Ditulis dalam Bahasa Inggris oleh: Mohammad Fajrul Falaakh*
Diterjemahkan oleh: Makdum Ali Robbani**
Pengantar
Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi Islam terbesar di Indonesia. NU didirikan sebagai organisasi sukarela keagamaan di Surabaya, Jawa Timur, pada bulan Januari tahun 1926. Organisasi ini mengambil bagian dalam modernisasi masyarakat muslim Indonesia melalui keterlibatan dalam pengembangan pendidikan, kesejahteraan sosial, dan kegiatan ekonomi. Organisasi ini juga mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
Setelah menjadi anggota istimewa partai politik Islam Masyumi pada tahun 1945, NU menjadi partai politik yang independen selama periode 1952-73 dan selanjutnya menjadi salah satu komponen penting dan organisasi pendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 1973-83. Sebagai kekuatan politik, NU digambarkan sebagai partai yang oportunis dan akomodatif.1 NU dianggap tidak memiliki visi tentang integrasi nasional, modernisasi ekonomi, dan masalah kebijakan luar negeri.2 Tidak mengherankan, karena NU tidak lagi menjadi partai politik, NU juga dianggap bercita-cita untuk memiliki kewarganegaraan yang terbatas seperti yang berlaku di negara patrimonial gaya lama.3
Meskipun terjadi perubahan sosial dan politik yang penting di negara ini, rezim orde baru di Indonesia (1966-98) tetap dipandang sebagai rezim otoriter. Menariknya, NU pada akhirnya dianggap bercita-cita untuk mengembangkan masyarakat sipil yang demokratis di Indonesia yang berdasarkan non-Islam dan non-militer.4 Karena keberhasilannya dalam melawan tindakan yang didukung pemerintah untuk menggulingkan ketua umumnya, NU juga digambarkan sebagai “benteng terakhir masyarakat sipil” di Indonesia.5
Beberapa ulasan mengenai organisasi berbasis ulama ini sangat menarik. Bagaimana sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama tradisional, mengubah dirinya dari organisasi sosial-keagamaan menjadi partai politik dan kemudian kembali ke asal usulnya dengan menggabungkan ide-ide baru seperti demokratisasi dan pengembangan civil society? Menarik juga untuk melihat posisi NU selama demonstrasi mahasiswa pada bulan Maret dan Mei 1998 yang dampaknya terjadi pengunduran diri presiden Soeharto.
Bab ini merupakan upaya untuk menjelaskan wacana keagamaan yang muncul dalam tubuh NU yang mencerminkan komitmennya terhadap pengembangan demokrasi dan tumbuh suburnya civil society. Tulisan ini menyinggung NU sebagai elemen civil society Indonesia yang tidak revolusioner dalam proses reformasi politik di Indonesia saat ini. Terakhir, dibahas pula secara singkat tentang keterlibatan NU dalam pemilu 1999 melalui edukasi kepada pemilih dan pemantauan pemilu.
Beberapa gagasan utama dijelaskan terlebih dahulu. Pertama, NU telah menguraikan landasan konseptual hubungan antara ideologi negara, pancasila, dan Islam. Isu ini telah diperdebatkan sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945 dan terkadang mendorong banyak gerakan muslim di Nusantara untuk mencita-citakan berdirinya negara Islam. Konseptualisasi NU tersebut merupakan bukti bahwa Islam tradisional telah mampu menanggapi ideologi modern. Hal ini juga membuktikan bahwa NU dapat berpartisipasi, sekali lagi, dalam mencapai konsensus politik yang signifikan secara nasional.
Kedua, NU mengacu pada salah satu ide substansial Syariah sebagai dasar pemikiran sosial untuk mendorong kebaikan bersama—yang dikenal melalui ide rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi alam semesta). Penjabaran ide ini dipahami sebagai syarat minimum untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia. Hal ini adalah contoh nyata dari pengembangan ajaran Islam tradisional dan juga menggambarkan interaksi NU dengan ide-ide universal.
Ketiga, sebagai konsekuensi dari yang kedua, NU lebih peduli dengan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia yang sudah rentan selama krisis ekonomi saat ini. Hal ini juga mencerminkan refleksi NU tentang kesulitan yang dihadapi Indonesia dalam transisi ganda antara melanjutkan pemulihan ekonomi dan melanjutkan reformasi politik.
