Oleh: Ria Lestari (Kader PMII Universitas Islam Jember)
NILAI dan norma merupakan pilar utama dalam kehidupan individu maupun kelompok, termasuk dalam menjalankan organisasi. Nilai adalah prinsip atau keyakinan yang menjadi pedoman dalam bertindak, sedangkan norma adalah aturan atau tata cara yang disepakati bersama untuk menjaga keteraturan dan keharmonisan. Memegang nilai dan norma secara konsisten tidak hanya menciptakan kehidupan yang teratur, tetapi juga menjadi fondasi untuk mencapai tujuan bersama.
Dalam konteks organisasi, nilai dan norma memainkan peran sentral sebagai pedoman moral dan operasional yang membantu seluruh anggota dalam mengambil keputusan dan bertindak. Nilai seperti integritas, profesionalisme, dan kolaborasi memberikan arah yang jelas untuk mencapai visi organisasi. Sementara norma, seperti aturan tata tertib atau kode etik, membentuk perilaku yang selaras dengan kepentingan kolektif organisasi. Teori Institusionalisme Organisasi yang dikemukakan oleh Meyer dan Rowan (1977) menyebutkan, bahwa norma dan nilai yang diterapkan secara konsisten akan menciptakan legitimasi dan stabilitas organisasi di mata anggotanya maupun publik.
Namun, jika nilai dan norma ini diabaikan, organisasi berpotensi mengalami disfungsi yang ditandai oleh konflik internal, ketidakteraturan, dan penurunan kredibilitas. Karena ketidakdisiplinan dalam menerapkan aturan, acap kali menyebabkan organisasi kehilangan arah, seperti yang akan dialami oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dalam beberapa tahun ke depan jikalau tidak berefleksi dan berbenah.
PMII dan Pilar Nilai serta Normanya
PMII, sebagai organisasi mahasiswa berbasis Islam Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja), telah lama menjadikan nilai keislaman, kemanusiaan, keilmuan, dan kebangsaan sebagai landasan pergerakan. Nilai-nilai ini mengakar dalam setiap proses kaderisasi formal maupun nonformal, dengan tujuan mencetak kader yang religius, intelektual, dan memiliki kepedulian sosial. Norma yang diatur dalam Anggaran Dasar (AD), Anggaran Rumah Tangga (ART), serta hasil-hasil musyawarah menjadi pedoman perilaku bagi seluruh anggotanya.
Namun, ada fenomena yang memprihatinkan pada periode ini, yang baru saja dikukuhkan empat hari lalu, yaitu degradasi komitmen terhadap nilai dan norma organisasi. Banyak anggota PMII, terutama yang berada pada level Pengurus Koordinator Cabang (PKC), dan Pengurus Cabang (PC), terjebak dalam pola perilaku inkonstitusional. Salah satu contoh nyata adalah praktik rangkap jabatan yang secara tegas dilarang dalam Peraturan Organisasi tentang Keanggotaan.
Saat ini nilai dan norma PMII tidak lagi menjadi satu hal sakral yang dipegang oleh anggota dan kadernya. Banyak yang mengaku menjadi anggota atau kader PMII, tapi tidak mengenal nilai dan norma yang acap dijejalkan dalam setiap jenjang kaderisasi formal maupun non-formal. Sepertinya PMII hanya dijadikan alat mengampu eksistensi semata, sebagai ajang bergengsi untuk menopang popularitas. PMII tidak lagi menjadi organisasi yang teguh atau disiplin dalam menjalankan norma atau aturan yang berlaku, yang telah disepakati melalui forum musyawarah yang diikuti oleh seluruh kader dan anggotanya. Contoh yang sangat nyata ialah pada Pengukuhan Pengurus Besar (PB) PMII dan KOPRI yang baru diselenggarakan itu.
Di sana banyak didapati, oknum-oknum yang memperalat PMII untuk popularitasnya semata dan lupa pada nilai dan norma, serta mengesampingkan tanggung jawab yang diembannya. Tidak sedikit yang dikukuhkan sebagai Badan Pengurus Harian PB PMII dan PB KOPRI yang masih memiliki tanggung jawab sebagai pengurus atau bahkan ketua di level Pengurus Koordinator Cabang (PKC) bahkan Pengurus Cabang (PC). Demi eksistensinya, mereka berbondong-bondong mengacuhkan tugas dan tanggung jawabnya, hanya demi menjadi tokoh PMII di kelas nasional. Pada akhirnya, mereka telah mencederai norma PMII dan memberikan contoh tidak etis kepada anggota atau kader di bawahnya. Seolah tugas dan tanggung jawab di PMII bisa digadaikan begitu saja sesuai kemauan dirinya. Nauzubillah.
Nahasnya, PO yang tersusun indah nan rapi tidak banyak dipahami bahkan oleh selevel Ketua dan pengurus PKC atau PC, Ketua dan pengurus Kopri PKC atau Kopri PC. Dengan gampangnya mereka mengabaikan aturan (norma) PMII tersebut, bahkan secara tidak langsung mencederai nilai PMII yang menjunjung tinggi profesionalitas. Dalam lingkup ini, penulis bukan ingin membatasi anggota atau kader PMII dalam menentukan ruang prosesnya, namun bagaimana disiplin organisasi itu bisa diterapkan dengan baik, sehingga dapat menjadi contoh yang elok bagi generasi organisasi mendatang. Ya masak sih, sekelas ketua PKC atau PC dan Ketua Kopri PKC atau Kopri PC harus kembali diajarkan soal beginian?
