Pasca penandatangan persetujuan Indonesia terhadap Traktat Pelarangan Senjata Nuklir (Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons) yang ditandatangani pada 20 September 2017 lalu, saat ini proses ratifikasi perjanjian internasional tersebut sudah berada di DPR. DPR sudah menerima RUU tentang pengesahan Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons yang intinya menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang memilih menyetujui perjanjian internasional tersebut. Traktat ini merupakan isyarat yang sangat jelas bahwa mayoritas negara di dunia tidak lagi dapat menerima senjata nuklir dan tidak menganggapnya sebagai alat perang yang dapat dibenarkan.
Traktat tersebut merupakan sebuah kerangka hukum internasional yang secara komprehensif mengatur mengenai pelarangan kepemilikan, pengembangan, produksi, transfer, dan akuisisi terkait senjata nuklir, yang diharapkan dapat berkontribusi besar dalam mewujudkan dunia yang bebas dari senjata nuklir. Meskipun mungkin belum sempurna, namun Traktat ini merupakan sebuah langkah besar menuju upaya yang lebih nyata untuk mencapai tujuan bersama dalam menghapuskan senjata nuklir dari muka bumi.
Pengadopsian Traktat Pelarangan Senjata Nuklir merupakan peristiwa yang bersejarah dalam upaya perlucutan senjata nuklir. Keinginan memajukan perlucutan senjata nuklir telah lama bergulir dan semakin mengemuka sejak Sidang Majelis Umum PBB Sesi ke-70 (tahun 2015) dengan disahkannya Resolusi A/RES/70/33 berjudul Taking Forward Multilateral Disarmament Obligation guna pembahasan secara lebih konkrit terkait langkah hukum, ketentuan dan norma-norma hukum guna mencapai dunia yang bebas dari senjata nuklir.
Berdasarkan resolusi tersebut, pada tanggal 27-31 Maret 2017 dan 15 Juni-7 Juli 2017 di New York telah diselenggarakan Konferensi Negosiasi Traktat Pelarangan Senjata Nuklir (United Nations Conference to Negotiate a Legally Binding Instrument to Prohibit Nuclear Weapons Leading Towards Their Total Elimination). Konferensi dipimpin oleh Kosta Rika sebagai Presiden Konferensi, sedang Indonesia menjadi salah satu Wakil Presiden Konferensi mewakili kawasan Asia dan Pasifik. Pada akhir negosiasi, yakni 7 Juli 2017, Traktat Pelarangan Senjata Nuklir berhasil diadopsi melalui pemungutan suara dengan 122 negara mendukung, 1 negara menolak (Belanda) dan 1 negara abstain (Singapura).
Baca Juga: Australia dan Wacana Keanggotaan ASEAN
Traktat ini juga memunculkan kewajiban untuk membantu korban-korban dari penggunaan senjata nuklir (Hibakusha) serta uji coba senjata nuklir, dan untuk memulihkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh senjata nuklir. Sejak awal, upaya untuk melarang senjata nuklir telah mendapatkan dukungan yang luas dari organisasi-organisasi internasional yang bergerak di bidang kemanusiaan, lingkungan, non-proliferasi, dan perlucutan senjata di lebih dari 100 negara. Pengorganisiran politik dan akar rumput terjadi di seluruh dunia, dan ribuan orang telah menandatangani petisi, bergabung dalam aksi protes, menghubungi perwakilan-perwakilan, dan memberikan tekanan kepada pemerintah.
Sama seperti traktat pelarangan senjata yang sudah ada sebelumnya, yakni Traktat Non-proliferasi Nuklir, Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT), norma internasional ini akan membawa perubahan nyata terhadap kebijakan dan perilaku, bahkan di negara-negara yang tidak menjadi negara pihak di dalam traktat tersebut.
Rezim non-proliferasi nuklir internasional terbentuk karena adanya kekhawatiran negara-negara di dunia akan terjadinya penyebaran senjata nuklir. Karena itu lalu dibuatlah traktat maupun perjanjian-perjanjian yang didasari oleh peraturan dan undang-undang. Dalam rezim non-proliferasi nuklir internasional, Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) merupakan traktat yang dapat dianggap sebagai pilar utama dari rezim anti-penyebaran nuklir tersebut karena di dalamnya mengandung aturan-aturan dasar yang membatasi aktifitas penyebaran nuklir.
Pentingnya Ratifikasi
Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, maka pengesahan perjanjian internasional yang berkaitan dengan masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara dilakukan dengan UU. Berdasarkan hal demikian, pengesahan Traktat Pelarangan Senjata Nuklir (Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons) harus dilakukan dengan UU.
Saya termasuk anggota Dewan yang memandang perlu segera DPR dan Pemerintah meratifikasi Traktat tersebut karena persoalan kebijakan anti persenjataan nuklir perlu dikuatkan dalam UU. Sebagai negara yang mencita-citakan dunia yang damai, perangkat hukum internasional yang melarang penggunaan senjata nuklir selaras dengan kekhawatiran atas penggunaan teknologi nuklir secara negatif untuk tujuan militer. Penggunaan senjata nuklir akan mengancam keberadaan serta keamanan umat manusia di seluruh dunia. Oleh karena itu dibutuhkan suatu komitmen internasional guna mencegah terjadinya perang nuklir antar negara dengan membentuk suatu traktat yang berisi setidak-tidaknya mencakup pelarangan senjata nuklir.
Bagi Indonesia, penandatanganan Traktat Pelarangan Senjata Nuklir merupakan salah satu perwujudan amanat konstitusi dalam turut memelihara ketertiban dunia. Disamping itu, hal tersebut menunjukkan komitmen Indonesia, sebagai calon Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020, untuk terus berkontribusi dalam menjaga dan memelihara perdamaian dan keamanan dunia internasional.
Traktat ini merupakan isyarat yang sangat jelas bahwa mayoritas di dunia tidak lagi dapat menerima senjata nuklir dan tidak menganggapnya sebagai alat perang yang dapat dibenarkan. Karena itu, ratifikasi atas Traktat Pelarangan Senjata Nuklir merupakan suatu kebutuhan yang mendesak dilakukan DPR dan pemerintah.
Penulis Anggota Komisi Luar Negeri Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI )
Menyukai ini:
Suka Memuat...