Terakhir, NU dan masyarakat Indonesia kini menghadapi situasi yang pelik berupa transisi ganda ekonomi dan politik sebagaimana di atas. Sebagai organisasi keagamaan dan elemen masyarakat sipil, NU harus terlibat dalam situasi yang sulit tetapi tidak dapat dihindari. NU telah membentuk partai politik (Partai Kebangkitan Bangsa [PKB], atau Partai Kebangkitan Nasional)-yang merupakan entitas independen -dan terlibat dalam peningkatan kredibilitas pemilihan umum Juni 1999.
Ulama, Agama, dan Ideologi
Mengenai hubungan antara agama dan ideologi, yakni Islam dan ideologi negara, Pancasila, NU memandang bahwa ideologi dan agama tidak dapat dipertukarkan. Ideologi memperoleh logikanya dari pemikiran dan sejarah manusia, sedangkan agama diyakini memperoleh ajarannya dari wahyu. Dalam perdebatan sengit selama konferensi nasional ulama (Munas ‘Alim-ulama) tahun 1983, NU memutuskan Pancasila sebagai asas tunggalnya. Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, yang prinsip pertamanya adalah tauhid (monoteisme yang ketat) menurut keyakinan Islam.6
NU dengan demikian menjadi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) keagamaan pertama yang menyatakan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi di Indonesia. Implikasi dari pendapat NU adalah bahwa Pancasila tidak dapat dikembangkan dan dilaksanakan tanpa menyerap aspirasi masyarakat, termasuk masyarakat muslim yang sebagian diwakili oleh NU. De-étatisme wacana ideologis yang dituntut NU tentu saja mensyaratkan penerimaan Pancasila secara nasional sebagai ideologi terbuka, di mana warga negara dapat menyumbangkan ide dan preferensi mereka untuk memperkaya pemahaman dan implementasi Pancasila.
Untuk mendapatkan kontribusi tersebut, NU membutuhkan upaya substansial untuk menyebarluaskan rasa kewarganegaraan yang bertanggung jawab di dalam lingkarannya. Undang-Undang Dasar NU tahun 1984 dengan jelas menyatakan bahwa partisipasi NU dalam “perjuangan nasional”, yaitu untuk membangun masyarakat nasional yang adil dan makmur (tidak hanya Islam), merupakan langkah yang perlu. Oleh karena itu, kesadaran warga NU untuk menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab -yang akan menegakkan hak dan kewajiban terhadap negara dan sesama warga negara -harus terus dikembangkan dan diperkuat. Diharapkan, rasa kewarganegaraan ini akan turut serta mengubah negara patrimonial Indonesia menjadi negara modern yang tidak absolut.
Menuju Masyarakat yang Makmur
Untuk menghadapi tantangan masa depan dan bertahan dalam situasi baru, NU memerlukan penafsiran ulang atas wacana keagamaannya. Di sinilah kita menemukan tantangan penting yang mungkin memiliki implikasi mendalam bagi masa depan. Sebab dalam mencapai tujuannya, yaitu “implementasi ajaran Islam dalam masyarakat Indonesia” yang selaras dengan kondisi sosial dan budaya yang berlaku (yang disebut pribumisasi, atau nativisasi, Islam), NU mempromosikan pencapaian kebaikan bersama bagi seluruh masyarakat. Ia tidak boleh menjadi organisasi sektarian meskipun NU jelas merupakan organisasi Muslim.
Menurut syariat yang dianut NU, ada lima asas pokok kemaslahatan umum (kepentingan umum) yang dirumuskan sebagai kebutuhan dasar manusia.7 Kebutuhan-kebutuhan ini disahkan dan dilindungi oleh agama. Kelima asas tersebut dirumuskan sebagai berikut:
- Menjaga kesadaran dan ketaatan beragama (hifzh al-din);
- Menjaga kehidupan (hifzh al-nafs);
- Melindungi pikiran dan kebebasan berpendapat (hifzh al ‘aql);
- Melindungi harta benda (Hifz al-amwal) dan
- Hak untuk menikah serta melindungi hak untuk mempunyai keturunan (keduanya termasuk bagian dari hifzh al-nasl).
