BUKU imitasi merupakan salah satu produk bajakan yang marak di Indonesia. Strategi penjualan produk imitasi ini tidak hanya dilakukan secara konvesional melalui kios-kios buku, kemajuan teknologi dan kehadiran berbagai macam flatform marketplace semakin meningkatkan peredaran buku bajakan di tanah air. Faktor lain yang turut memuluskan peredarannya adalah jangkauan harga yang lebih murah dan kemudahan akses.
Selain itu, ada juga permasalahan di bidang lisensi merek dagang. Ayam Geprek Bensu adalah salah satu sengketa merek dagang yang masih hangat di telinga kita. Perebutan merek-merek dagang tersebut sebenarnya bermula sejak 2018. Kemudian, kembali mencuri perhatian publik setelah Mahkamah Agung memberikan putusan bahwa Ruben Onsu tidak dibolehkan menggunakan kata Bensu pada bisnisnya.
Gugatan Ruben atas perkara Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) merek dagang tersebut ditolak MahkamaH Agung. Justru, lembaga pengadilan tertinggi di Indonesia mengabulkan sebagian rekonsepsi pihak PT Ayam Geprek milik Benny Sujono merupakan rival Ruben. Putusannya berdasarkan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bernomor 57/Pdt.Sus-HKI/Merek/2019/PN Niaga Jakarta Pusat.
Keabsahan sebuah lisensi merek dagang suatu perusahaan harus didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), baik melalui individu maupun badan/entitas. Selain kasus produk imitasi dan merek dagang masih banyak lagi permasalahan yang serupa dan berkaitan langsung dengan HAKI.
Sekilas, bahwa HAKI merupakan benda tidak berwujud hasil kegiatan intelektual/daya cipta manusia yang diungkapkan ke dalam suatu bentuk ciptaan atau penemuan tertentu. Kegiatan intelektual/daya cipta terdapat dalam bidang Ilmu Pengetahuan, Seni dan Teknologi. Contohnya Hak Cipta, Merek dan Paten. Hak tersebut bisa diperoleh atas izin pemilik (individu/badan) melalui lisensi. Ilmu akuntansi menyebut HAKI sebagai good will suatu entitas/perusahaan. Yaitu masuk dalam salah satu akun harta yang tergolong tidak berwujud, tetapi memiliki manfaat ekonomis yang signifikan. Good will yang sudah terkenal di dunia global misalnya merek dagang KFC dan McDonalds, sedangkan di Indonesia ada Indomart, kopi kenangan dan janji jiwa. Merek-merek tersebut diperjualbelikan dengan mekanisme franchise atau harus mendapatkan lisensinya untuk bisa mengunakan merek dagang tersebut.
Fenomena Produk Imitasi
Kesepakatan HAKI di dunia internasional diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO). Sedangkan di Indonesia sudah diatur sejak 2000 terkait DTLST, Desain Industri dan Rahasia Dagang. Kemudian 2001 diatur terkait Hak Paten dan Merek Dagang hingga diterbitkan Undang-undang Nomor 19/2002 tentang Hak Cipta. Jadi HAKI terdiri dari Hak Cipta, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang, Paten, Merek, dan Indikasi Geografis.
Kembali pada soal produk imitasi, ternyata sejak dulu fenomena sudah terjadi di sektor bisnis. Menurut Lynch (2002) imitasi produk sebagai upaya mengkopi/memalsu produk, bungkus dan konfigurasi yang berkaitan dengan produk tersebut, sehingga seperti produk aslinya, serta memasarkannya untuk keuntungan sendiri. Pada tahun 1996 sudah diingatkan oleh Cordell dkk. bahwa menjual dan memproduksi produk bajakan adalah suatu tindakan kriminal karena telah melakukan pelanggaran HAKI.
Produk-produk dari Amerika Serikat, seperti Coca-Cola, Polo, Nike, Adidas, McDonald, dan Marlboro menjadi target para pembajak untuk mengeruk keuntungan dengan mendompleng nama besar produk tersebut. Kemudian pembajakan merambah pada produk-produk farmasi yang memiliki keterkaitan langsung terhadap keselamatan manusia. Kasus-kasus tersebut menstimulus perlunya penegakan HAKI atau Intellectual Property Rights (IPR) dalam bisnis internasional karena semakin banyak produk-produk yang berkaitan dengan HAKI menjadi komoditas dunia.
Beberapa yang menjadi faktor pemicu perkembangan bisnis produk imitasi selain yang sudah disebut sebelumnya yaitu: risiko bisnis sangat rendah karena menjanjikan biaya produksi dan overhead yang sangat murah, jauh lebih murah dibandingkan proporsi biaya produksi yang dikeluarkan oleh produk asli karena bahan baku sering kali berkualitas tidak standard, biaya investasi kecil; dan tidak perlu mengeluarkan biaya riset dan pengembangan; memiliki pasar potensial yang sangat besar karena besarnya proporsi konsumen dengan penghasilan menengah ke bawah yang tidak terjangkau membeli produk aslinya.
Di samping itu, infrastruktur hukum yang masih lemah juga menjadi bagian daya tarik melakukan pembajakan produk; memproduksi produk bajakan karena sulit berkompetisi dengan produk-produk yang telah begitu kuat dan populer di mata konsumen, sehingga dengan melakukan pembajakan akan mempermudah memasarkannya karena mendompleng popularitas produk aslinya.
