Manuver Manipulasi Politik Indonesia
Dunia politik Indonesia merupakan arena pertarungan yang sangat dinamis dengan keberadaan para pendukung maupun oposan yang vokal. Tak heran memang dalam kancah perpolitikan sepuluh tahun belakangan sampai tercipta kubu-kubu garis keras. Para pendukung yang tergabung di dalamnya tak segan melemparkan caci maki, yang bahkan seolah akan berakhir dalam peperangan sipil dengan jargon jihad.
Manuver-manuver para politikus sarat dengan manipulasi, mulai dari mengusung agama secara picik hingga melakukan ad hominem dengan memposisikan lawan politik sebagai musuh bersama. Sebut saja pelabelan kafir ataupun pengkaitan dengan komunisme yang tidak pernah terbukti. Hal-hal seperti ini sangat sensitif bagi masyarakat Indonesia yang cenderung buta sejarah atau hanya memahami sesuatu dari kulitnya saja, sehingga mereka mudah terprovokasi.
Label kafir untuk masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam tentu menjadi tanda bahaya dan wajib untuk dihindari, betapa pun pelabelan tersebut sangat tidak tepat guna atau meski orang yang mendapatkan label tersebut telah memberikan manfaat keteraturan dan kemajuan yang signifikan bagi ibu kota. Belum lagi rasisme yang selalu muncul di tengah masyarakat majemuk, yang cenderung apartheid karena menyasar pada satu ras tertentu saja, yaitu masyarakat keturunan Tionghoa.
Politik Pendzoliman, Empati Masyarakat Indonesia dan Kultus Individu
Dari pelbagai model manuver politik yang ada di Indonesia, politik pendzoliman nampak mengemuka khususnya dalam tahun politik 2014-2024. Mulanya mungkin tidak begitu terlihat karena masyarakat dengan adat ketimuran cenderung mudah berempati dan jatuh hati. Mereka, yang berasal dari bukan siapa-siapa dan terbantai isu-isu politik yang kejam, akan mudah merasuk ke dalam perasaan dan pikiran masyarakat Indonesia. Hal ini akan lebih berterima dengan pembawaan yang membumi dan merakyat. Pembawaan yang demikian adalah hal yang nyaris tidak pernah tampak pada performa para pejabat, politikus, bahkan agamawan pengasong penderitaan rakyat.
Politik pendzoliman tampaknya begitu mengena, dan secara psikologis membuat kondisi yang dikenal sebagai reversed psychology, di mana ketika suatu kondisi dikatakan tidak baik atau baik, maka pikiran manusia cenderung mencari fakta sebaliknya sebagai pembuktian. Terkadang, masyarakat melakukan pencarian fakta yang tidak komprehensif, dan hanya bersifat untuk mencari pembenaran. Mungkin hal ini boleh jadi masuk akal, tapi tentu saja tidak logis karena seharusnya yang menjadi tolok ukur adalah kinerja dan rencana kerja yang efektif.
Dengan permulaan yang berdasarkan rasa empati, kecenderungan masyarakat kemudian adalah mendukung habis-habisan sampai tidak lagi mengindahkan saat sang jagoan melakukan kesalahan. Mereka menjadi terus menerus percaya bahwa ada rencana yang lebih besar, dan sejatinya kesalahan yang terjadi adalah sekadar kesengajaan untuk melakukan lompatan yang lebih besar. Lagi-lagi, itu semua karena tidak jelasnya visi misi dan cara untuk mencapai target tersebut, yang tidak dikritisi sejak awal karena tersaput kabut bawa perasaan alias baper.
Masyarakat Kritis, Skeptis dan Berdaulat
Dalam suatu negara yang berasaskan Demokrasi Pancasila, seyogyanya kedaulatan berada penuh di tangan rakyat. Memilih pemimpin bukan semata-mata kewajiban sebagai warga negara, tetapi merupakan hak prerogatif dengan tujuan jangka panjang bagi kemajuan negara dan warganya. Memilih pemimpin bukan berarti kemudian berlepas tangan dan menerima apa pun yang menjadi keputusan mereka, karena sering kali mereka yang mendapatkan posisi sebagai pemimpin akan dengan mudah melupakan amanat serta tugas sebagai pemimpin, bila tidak ada pengawasan mumpuni dari para pemberi amanat.
Mungkin saja partai politik akan bisa menyuarakan keberatan rakyat terhadap keputusan, tindak tanduk dan sepak terjang sang pemimpin, seperti bila pemimpin tampak condong pada suatu keputusan yang menguntungkan hanya sekelompok orang. Namun demikian, partai politik sendiri sebenarnya adalah kelompok yang mengusung kepentingannya sendiri, sehingga cenderung akan bisa disalahpahami kalaupun memang betul-betul mengusung kepentingan rakyat. Keberadaan partai politik sebagai kendaraan untuk mengemban amanat masyarakat seharusnya mengambil wujud yang lebih kekinian, dan tentu saja lebih transparan sehingga terpercaya secara nyata, bukan hanya slogan semata.
Sebagai penutup, pemilihan pemimpin Indonesia, maupun wakil-wakil rakyat seharusnya tidak lagi bergelut dalam manuver-manuver politik yang absurd dan cenderung mengadu domba masyarakat. Orang-orang yang memang berminat menjadi pemimpin sudah semestinya membuktikan manfaat apa yang bisa mereka berikan sebelum mencalonkan diri untuk dipilih. Wakil-wakil rakyat seharusnya merupakan orang-orang yang dekat dengan keseharian rakyat, bukan yang berlindung di balik gedung megah berfasilitas mewah. Rakyat pun tidak seharusnya lagi menjadi orang-orang yang pasrah dan tidak tahu apa-apa, yang nasibnya serta nasib anak keturunannya berada di dalam genggaman orang-orang yang sok peduli.
Menyukai ini:
Suka Memuat...