Konsep kemaslahatan umum ini — sebuah ide yang paralel dan mungkin serupa dengan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia — harus dihormati, dilindungi, dan dipatuhi oleh umat Islam.
Yang menarik, dan ini tampaknya merupakan pandangan neo-modern, prinsip-prinsip ini diambil dari konsep berusia 1.000 tahun yang terkandung dalam literatur yurisprudensi Islam dan dikenal sebagai kulliyyat al-khams (secara sederhana berarti “lima kebutuhan dasar”). Prinsip-prinsip ini diajarkan dalam tradisi intelektual NU yang disebarkan melalui pondok pesantren. Konsep ini diserukan dalam musyawarah komite agama selama Muktamar NU tahun 1994, dan dipahami sebagai mashlahah ‘ammah (secara harfiah berarti kebaikan bersama atau kepentingan publik). Pada konferensi nasional ulama NU (Musyawarah Nasional ‘Alim-Ulama) tahun 1997, konsep tersebut dibahas dan dielaborasikan sebagai perwujudan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam Islam (huquq al-insaniyah fi al-Islam).
Dari sudut pandang ekonomi, konstituen NU terdiri dari para pengusaha kecil dan sebagian besar berbasis di pedesaan — yang oleh C. Geertz disebut ekonomi pasar. NU berkomitmen untuk membantu para konstituen ini di bawah konsep luas harakah ta’awun (gerakan koperasi atau usaha bersama dalam ekonomi). Baik konstitusi NU tahun 1994 maupun 1999 mengamanatkan ekonomi distributif melalui pembentukan koperasi. Mengintegrasikan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) ke dalam usaha ekonomi yang lebih luas dianggap penting bagi kelanjutan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan pemerataan kesempatan ekonomi di masa depan.
Mengingat sifat ekonomi Indonesia yang ditandai dengan “bisnis kroni” (kapitalisme semu), bisnis yang mirip kartel, dan monopoli yang didukung negara, tentu sulit untuk mengembangkan usaha kecil yang mandiri di Indonesia. Membantu menyelesaikan masalah ini akan mengatasi salah satu hambatan untuk mengintegrasikan UKM ke dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Diharapkan bahwa prinsip ini akan meningkatkan peluang untuk meningkatkan pendapatan pribadi sebagian besar penduduk, sehingga memberi mereka kesempatan yang adil untuk terlibat dalam ekonomi yang berorientasi pasar.
Prinsip tersebut sejalan dengan visi NU tentang “tiga saudara”, yaitu ukhuwwah Islamiyah, ukhuwwah wathaniyyah, dan ukhuwwah basyariyah, atau persaudaraan di antara umat Islam, persaudaraan di antara sesama warga negara, dan persaudaraan di antara manusia, dan usaha bersama (harakah ta’awun).8
Selama gerakan mahasiswa Maret-Mei tahun 1998, Dewan Pimpinan Pusat NU mengajak seluruh rakyat Indonesia, termasuk warga NU, untuk menahan diri dari mencari kambing hitam atau menyalahkan kelompok strategis nasional mana pun atas masalah-masalah terkini di Indonesia. NU mendesak para anggota dan pengurusnya untuk bersatu dan melihat melalui rumor dan retorika yang memecah belah yang membahayakan “tiga saudara” yang disebutkan di atas.
NU menganjurkan dengan tegas, toleransi terhadap semua minoritas etnis dan agama di Indonesia. Kekerasan etnis dan agama hanya akan memperburuk masalah akut yang dihadapi Indonesia, sehingga membahayakan integrasi nasional dan persatuan masyarakat Indonesia yang heterogen.
NU dan Civil Society
NU adalah organisasi sipil yang berlandaskan ajaran Islam dan merupakan bagian dari masyarakat madani Indonesia. Elemen lain dari masyarakat madani negara ini adalah berbagai bentuk pemerintahan daerah seperti banjar di Bali, kerapatan nagari di Minangkabau, trah (dinasti) di Jawa, yayasan, LSM (lembaga swadaya masyarakat atau LSM), gereja, atau majelis ta’lim (lingkaran agama Islam). Elemen-elemen masyarakat madani tersebut bertindak sebagai penghubung antara negara dan masyarakat, atau dalam “ranah kehidupan sosial terorganisasi yang bersifat sukarela, mandiri, sebagian besar mandiri, otonom dari negara, dan terikat oleh tatanan hukum atau seperangkat aturan baku”.9
Namun, di negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia, rezim Orde Baru diketahui telah mengendalikan hampir semua aspek kehidupan. Lembaga politik tertinggi negara ini-Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)-tampaknya bersikap patuh, sementara DPR memiliki kebiasaan menyetujui usulan kebijakan eksekutif. Pemerintah juga secara rutin menyeleksi kandidat dan kebijakan oposisi, dan partisipasi politik publik dibatasi atau, paling banter, dimobilisasi melalui strategi korporatis pemerintah.
