Pekerjaan Rumah Indonesia Dalam Menjadi Poros Maritim Dunia
Penulis: Serikat News
Jumat, 26 Mei 2017 - 11:57 WIB
Foto: Dok, Pribadi.
Oleh: Prof Melda Kamil Ariadno, PH.D.*
Pemerintah Indonesia telah bertekad menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia yang tentunya didorong oleh kesadaran bahwa Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Namun apakah modal sebagai negara kepulauan saja cukup untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia (“maritime fulcrum”)? Nampaknya masih jauh panggang dari api karena untuk itu Indonesia haruslah membuktikan diri dulu telah benar-benar menjadi negara maritim.
Negara maritim adalah negara yang telah dapat memanfaatkan sumber daya maritimnya dengan baik dan memiliki kemampuan untuk mengelola dan menguasai laut untuk mencukupi kebutuhan dasarnya termasuk mampu menjaga keamanan dan keselamatan aktifitas di laut dengan efektif. Jika kita telaah satu persatu lima pilar utama dari prinsip “maritime fulcrum” Indonesia maka akan banyak didapati pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan oleh Indonesia untuk membuktikan dirinya sebagai negara maritim sebelum kemudian menjadi pusat maritim dunia.
Pilar pertama menyatakan bahwa Indonesia harus membangun kembali budaya maritimnya. Kata membangun kembali berarti Indonesia yakin bahwa bangsa ini sebenarnya pernah memiliki budaya maritim. Jika kita menengok sejarah Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya maka memang tidak diragukan lagi bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa maritim yang bahkan telah menjelajahi laut sejak lama dan membangun kekuatan di laut sampai mempengaruhi manca negara. Namun budaya itu semakin memudar dan perlu ada upaya untuk membangunnya kembali.
Persoalan mendasar tentu sejauh mana masyarakat Indonesia sekarang bergaul erat dengan laut? Memanfaatkan kekayaan laut? Untuk itu maka Indonesia harus membangun kesadaran untuk menengok ke laut, perlu ada upaya untuk membangun infrastruktur pariwisata maritim agar menjadi pariwisata yang digemari dan terjangkau. Pemerintah perlu memikirkan mendirikan museum maritim yang dapat memperkaya pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai kejayaan maritim Indonesia dan bagaimana upaya kita untuk membangkitkanya kembali. Perlu diterbitkan buku-buku dan dibuat film-film yang menggambarkan keberanian Indonesia dalam menjelajahi laut dan menguasai laut jauh sebelum ada penjajah di negeri ini.
Dalam mencapai pilar kedua, membangun kedaulatan pangan laut, maka menjadi penting untuk menghadirkan pangan laut dalam setiap menu rumah tangga di Indonesia, tidak hanya di daerah-daerah pantai, di Sumatra, Sulawesi dan Maluku, akan tetapi di seluruh wilayah Indonesia. Pemerintah harus dapat menjamin bahwa harga pangan laut dengan mutu baik dapat terjangkau oleh masyarakat, jika diperlukan maka subsidi pemerintah untuk menjamin pasokan konsumsi pangan laut nasional harus diberikan agar masyarakat Indonesia dapat mengkonsumi pangan laut dengan mutu yang baik.
Jika bangsa Indonesia telah dapat menjadikan ikan sebagai menu sehari-hari maka barulah dapat dikatakan adanya ketahanan nasional dalam pangan laut. Untuk meningkatkan produktifitas ikan maka perlu dibangun kapal-kapal ikan Indonesia di dalam negeri, jika dulu Bagan Siapi-api dikenal sebagai tempat pembuatan kapal-kapal ikan Indonesia maka Pemerintah harus dapat mendirikan lagi sentra pembuatan kapal ikan di Indonesia agar kita tidak perlu mengimpor kapal ikan. Pelabuhan perikanan harus dibangun mendekati “fishing ground” agar ikan dapat didaratkan dengan cepat dan diproses baik untuk konsumsi dalam negeri maupun untuk ekspor. Pelabuhan perikanan harus dilengkapi dengan “cold storage” dan laboratorium uji kelayakan mutu serta sistem pengemasan yang baik dan canggih.
