“Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”
Agaknya kita tidak boleh lengah kemudian kepala kita kejedot hingga melupakan quote dari Lord Acton diatas. Manusia itu mahluk pelupa, sering kalap terutama saat menggenggam kekuasaan. Sebab itulah kekuasaan manusia harus dibatasi.
Di Indonesia, paling banyak ditulis, dibicarakan, dilaporkan perilaku rusak kekuasaan era Orde Baru. Dahulu istilahnya KKN; Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Reformasi bergulir menumbangkan Soeharto dengan misi pemberantasan KKN, salah satunya. Kini pada orde pasca reformasi istilah itu diringkas saja secara populer sebagai korupsi.
Misi pemberantasan korupsi pada zaman sekarang menjadi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi. Begitu legal-formalnya, meski denyut semangat pemberantasan korupsi hari ini mengalir hingga ke sendi-sendi masyarakat Indonesia secara umum.
Pada kasus yang terbaru ialah skandal korupsi pengadaan KTP-el yang melibatkan salah satu petinggi republik ini. Ialah Setya Novanto yang sejak bulan Juli lalu ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka. Namun demikian ia bebas dalam putusan pra-peradilan yang ia ajukan.
Sosial Media untuk Revolusi
Pada abad teknologi informasi saat ini, sosial media hadir dengan beragam fasilitas yang memudahkan interrelasi antar manusia. Komunikasi di ruang publik yang semula secara konvensional di dunia nyata kini membuka ruang baru di dunia maya. Beragam isu dapat dibicarakan dengan bebas di dunia maya, tak terkecuali politik. Masyarakat pun dapat memanfaatkan sosial media sebagai ruang power control bahkan kritik terhadap pemerintah.
Sejak kasus Papa Minta Saham yang didalamnya ditemukan keterlibatan Setya Novanto, masyarakat memberinya panggilan “papa” di sosial media. Sejak itu beragam reaksi dari masyarakat bermunculan di beragam sosial media dengan tanda pagar #PapaMintaSaham. Sedangkan, dalam kasus korupsi KTP-el yang menjerat Papa, kritik dari masyarakat secara massive dibangun di ruang sosial media. Yang menarik dari reaksi tersebut ialah nada satir yang dicuit masyarakat, di Twitter terutama.
Pada saat itu Papa yang absen dari persidangan tipikor yang menjeratnya. Masyarakat ramai-ramai mencuit kritik satir dengan tema #ThePowerofSetNov. Seperti cuitan “Setya Novanto bangun kesiangan, mataharinya langsung minta maaf”. Atau cuitan, “Setya Novanto kalo nyanyi Baby Shark yang ngiringin Dream Theatre”. Dan beragam cuitan lain bernada satir.
Menurut hemat penulis, ekspresi tersebut merupakan ungkapan kekecewaan atas sikap Setya Novanto yang selalu berkelit dari jeratan korupsi yang menimpanya. Juga bentuk kreatifitas masyarakat dalam rangka mengkritik pejabat publik. Nadanya boleh terkesan lucu, satir membikin ngekek. Tapi secara moral dan etik itu sangat “nonjok”. Sebuah gambaran mengenai penegakkan hukum di republik ini masih kalah tegas oleh kekuatan politik.
Kehebatan sosial media sebagai ruang kritik terhadap kekuasaan bahkan dapat menciptakan sebuah revolusi. Di beberapa negara hal itu terjadi, seperti gerakan yang diorganisir Ramy Raoof di Mesir melalui sosial media. Bukan mustahil jika demam “social media for revolution” juga merambah ke Indonesia. Terutama jika perilaku korupsi para pejabat negara tidak ditindak tegas.
Pemberantasan Korupsi, Penegakkan Hukum
Baru-baru ini para pengkritik Setnov beranjak maju dengan membuat meme dalam gaya kritiknya. Dari sisi normatif, memang dapat dikatakan jika hal itu melewati batas. Kritik mulanya akan menjadi pencemaran nama baik pada akhirnya. Jika diluar persoalan kasus-kasus papa, hal ini ditemui terutama pada masa menjelang Pilpres dulu, presiden Jokowi korbannya. Namun, apa yang terjadi pada papa dalam hal meme saat ini berbeda. Ia lahir dari kekecewaan atas perilaku korupsi yang dilakukan para pejabat. Bukan muncul semata dari hasrat mengalahkan musuh politik, kemudian melenggang menuju singgasana kekuasaan.
Penulis tidak hendak mengatakan bahwa meme buat papa itu layak dipidanakan para pembuatnya atau tidak. Soal itu biar proses hukum yang berbuat seadil-adilnya. Namun, menggenggam semangat melawan korupsi dan menindak para pelaku dengan seadil-adilnya patut terus dilakukan. Mereka yang semangatnya tak pernah tua takkan pernah habis energinya melawan korupsi.
Revolusi Mental yang menjadi jargon politik pemerintahan Jokowi-Jk sepatutnya menyentuh pula mental korupsi para pejabat republik ini. Bagi masyarakat, sosial media bisa menjadi medan revolusi efektif di era keterbukaan informasi dan kebebasan berpendapat sekarang ini. Revolusi mental ditujukan pada terbangunnya sebuah pemerintahan tanpa korupsi dan menegakkan keadilan.
Last but not least, jika tiada mampu memberantas semua bentuk korupsi, jangan abaikan semua bentuk korupsi. Dukungan penuh untuk setiap upaya pemberantasan korupsi oleh KPK. Juga semangat masyarakat melawan segala bentuk rasuah yang merebak dijajaran tinggi pejabat republik ini. Meski tidak seluruhnya, jangan abaikan seluruhnya, sekali lagi. Jangan menunggu matahari terbit dari barat untuk menegakkan keadilan. Selama masih ada kesewenang-wenangan selalu ada energi untuk melawan.
Oleh: Mauzun Visioner (Pegiat Literasi) PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur sedang mencuri perhatian publik. Pasalnya, Pilgub kali ini menampilkan tiga figur
FIGUR kyai masih menarik untuk dilibatkan atau terlibat pada kontestasi pilkada 2024. Pernyataan tersebut setidaknya sesuai dengan kondisi proses pilkada
PERNYATAAN Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie tentang “pendidikan tinggi adalah tertiary education, bukan
Penulis: Gloria Rigel Bunga (Mahasiswa Universitas Kristen Indonesia) KITA pasti suka bertanya-tanya, untuk apa ya sebuah perusahaan atau organisasi sering