PERJUMPAAN merupakan bukti bahwa koneksi dan interaksi adalah sebuah media penyelaras. Karena dari perjumpaan itu kita akan saling mengenal, lalu bertukar kisah, berbaur ego dan emosional, dan pada akhirnya berbagi pengalaman untuk saling menghargai satu sama lain.
Kira-kira demikian interpretasi dari kata “Lita’arafu” dalam QS. al-Hujurat (13). Bahwa perbedaan adalah ruang dialogis yang mengantarkan pada kesadaran dinamisnya sebuah proses, naik turunnya spirit sosial, spirit religiusitas dan spiritualitas. Saling mengenal dan menghargai adalah jawaban atas majemuknya penciptaan Tuhan.
Hal inilah yang kemudian digaungkan dalam Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan (SKK) Ahmad Syafii Ma’arif, yang sudah berlangsung kali ke-4 (13 – 17 Nopember 2022 di UMS, Solo).
Maarif Institute menjadi muara cakrawala pemikiran Buya Syafii dan interpretasinya. Di samping itu, merawat, melestarikan dan mengimplementasikan sebuah pemikiran adalah aspirasi berdamai dengan kehidupan serta pembentukan jati diri. Maarif Institute menawarkan pola tersebut.
Tujuan utamanya adalah merawat, mensosialisasikan dan mengaktualisasikan secara kontekstual pemikiran Buya Syafii Maarif. Sehingga, alumni dari SKK ASM dapat mewarisi pemikiran Buya Syafii dalam merespons kondisi sosial, kasus intoleransi, politik identitas dan berbagai kasus diskriminasi terhadap yang lemah.
Saya sebagai salah satu peserta SKK ASM ke-4 bersyukur, karena Tuhan telah memberikan sebuah lentera kesadaran kepada saya melalui pembacaan mendalam pemikiran Buya Syafii. Sejak Muktamar pemikiran Buya Syafii Maarif pada Sabtu (12/11/2022) kemudian dilanjutkan kegiatan SKK ASM ke-4 sangat memberikan kesan bahwa setiap pemikiran yang jujur dan berpihak, akan menemui penerus dan pelestarinya.
Perjumpaan-perjumpaan dengan teman-teman dari berbagai lintas pulau, bahkan lintas iman di SKK ini bukan tanpa alasan. Saya meyakini apa yang dikatakan dalam sebuah keterangan bahwa seorang arif dan alim yang meninggal ternyata masih memiliki peran turut serta menggerakkan stabilitas kehidupan. Karena yang meninggal hanya jasadnya, akan tetapi tidak ruh dan pemikirannya.
Khusnudzan saya, berawal dari perkenalan dengan Moh. Shofan, seorang intelektual muslim yang nyentrik. Komunikasi yang tidak terlalu intens ternyata bukan alasan berlangsungnya spirit dan energi pertalian di antara kami. Sama sekali tidak terbesit dalam pikiran saya bahwa kelak akan berjumpa dengan “energi” Buya Syafii dalam satu dimensi intelektual dan spiritualnya. Energi itu ternyata melekat erat pada anak idiologisnya, salah satunya Shofan ini.
Sejak pertengahan Oktober 2021, komunikasi saya dengan Shofan tidak terbilang sering. Kami hanya say hello saja. Namun, ada perbincangan cukup serius ketika saya mulai menyodorkan tulisan tentang perjalanan karier intelektual Shofan dari kaca mata saya. Secara pribadi, saya hanya membaca beragam tulisan-tulisannya di sejumlah media massa, dan juga karya-karyanya dalam bentuk buku. Tidak lebih.
Sampai akhirnya, dari komunikasi yang berlangsung, saya diberi kesempatan untuk berjumpa dengannya dalam kegiatan SKK ASM ke-4 di Solo. Lingkaran energi Buya Syafii seperti bunga yang mekar dan semerbak di kegiatan SKK tersebut. Tidak hanya itu, di kegiatan SKK ASM ini juga terjadi perjumpaan dengan teman-teman dari berbagai daerah dengan berbagai latar belakang intelektual dan tentunya keagamaannya. Ada 30 peserta SKK dan itu semua tentu memiliki karakter dan lintas iman yang berbeda pula.
Kami berbaur menjadi satu dalam naungan pemikiran Buya yang terus tumbuh nan subur. Bagaimana teman-teman dari Sumatera, Manado, Kalimantar, Makasar, NTT, Papua, dan Pulau Jawa mengeksplorasi serta merefleksikan secara subyektif pemikiran Buya, tentang isu-isu keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan. Di samping itu, lintas iman yang melatarbelakangi perjumpaan kami cukup memberikan dasar bahwa perbedaan itu adalah keniscayaan dan anugerah dari Tuhan yang perlu disyukuri dan diilhami.
Konsep dialogis yang dibangun dalam rangkaian SKK ASM tersebut adalah pola reflektif-empirik. Dinamika yang dibangun tidak hanya bersumber dari pemateri lintas aspek, tetapi juga aktivitas yang disodorkan dalam kegiatan tersebut adalah gambaran bahwa perbedaan itu ada. Tinggal bagaimana ramuan yang diracik dari pemikiran Buya Syafii dengan kontekstualisasi pemikiran dari setiap peserta menjadi sebuah ilmu pengetahuan praksis dan berpihak.