Kebijakan terakhir ini didukung oleh konsep “massa mengambang”, sehingga menghilangkan jangkauan partai politik dari tingkat akar rumput. Situasi yang tidak seimbang muncul, karena Partai Golkar (Golongan Karya) yang berkuasa memiliki keuntungan karena didukung oleh pegawai negeri dan militer, hingga ke tingkat desa. Selain itu, praktik demokrasi adat yang berlaku di tingkat desa — yang oleh para sarjana hukum adat Belanda disebut dorpsgemeenschap (secara harfiah berarti “republik desa”) — dikekang melalui pengenalan lembaga yang dikendalikan pemerintah yang disebut Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD).
Dengan demikian, dinamika Orde Baru sangat diwarnai oleh dua unsur, yaitu otoritarianisme birokrasi dan korporatisme negara. Implikasinya, terdapat pemusatan kekuasaan di tangan Presiden, yang disalurkan melalui Undang-Undang Dasar 1945 yang didominasi eksekutif. Terdapat pula pembatasan terhadap partisipasi publik dalam pengambilan keputusan politik. Semua ini sebagian menjelaskan bertahannya Golkar dan Soeharto yang berkuasa lama, yang berkuasa selama tiga puluh dua tahun. Kondisi politik ini juga menciptakan kekosongan, karena masyarakat Indonesia terbatas dalam mengumpulkan informasi tentang praktik demokrasi dan terlibat secara konstruktif dalam dialog politik dan aksi sipil. NU tentu menghadapi situasi sulit, salah satunya disebabkan oleh fakta bahwa para pengikutnya sebagian besar berbasis di pedesaan. Apa peran NU sejak resmi kembali menjadi organisasi sosial dan keagamaan pada tahun 1983?
Mengacu pada berbagai model masyarakat madani, tampaknya NU dapat ditempatkan di bawah model Cekoslowakia khususnya, dan Eropa Timur Tengah pada umumnya, yang mempromosikan paralelisme budaya.10 Dengan memanfaatkan keterbukaan yang terbatas dari rezim otoriter Orde Baru Indonesia, NU mengembangkan dan menyebarluaskan wacana publik alternatif. Apa yang disebut strategi sosial-budaya ini membutuhkan upaya jangka panjang dengan menggunakan potensi sosial dan budaya yang tersedia di dalam NU, seperti ajaran dan tradisi agama yang ditafsirkan kembali dan direvitalisasi, dan pemanfaatan sekolah asrama tradisional (pondok pesantren).
Agar dapat terlibat dalam transisi dan konsolidasi demokrasi jangka panjang melalui masyarakat madani, NU tentu perlu mengembangkan pandangan dunianya. Keterlibatan dalam upaya memperkuat integrasi nasional, menjaga pluralisme dan toleransi di Indonesia, serta berjuang untuk mewujudkan masyarakat sejahtera dalam konteks global, NU harus mengakui bahwa memiliki “masyarakat terbuka” adalah keniscayaan. Artinya, pertama-tama, NU harus mengembangkan wacana keagamaannya dengan menyerap ide-ide baru yang berasal dari mana-mana, di samping melakukan penafsiran ulang dan revitalisasi Islam.
Fenomena ini bukanlah hal baru di kalangan umat Islam dan NU. Penyerapan budaya semacam itu terjadi pada periode awal sejarah umat Islam, khususnya pada masa “keemasan” Islam. NU sendiri memiliki pengalaman yang kaya dalam menyerap ide-ide dan lembaga-lembaga asing, seperti ideologi nasionalisme, pendidikan modern, keluarga berencana dan hak-hak reproduksi, partai politik, dan bahkan pesantren (yang mungkin berasal dari Hindu).
