Jika terjadi tawuran atau demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dengan merusak fasilitas negara, lalu berakhir bentrok dengan aparat kepolisian, media akan langsung memberitakan kejadian tersebut sebagai tindakan ‘anarkis’. Media dewasa ini sebagai sebuah alat produksi pengetahuan, ikut serta dalam menggeser makna-makna penting dari sebuah kata atau istilah. Seperti kata anarkis yang oleh media disematkan kepada tindakan di luar aturan berupa bentrok atau tawuran.
Padahal kata ‘anarkis’ memiliki sejarah penting bagi strategi gerakan massa. Sebagai sebuah filsafat politik, beberapa pendiri bangsa Indonesia seperti Soekarno cukup mengenal anarkisme sebagai sebuah pengetahuan hasil produk zamannya. Bahkan sekelas H.O.S. Tjokroaminoto dalam tulisannya yang dibukukan berjudul “Islam dan Sosialisme“ mengulas anarkisme sebagai:
Anarchisme menghendaki gemeenschap itu bukan segenap manusia yang hidup bersama, tetapi jumlah golongan-golongan kaum pekerja belaka, yang menjaga hak otonomi (memerintah diri) sendiri, dan tidak ada pertanggung-jawab kepada pergaulan hidup bersama.
Lanjut Tjokroaminoto menjelaskan pengertian bagaimana anarkisme bergerak dan berhimpun, seperti yang ditulis oleh Tjkro dibawah ini :
Kaum Sindikat (yaitu orang-orang yang mengikuti perhimpunan vakvereeniging yang revolusi) berdiri pada tempat pendirian anarkisme. Mereka itu menuntut, bahwa segala alat-alat untuk membuat barang-barang (produksi) itu hendaknya menjadi milik perhimpunan kaum pekerja.
Apa yang ditulis oleh Tjokro di atas sedikit memberi gambaran bahwa anarkisme tidak sesempit dalam pemberitaan media massa. Media massa mengasosiasikan anarkis kepada tindakan yang tidak taat aturan. Maksudnya ialah aturan yang dibuat oleh negara dan anak-cucunya (lembaga hukum, pengadilan, aparat keamanan, dll). Maka tindakan yang merusak aturan yang ditetapkan oleh negara dimaksud sebagai tindakan anarkis.
Uraian di atas menimbulkan pertanyaan besar kepada kita, jika anarkis tidak sesempit yang diberitakan oleh media massa, maka pertanyaannya ialah apa itu anarkisme?. Jawaban atas pertanyaan ini akan sedikit penulis jabarkan sepemahaman penulis yang selama ini sedikit membaca literatur mengenai anarkisme.
Anarkisme berasal dari kata ‘anarki’ yang berasal dari bahasa Yunani. Awalan an (atau a), berarti ‘tidak’, ‘ketiadaan’ atau ‘kekurangan’, ditambah archos yang berarti ‘suatu peraturan’, ‘pemimpin’ atau ‘kepala’. Maka kata anarkisme diartikan sebagai paham yang meniadakan kehidupan tanpa pemerintah.
Masih banyak orang yang mengartikan bahwa setiap tindakan di luar aturan pemerintah maka disebut tindakan anarkis. Itulah yang dilakukan oleh media massa ketika memberitakan tawuran atau demontrasi yang berakhir ricuh, anarkis menjadi barang paling laku dalam menyebut tindakan seperti tawuran dan bentrok, memecah kaca rektorat atau memboikot jalan.
Lebih jauh dari itu anarkisme dalam perkembangannya juga menolak hierarki dalam bentuk apapun. Penolakan ini dikarenakan hierarki melahirkan embrio penindasan pada masyarakat, seperti adanya hak istimewa yang didasari pada status quo, jabatan, dan kekayaan yang akan menjadi dalil untuk menindas kelas bawah. Puncak dari hierarki adalah negara yang melanggengkan seluruh embrio penindasan atas orang lain seperti penggusuran dan pemalakkan dalam bentuk membayar pajak. Kondisi ini lah dasar yang membuat para anarkis menyerang segala bentuk argumen atas adanya negara.
Sebagaimana paham lain, anarkisme memiliki tokoh pemikir seperti William Godwin, Pierre J. Proudhon, Max Stirner yang merupakan seorang anarkis individualis, Mikhail Bakunin yang seorang sindikalis, Peter Kropotkin, Emma Goldman, Murray Bookchin, dan Noam Chomsky yang sampai hari ini kita kenal dengan tokoh Yahudi yang anti gerakan Yahudi dan pengkritik kebijakan politik Amerika.
Sosialisme Marx dan Anarkisme Bakunin
Anarkisme juga menolak monopoli ekonomi dalam kapitalisme dan otoritarianisme politik dalam bentuk negara. Keduanya berbeda tapi saling menguatkan satu sama lain. Kaum anarkis melihat kapitalisme menggunakan pendekatan Karl Marx yang mengkritik serta menelanjangi paham kapitalisme. Akan tetapi dalam beberapa hal, antara Karl Marx dan Bakunin berselisih pendapat mengenai beberapa pembahasan, seperti subjek revolusi, negara dan strategi taktik gerakan yang ditempuh.
Pada tema subjek gerakan, Marx sendiri memandang kaum tani tidak menjadi bagian dari subjek revolusi karena dianggap sebagai borjuis kecil atau lebih dikenal dengan sebutan tuan tanah. Dan kaum lumpen proletariat seperti pengangguran, pedagang asongan juga tidak menjadi bagian dari revolusi yang justru dalam pandangan Bakunin, dua kaum ini akan menjadi subjek revolusi yang radikal sebab tidak secara langsung bersentuhan dengan sistem kerja kaum kapitalis macam buruh pabrik. Sedangkan dalam pandangan Marx, negara adalah alat perjuangan yang bisa direbut oleh kaum pekerja untuk membendung monopoli ekonomi dan merebut alat produksi guna dikuasai oleh negara serta dikelola bersama kaum buruh. Pandangan Marx atas negara juga ditentang oleh Bakunin dengan mempertanyakan apakah itu tidak akan melahirkan borjuasi baru yaitu borjuasi negara.
Pada pandangan di atas Bakunin memilih keluar dari perserikatan Internasonale dan berkelana di beberapa negara hingga akhirnya menulis pamflet terkenal yang berjudul “State And God”. Dalam buku inilah Bakunin memberikan dasar-dasar bahwa negara dan kapitalisme itu sendiri adalah dua hal yang berbeda. Negara adalah puncak dari hierarki politik dan kapitalisme adalah puncak dari hierarki ekonomi.
- Daftar Bacaan
Islam dan Sosialisme HOS. Tjokroaminoto.
B.V Plekhanov , Anarkisme Dan Sosialisme, penerbit Ultimus.
A.1 Apakah yang dimaksud dengan “Anarkisme”?
Rudolf Rocker, Anarko Sindikalisme, penerbit Parabel, 2017.
An Robertson, Akar Filsafat ; Konflik Marx dan Bakunin, Cakrawangsa.
Sean M. Sheehan, Anarkisme; Perjalanan Sebuah Gerakan Perlawanan,
Wakil Ketua Lakspesdam NU Kota Yogyakarta, Kader PMII Jogja