Hal inilah yang diharapkan oleh Maarif Institute sebagai out put dari rangkaian kegiatan SKK ASM. Di sela-sela kegiatan yang rutin nan padat itu, Shofan mencoba menguraikan pemikiran Buya, tentang isu-isu agama dan sosial kemanusiaan dengan tajam dan sarat akan keberpihakan.
Pemikiran Buya begitu gamblang dijelaskan dalam pertemuan-pertemuan intim kami. Jujur saja, ketika teman-teman yang lain menyususri malam dan legitnya kopi di simpang jalan, sambil menghisap sebatang rokok yang gagah asapnya, saya melakukan dialog reflektif dengan Shofan, tentang kondisi yang kami lalui. Tidak hanya di SKK, tetapi hampir masuk ke dalam ruang-ruang kedap suara kehidupan kami.
Ada sebuah pesan luar biasa yang saya terima langsung dari anak idiologis Buya Syafii ini. Ternyata di samping kegemarannya melantunkan nada indah lagu-lagu Rhoma Irama, Shofan juga memiliki kedalaman dan keluasan cakrawala berpikir yang muara utamanya ada pada ruang spiritualitasnya.
Ia mengatakan bahwa proses dinamika kehidupan yang ia lalui adalah hasil dari permenungan-permenungan panjang atas pesan Buya kepadanya. “Shofan, jadilah intelektual petarung. Jangan pernah menyerah. Angin yang berhembus kencang tidak untuk mematahkan dahan, tetapi justru untuk menguji akar pohon. Itulah pesan Buya kepada saya.” Ucapnya malam itu.
Ternyata pesan ini tidak hanya sebagai motivasi atau kalimat indah Buya semata. Tetapi Buya secara langsung juga melakukan hal itu. Saya dapat cerita ini langsung dari salah satu peserta SKK yang menjadi “anak panah” istilah anak-anak yang mengabdi dan menjadi penerus perjuangan Buya di daerah. Mereka mengatakan bahwa Buya juga menjamin segala kebutuhan anak panah yang ada di daerah, khususnya di tanah kelahiran Buya, Sumpur Kudus. Bahkan gaji Buya tidak dinikmati oleh Buya dan keluarga, tetapi diberikan kepada dua panti asuhan dan panti jompo, selebihnya untuk mencukupi kebutuhan teman-teman anak panah.
Korelasi dua cerita yang saya dapatkan di atas benar-benar memberikan gambaran kepada saya bahwa keberpihakan itu tidak pandang bulu. Membela yang lemah dan membutuhkan uluran tangan kita sebagai manusia adalah kepentingan di atas segalanya. Seperti kata Gus Dur, “Kemanusiaan itu berada di atas kepentingan apa pun.”
Perjumpaan dan gabungan energi yang terpatri di dalam kegiatan SKK ASM ke-4 ini benar-benar memberikan pandangan baru bagi saya yang sejatinya sama sekali belum pernah bersinggungan dengan Buya Syafii Ma’arif. Namun karena Artikel Resonansi ASM sejak tahun 2011 sampai 2020 yang dikirimkan Pak Shofan melalui surat elektronik, saya benar-benar merasa ada keterkaitan dan terpanggil oleh semerbaknya bunga di taman intelektual dan bunga-bunga spiritual yang ditanam oleh Buya.
Dari sini, saya belajar tentang bagaimana menjaga komunikasi, mengatur komitmen dan justifikasi. Meneladani bukan berati mengkultuskan, melainkan menjadi bagian dari cita-cita kemanusiaan dan kebudayaan yang dibangun oleh Buya melalui berbagai dinamika yang dilalui olehnya.
Apa yang disampaikan Shofan tentang bagaimana cara memperbincangkan sebuah isu sosial menjadi pengetahuan yang berpihak, teman-teman SKK ASM ke-4 yang menjadi semangat baru bagi saya untuk tetap berjalan dan berproses dalam mempelajari diri sendiri dan menjadi manusia yang manusia.
Maarif Institute, terima kasih telah memfasilitasi kami para peserta SKK sehingga bisa bertemu dengan Buya Syafii melalui pemikiran-pemikiran dan diskursusnya dari berbagai narasumber hebat dan otoritatif.
Hal yang saya garis bawahi dari perjumpaan ini adalah manusia itu berbeda, dan berbeda adalah anugerah yang harus disyukuri bukan untuk dijadikan kegagahan sosial atau superioritas dari identitas sosial yang menjadi mayoritas. Pengetahuan yang kita miliki dan dapatkan tidak lantas menjadi kegamangan intelektual, atau justru kegenitan dan gagah-gagahan semata, tetapi menjadi pijakan untuk kita berpihak kepada siapa? Bagaimana memandang dan mengolah cara pandang kita? Serta untuk apa pengetahuan itu dipupuk dan dilestarikan?
Inilah pertanyaan yang sampai detik ini berkelindan di dalam sanubari. Karena dari segala proses perjumpaan, khususnya SKK ASM ke-4 ini agaknya membuat kami sadar, bahwa kami memiliki tanggung jawab moral dalam menyuburkan dan membumikan pemikiran Buya Syafii ke depannya.
Sedang Nyantri di Bayt Al-Karim Gondanglegi dan Bayt Al-Hikmah Kepanjen Malang