Memang, alih-alih mengakomodasi ide-ide baru secara keseluruhan, NU menerapkan strategi yang berasal dari “kaidah hukum” (qawa ’id al-fiqhiyah) yang kaya, yaitu al-muhafazhah ‘ala ‘l-qadimi ‘l-sshalih wa ‘l-akhzhu bi ‘l-jadidi ‘l-ashlah (artinya “melestarikan tradisi-tradisi lama yang baik dan memilih ide-ide baru yang lebih baik”). Hal ini juga tampak, misalnya, ketika NU mengeluarkan pendapat-pendapat keagamaannya tentang kebaikan bersama dan hak asasi manusia yang disebutkan di atas.
Kedua, sebagaimana dipaparkan oleh mendiang Rais ‘Am (Presiden Dewan Perwakilan Rakyat NU) pada tahun 1987, NU mempromosikan “tiga bersaudara” tersebut di atas. Sebagai konsekuensinya, NU tidak hanya penting untuk bekerja sama dengan berbagai organisasi Muslim atau sesama nasionalis, tetapi juga harus terlibat dalam upaya bersama dan bekerja sama dengan masyarakat global. Oleh karena itu, NU harus berkomitmen pada pluralisme sosial dan toleransi di berbagai tingkatan.
Ketiga, NU sedang mentransformasikan wacana keagamaan klasiknya dengan menguraikan dan menekankan unsur-unsur demokratisnya. Unsur-unsur ini ditemukan dalam konsep akhlaq al-karimah (tata krama masyarakat) dalam politik atau kebajikan sipil. Nilai-nilai ini diimplementasikan bersamaan dengan promosi kompetensi sipil di tingkat pemerintahan lokal di seluruh negeri. Nilai-nilai tersebut meliputi penghormatan terhadap hak-hak sipil dan politik, perlindungan kelompok-kelompok rentan dalam masyarakat (atau preferensi untuk yang kurang beruntung), dan upaya untuk mencapai kebaikan bersama.
Di sinilah NU turut membangun masyarakat madani yang mandiri di Indonesia. Karena sebagai organisasi keagamaan, NU mampu terlibat di ranah publik dengan lebih banyak berkonsentrasi pada tataran politik sosial dan budaya-berbeda dengan politik kekuasaan yang lebih menitikberatkan pada upaya mengamankan dan memusatkan perhatian pada kekuasaan politik. Karena itu, NU dapat terlibat dalam upaya memperkuat akar kehidupan politik, yakni dengan menginternalisasi nilai-nilai kewarganegaraan.
Pemilihan Umum 1999
Keterlibatan NU dalam pemilu 1999 ada tiga. Pertama, NU mendirikan partai politik sendiri, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). PKB menduduki peringkat keempat dalam perolehan suara terbanyak setelah Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) pimpinan Megawati Soekarnoputri, Partai Golkar, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Topik ini tidak dibahas dalam bab ini.
Kedua, banyak lembaga dan badan otonom NU yang berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan pemilih.11 Mereka bekerja sama dengan organisasi lain, seperti pemuda Muhammadiyah dan LSM yang terlibat dalam kegiatan hak asasi manusia dan bantuan hukum. Kegiatan tersebut membantu pemilih untuk lebih memahami hak dan pilihan mereka dalam pemilu.
Ketiga, karena masyarakat sipil di Indonesia sangat antusias untuk menyaksikan pemilu, lembaga-lembaga dan badan-badan otonom NU pun terlibat aktif dalam pemantauan pemilu.12 NU memiliki keunggulan karena jangkauannya hingga ke pelosok desa di seluruh negeri, tempat terjadinya kecurangan dan pelanggaran pemilu sejak pemilu Orde Baru tahun 1971.
Dengan demikian, NU turut membangun kredibilitas pemilu 1999. Setelah berhasil menyelenggarakan pemilu pada bulan Juni 1999 dan memilih Presiden dan Wakil Presiden, Indonesia kini telah menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Tentu masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa capaian-capaian seperti itu secara otomatis akan berujung pada konsolidasi demokrasi. Akan tetapi, jelaslah bahwa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam itu telah berkontribusi pada gelombang baru demokratisasi di dunia.