Pabrik-pabrik pengolahan ikan harus dibangun dekat dengan pelabuhan perikanan sehingga mengurangi waktu tempuh ikan sebelum diproses. Pelabuhan perikanan harus dilengkapi dengan pelabuhan udara yang dapat melayani penerbangan luar negeri, sehingga hasil pendaratan ikan dan hasil pengolahan ikan dapat segera dikirimkan baik ke pasar domestik maupun ke pasar eksport.
Adapun pilar ketiga yaitu membangun pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim merupakan tugas yang berat bagi Pemerintah Indonesia. Sejak lama Indonesia tidak dibangun secara merata, pulau-pulau di Jawa, Sumatra dan Kalimantan jauh lebih maju dibandingkan pulau besar lainya khususnya Sulawesi dan Papua. Proses produksi kebutuhan pokok lebih banyak di Jawa dan Sumatra sementara pulau lainnya lebih sebagai konsumen.
Hal ini menjadikan tidak imbangnya pergerakan jual beli barang produksi melalui laut. Jika kapal bertolak dari Jawa dan Sumatra ke daerah lain di Indonesia banyak membawa kebutuhan pokok maka perjalanan pulang kerap kali kosong karena tidak ada sentra industri yang saling melengkapi dari daerah-daerah di Indonesia. Untuk itu Indonesia harus membangun industri yang merata di seluruh Indonesia disesuaikan dengan sumber daya setempat, sehingga akan tercipta supply and demand antar daerah yang akan menjamin lancarnya konektivitas maritim antar daerah di Indonesia.
Pemerintah juga harus membangun pelabuhan internasional di ujung-ujung wilayah kepulauan Indonesia. Perlu ada studi yang komprehensif di daerah mana yang merupakan ujung-ujung Indonesia dapat dibangun pelabuhan internasional yang dapat langsung mengangkut barang produksi Indonesia ke negara pasar tanpa melalui Singapura. Dalam mencapai pilar keempat yaitu membangun kerjasama di bidang kelautan, pemerintah Indonesia harus dapat mengedepankan kesamaan derajat dan saling menguntungkan. Keikutsertaan Indonesia di berbagai forum internasional harusnya dapat menambah perlindungan terhadap kepentingan Indonesia bukan sebaliknya.
Melalui kerjasama internasional ini pemerintah harus dapat meningkatkan perlindungannya terhadap nelayan, pekerja di sektor kelautan dan juga pekerja penunjang sektor kelautan. Indonesia perlu memastikan bahwa keselamatan dan keamanan laut dapat dicapai melalui kerjasama yang saling menghormati dengan itikad baik (“in good faith”) dengan negara-negara lain dalam memastikan laut yang aman dilayari dan sumber daya laut dapat dimanfaatkan khususnya yang bersifat terbarukan seperti energi laut.
Adapun untuk mencapai pilar kelima yaitu membangun kekuatan pertahanan maritim, maka Indonesia harus mengembangkan industri pertahanan maritim agar tidak tergantung kepada negara lain dan dapat menjamin kemandirian serta ketahanan dalam menjaga kedaulatan Indonesia di laut.
Anggaran pertahanan harus signifikan sehingga dapat mengembangkan alat sistem pertahanan yang efektif dan tangguh. Tanpa ada dukungan terhadap alat pertahanan dan pelatihan yang cukup dari personil pertahanan maka akan sulit bagi Indonesia untuk menjaga pertahanan negara dan akibatnya akan semakin banyak pelanggaran kedaulatan Indonesia yang dilakukan oleh negara lain.
Akhirnya tentu berpulang kepada Pemerintah Indonesia sejauh mana pemerintah bermaksud untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maritim dan kemudian negara maritim yang menjadi poros maritim dunia.
*Penulis adalah Head of International Office, Universitas Indonesia,Chairperson of Center for International Law Studies,Editor in Chief of Indonesian Journal of International Law,Faculty of Law Universitas Indonesia.
DALAM era digital yang berkembang pesat, industri ekspedisi menghadapi tantangan dan peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan pertumbuhan bisnis
PILKADA merupakan momentum krusial dalam sistem demokrasi Indonesia. Masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin lokal yang akan mempengaruhi arah dan
Oleh: Mauzun Visioner (Pegiat Literasi) PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur sedang mencuri perhatian publik. Pasalnya, Pilgub kali ini menampilkan tiga figur
FIGUR kyai masih menarik untuk dilibatkan atau terlibat pada kontestasi pilkada 2024. Pernyataan tersebut setidaknya sesuai dengan kondisi proses pilkada