Salah satu yang menghambat dalam penegakan hukum adalah peraturan mengenai HAKI yang tidak standar satu dengan lainnya, sehingga pemberlakuan penegakan hukum juga berbeda-beda. Misalnya China, Singapura, dan Indonesia telah memberlakukan UU HAKI dengan sanksi yang keras, tetapi aktifitas pembajakan tampaknya tidak pernah surut.
Rantai Bisnis Produk Imitasi
Rantai bisnis produk imitasi terbagi menjadi dua, yaitu rantai bisnis langsung dan rantai bisnis tidak langsung. Rantai bisnis langsung, produsen produk imitasi langsung membajak produk asli dari pemiliki (individu/badan) pemegang HAKI, kemudian menjualnya ke pasar konvensional atau marketplace. Berikut rantai bisnis langsung:

Sedangkan, rantai bisnis tidak langsung memiliki perantara dengan menggunakan/memanfaatkan distributor produk asli baru kemudian menjualnya ke pasar. Sasaran produk dalam rantai bisnis tidak langsung biasanya produk internasional, yang memiliki jangkauan pasar global. Jejaring pasarnya lebih besar jika dibandingkan rantai bisnis langsung, yang biasanya hanya menyasar pasar nasional, regional dan lokal. Berikut rantai bisnis tidak langsung:

Indonesia sebagai negara berkembang harus mengantisipasi penyebaran produk imitasi, baik dari dalam dan luar negeri. Jika kita amati rantai bisnis di atas, bahwa bisnis produk imitasi sudah merambah ke dunia global. Dan sasaran empuk bagi produk imitasi yaitu negara-negara berkembang, dengan menyasar masyarakat menengah ke bawah. Hubungan bilateral antara negara harus dibangun oleh pemerintah Indonesia untuk memudahkan mengidentifikasi dan meng-counter aras masuk dan keluar produk imitasi.
Apa yang Bisa Dilakukan Pemilik HAKI
Warning strategy, individu/badan pemilik HAKI harus intens memberi peringatan kepada konsumennya terhadap produk perusahaan tersebut yang dipalsukan; Withdrawal strategy, individu/badan pemilik HAKI harus mengawasi dan memilih secara ketat distributor yang memasarkan produknya di pasar yang dicurigai produk bajakan sangat banyak dijual; Prosecution strategy, individu/badan pemilik HAKI harus melibatkan tim penyidik yang dibentuk oleh perusahaan sendiri untuk melakukan penyelidikan secara aktif tempat-tempat yang dicurigai sebagai pembuat produk palsu dari perusahaan tersebut;
Hands off strategy, individu/badan pemilik HAKI biasanya membiarkan pembajakan produknya karena berbagai alasan. Misalnya, biaya untuk memerangi pembajakan melalui upaya hukum sangat tinggi dan hasilnya sering kali tidak maksimal, artinya perlu ada evaluasi bagi penegak hukum. Monitoring strategy, individu/badan pemilik HAKI harus memandang bahwa distributor adalah pemegang kunci penyebaran produk palsu dipasar. Karena itu, pendekatan dengan distributor untuk membangun loyalitas akan lebih efektif dalam menghentikan produk bajakan di pasar;
Modification strategy, individu/badan pemilik HAKI harus melakukan upaya menciptakan metode pelabelan dengan dibantu temuan-temuan teknologi terkini untuk membedakan produk asli dan produk palsu; Consultation, individu/badan pemilik HAKI harus melakukan peran aktif bekerjasama dengan lembaga pemerintah maupun dengan pemegang merek asli lainnya. Dengan lembaga pemerintah, dalam kaitannya memberikan masukan dan membangun lobi dengan politikus dan penegak hukum untuk memperkuat penegakan hukum dan pembuatan produk hukum yang berkaitan dengan HAKI;
Awareness, Action and Affirmation, individu/badan pemilik HAKI harus meningkatkan ‘awareness’, mengembangkan ‘action’ plan, dan melakukan ‘assertion’ atas hak perusahaan untuk memerangi pembajakan produk.
Selain kedelapan strategi di atas, menurut penulis bahwa membangun kesadaran masyarakat adalah sesuatu yang sangat penting disosialisasikan. Aspek etika dan norma dalam memutus penyebaran produk imitasi merupakan langkah antisipasi yang sustainable. Bahwa ada pihak yang dirugikan baik materil maupun immateril jika masyarakat membeli produk imitasi. Artinya, jika membeli produk imitasi sama saja mendukung praktik bisnis ilegal serta tidak menghargai individu/badan pemilik HAKI. Menjaga kualitas produk oleh individu/badan pemilik HAKI merupakan bentuk akuntabilitas terhadap konsumen, sebaliknya konsumen dalam membeli produk juga memiliki perilaku akuntabilitas terhadap produsen. Antara produsen dan konsumen memiliki dimensi akuntabilitas sebagai etika dan moral dalam lingkungan pasar, baik di pasar konvensional maupun marketplace.
- Kaprodi Akuntansi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia
- Direktur Lembaga Profesi Akonomi dan Keuangan PB PMII
- Mahasiswa Program Doktor Ilmu Akuntansi UNTIRTA