Pendek kata, NU terlibat dalam penguatan masyarakat sipil dengan memusatkan perhatian pada aspek sosial dan budaya politik, bukan pada dimensi politik kekuasaan. NU terlibat dalam upaya memajukan integrasi nasional, memelihara kemajemukan, memperkuat toleransi, dan mewujudkan masyarakat sejahtera yang diukur berdasarkan gagasan tentang kebaikan bersama dan asas-asas hak asasi manusia yang disebutkan di atas. Dengan demikian, NU terlibat dalam pengembangan masyarakat madani yang mandiri di Indonesia melalui sekitar 330 cabang di tingkat kabupaten, lebih dari 6.000 pondok pesantren, dan 21.000 sekolah di seluruh negeri. NU juga berpartisipasi dalam proses transisi demokrasi Indonesia baru-baru ini, terlibat dalam berbagai cara dalam pemilihan umum pertama yang diselenggarakan secara demokratis setelah tiga puluh dua tahun pemerintahan otoriter Orde Baru.
Catatan :
1 Ken Ward, The 1971 Elections in Indonesia: An East Java Case Study (Clayton, Victoria: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, 1974).
2 Benedict Anderson, “Religion and Politics in Indonesia since Independence”, in Religion and Social Ethos in Indonesia, by B. R. O’G Anderson, M. Nakamura, and M. Slamet (Clayton, Victoria: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, 1977), pp. 21– 32.
3 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Agenda Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1994), p. 226
4 Douglas Ramage, Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance (London: Routledge, 1995).
5 Daniel Dhakidae, “Nahdlatul Ulama, Politik dan Demokrasi”, a speech delivered on the celebration of Abdurrahman Wahid’s re-election as NU’s chairman, 1994 (text by courtesy of Daniel Dhakidae).
6 On the NU’s adoption of Pancasila as its sole basis, see further in Einar M. Sitompul, NU dan Pancasila: Sejarah dan Peranan NU Dalam Perjuangan Umat Islam Dalam Rangka Penerimaan Pancasila Sebagai Satu-satunya Asas (Jakarta: Sinar Harapan, 1989). For an account on the issue by an NU writer, particularly using Islamic legal perspective (fiqh), see M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), pp. 279–97.
7 Readers interested in Shariah legal philosophy on the issue may consult, e.g., Mohammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence (Selangor, Malaysia: Peladuk Publications, 1989), Ch. XIII. See also M. Khalid Masood, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq al-Shatibi’s Life and Thought (New Delhi: International Islamic Publishers, 1989), especially Chs. 4–5 and 7.
8 The principle of “three brotherhood” was coined by the late president of NU’s legislative council, Achmad Shiddiq. See an introductory discussion by Greg Barton, “Islam, Pancasila and the Middle Path of Tawassuth”, in Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia, edited by Greg Barton and Greag Fealy (Clayton, Victoria: Monash Asia Institute, Monash University, 1996), Ch. 5.
9 Larry Diamond, “Rethinking Civil Society: Toward Democratic Consolidation”, Journal of Democracy 5 (July 1994).
10 Jean L. Cohen and Andrew Arato, Civil Society and Political Theory (Cambridge, Mass.: MIT Press, 1992), Ch. 1, especially pp. 69–82. Steven Lukes, “Introduction”, in Vaclav Havel, The Power of the Powerless: Citizens against the State in Central-Eastern Europe (New York: M.E. Sharpe, Inc., 1985).
11 See in general United Nations Development Programme (UNDP), Transition to Democracy: Report on the UNDP Technical Assistance Programme for the 1999 Indonesian General Elections (Jakarta: UNDP, 1999).
12 Ibid. Also, for instance, see A. Malik Haramain and Muhammad Nurhuda, eds., Mengawal Transisi: Refleksi Atas Pemantauan Pemilu ’99 (Jakarta: PMII and UNDP, 2000).
* Fajrul lahir pada tanggal 2 April 1959 di Gresik, Jawa Timur. Ia wafat di usia 54 tahun pada tanggal 12 Februari 2014 di Jakarta. Sosok akademisi sejati yang teguh mendedikasikan diri di jalur keilmuan hukum, utamanya bidang ilmu hukum tata negara.
** Alumni Prodi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo.
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...