera “revolusi” dalam tiga tahun terakhir, membuat ruang geraknya semakin sempit. Lantas, ditambah semakin tajamnya fraksi di dalam, ISIS mengalami disorientasi gerakan. Dalam kondisi demikian, mau tak mau, Irak menjadi alternatif yang dipercepat. Jika dalam cetak biru awal gerakan ISIS Irak merupakan sasaran selanjutnya setelah sukses di Suriah, kini justru Irak yang menjadi alternatif pertama setelah gagalnya Damaskus. Gerakan ISIS di Irak saat ini harus dibaca secara integral dengan visi dan misi gerakanya di Suriah sebelumnya.
Secara genealogis, ISIS lahir dari rahim Al-Qaidah cabang Irak (AQI) dengan pelakon utama Abu Musab al-Zarqawi. Zarqawi dan Usamah bin Ladin, dengan Amerika Serikat sebagai musuh bersama, awalnya memiliki visi yang sama. Tapi, dalam perkembangannya, keduanya menjadi rival, Zarqawi bahkan menerapkan prinsip terror ke dalam tubuh muslimin sendiri, ototerorisme, sebagai ekspresi ketidaktoleranan terhadap perbedaan.
Zarqawi mengincar varian Islam yang berbeda dengan Islam-nya sebagai sasaran. Targetnya bukan hanya Islam Syiah Irak, tetapi juga muslimin Sunni dan Kurdi, jika mereka memang menghalangi jalan gerakannya. Jadi, visi teologis gerakan ini dinilai tunamazhab, karena perjuangan ISIS tidak merepresentasikan kepentingan politik mazhab apa pun di Irak. Kegaduhan yang ditimbulkannya murni bermotif terror dan berlatar ekstemisme.
Tahun 2006, Zarqawi tewas, dan AQI bermetamorfosis menjadi ISIS dengan Abu Bakar al-Baghdadi sebagai figur utama yang menahkodai gerakan sporadic di Irak saat ini. Dengan ISIS-nya, al-Baghdadi berusaha semakin mematenkan desain ototerorisme, dengan menjadikan Irak sebagai titik berangkat ISIS, sebagaimana Afganistan menjadi garis start al-Qaidah ala Bin Ladin. Dalam imajinasi gerakan al-Baghdadi, dari Irak inilah kekhalifahan Islam akan dijalarkan ke seluruh tanah Timur Tengah.
Sebesar apa kemungkinan imajinasi al-Baghdadi ini terwujud?
Yang jelas, Irak yang berada tepat di jantung geopolitik Timur Tengah bukanlah Afganistan, dan inilah rintangan pertama yang dihadapinya. Wacana yang membicarakan terorisme juga sudah mengalami pergeseran makna secara politis. Kompleksitas dampak oto-terorisme di Irak secara regional dan global akan mengundang keterlibatan banyak negara untuk mendelegitimasi proyek ini, terutama dari internal negara muslim, baik Syiah maupun Sunni. Destabilisasi Irak yang telah dilakukan oleh ISIS akan ditentang keras oleh kalangan luas lintas mazhab.
Fenomena al-Qaidah di Afganistan sudah cukup menjadi pelajaran mahal pada masa lalu, dan kini pemerintah AS sudah menetapkan garis tegas atas persoalan ini. Sinergi gedung putih-Baghdad untuk menumpas ISIS akan membuktikan komitmen ini, juga dari Iran-Lebanon (dua mitra Irak) dan negara-negara Eropa, yang juga turut mengulurkan bantuan. ISIS tidak hanya akan kesulitan memperluas kawasan akuisisinya, tapi juga semakin tersudut ruang geraknya.
*Penulis Adalah Magister Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada & Ketua Pusat Studi Keislaman dan Ilmu-Ilmu Sosial di Pesantren Baitu Hikmah Krapyak Yogyakarta
Oleh: Mauzun Visioner (Pegiat Literasi) PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur sedang mencuri perhatian publik. Pasalnya, Pilgub kali ini menampilkan tiga figur
FIGUR kyai masih menarik untuk dilibatkan atau terlibat pada kontestasi pilkada 2024. Pernyataan tersebut setidaknya sesuai dengan kondisi proses pilkada
PERNYATAAN Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie tentang “pendidikan tinggi adalah tertiary education, bukan
Penulis: Gloria Rigel Bunga (Mahasiswa Universitas Kristen Indonesia) KITA pasti suka bertanya-tanya, untuk apa ya sebuah perusahaan atau organisasi sering