Rangkap Jabatan dan Inkonsistensi PB PMII dan PB Kopri
Dalam Hasil Musyawarah Pimpinan Nasional (Muspimnas) di Tulungagung pada 21 November 2022, aturan tentang larangan rangkap jabatan ditegaskan dalam BAB III Perlengkapan Keanggotaan dan Jabatan Pasal 4 ayat (3):
- Setiap anggota dan kader PMII tidak boleh merangkap jabatan pada setiap jenjang level kepengurusan.
Aturan ini menunjukkan komitmen PMII terhadap profesionalisme dan pembagian tanggung jawab yang jelas. Namun, dalam realitasnya, aturan tersebut diabaikan oleh banyak pengurus. Bahkan, PB PMII dan PB Kopri yang seharusnya menjadi teladan justru membiarkan pelanggaran ini terjadi. Tidak ada pencabutan Surat Keputusan (SK) bagi pengurus yang melanggar aturan, meskipun Pasal 5 ayat (3) dengan jelas menyebutkan:
- Jika poin 2 tidak terpenuhi, maka PB PMII berkewajiban mencabut SK Kepengurusan tersebut.
Ketidaktaatan PB PMII dan PB Kopri terhadap aturan ini menciptakan kesan bahwa organisasi hanya menjadi alat untuk mencari popularitas dan gengsi semata. Teori Patologi Organisasi yang dikemukakan oleh Blau dan Scott (1962) menyebutkan bahwa pelanggaran nilai dan norma oleh pemimpin puncak dapat menimbulkan efek domino, di mana anggota di bawahnya akan cenderung meniru perilaku inkonstitusional tersebut. Hal ini tampak jelas dalam kasus PB PMII yang gagal menegakkan aturan terkait rangkap jabatan, sehingga norma organisasi kehilangan kekuatannya.
Dampak dan Refleksi bagi PMII
Ketidaktaatan PB PMII dan PB Kopri terhadap aturan organisasi berdampak sistemik. Pertama, terjadi penurunan kredibilitas organisasi, baik di internal maupun eksternal. Kedua, kader di tingkat bawah kehilangan panutan, sehingga nilai profesionalisme yang seharusnya dijunjung tinggi menjadi terabaikan. Ketiga, organisasi kehilangan arah karena lebih fokus pada kepentingan individu daripada tujuan kolektif.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah tegas dari PB PMII maupun PB Kopri. Pertama, pencabutan SK bagi pengurus yang melanggar aturan rangkap jabatan. Kedua, penegakan disiplin organisasi dengan menanamkan kembali nilai dan norma melalui program kaderisasi. Ketiga, reformasi internal dengan menempatkan kader yang benar-benar berkomitmen terhadap aturan organisasi.
Menurut teori Kepemimpinan Transformasional oleh Burns (1978), pemimpin yang efektif adalah mereka yang mampu memberikan teladan, memotivasi anggota untuk kembali pada visi organisasi, serta menegakkan aturan tanpa pandang bulu. PB PMII harus mampu menjadi katalisator perubahan, bukan justru menjadi aktor yang memperparah disfungsi organisasi.
Menjaga Warisan PMII
PMII adalah organisasi dengan sejarah panjang yang penuh kontribusi bagi bangsa dan agama. Namun, jika nilai dan norma terus diabaikan, organisasi ini akan kehilangan esensinya. Tulisan ini adalah refleksi bagi seluruh kader PMII untuk kembali kepada nilai-nilai dasar organisasi.
Bagi PB PMII dan PB Kopri, sudah saatnya menunjukkan integritas dengan menegakkan aturan secara konsisten. Jika menjadi pemimpin berarti berani mengambil keputusan yang tidak populer demi kebaikan organisasi, maka biarlah itu menjadi langkah awal untuk mengembalikan kehormatan PMII sebagai organisasi kader yang disiplin, profesional, dan berkomitmen pada nilai serta norma yang telah digariskan.
Dari hal besar soal nilai dan norma organisasi yang banyak luput diperhatikan sahabat-sahabat hari ini, ini menjadi refleksi bagaimana PMII saat ini telah mengalami kemunduran. PMII tidak lagi terhormat seperti dulu, justru menjadi alat menggali popularitas semata. Dari tulisan ini, penulis berharap kesadaran banyak pihak akan pentingnya merawat dan menjaga nilai, moral serta etika dalam berorganisasi khususnya dalam ber-PMII.
Jika memang berkesempatan dan mau menjadi BPH PB PMII dan BPH Kopri PB, maka lepaskan jabatan Ketua atau Pengurus PKC dan PC atau Ketua atau Pengurus Kopri PKC dan Kopri PC. Mundur secara gentel dan terhormat. Berikut dengan PB PMII, kami mengharap ketegasannya dalam menjaga stabilitas organisasi melalui pencabutan SK anggota serta kader terkait. Dengan demikian, PMII yang dielu-elukan menjadi organisasi yang disiplin akan nilai, tertib akan norma dan moral bukan hanya omon-omon semata.
Mari tetap menjaga kewarasan. Salam Pergerakan!
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...