Gemericik air kolam, jeritan hewan malam memanggil pasangannya untuk berpelukan di bawah kelam dan aroma tanah usai diguyur hujan rintik-rintik yang biasanya hadir menjadi candu tiba-tiba terasa mengganggu.
Kirana, yang tengah menyiapkan perlengkapan memasak untuk mengisi acara di Ubud Festival esok hari sekonyong-konyong menghentikan aktivitasnya. Satu e-mail, dengan dahsyatnya merusak suasana Ubud malam itu.
Kirana,
Apa salahku sehingga kamu putuskan untuk pergi?
Aku bukan batu, tak ingin sendiri
Jangan kamu diamkan aku seperti ini
“Huh, yang pergi kan dia. Dan siapa bilang dia sendiri? Dia tak pernah sendiri. Dasar manusia individualistik. Sinting!” makinya dalam hati. Ia tak teruskan membaca kalimat berikutnya.
Genta, lelaki yang menuliskan e-mail itu tak mau pergi meski mendapat penolakan bertubi. Silence like a cancer grows, tulis Paul Simon dalam lagu The Sound of Silence, 1956 silam. Tetapi dengan diam, Kirana mendapat ketenangan batin. Genta yang menikahi gadis pilihan orang tuanya—karena kesepakatan politik orang tua—tetap ingin mempertahankan asmaranya dengan Kirana.
“Sakit jiwa, Raja Jawa bukan. Mau punya dua,” makinya lagi.
Klung … klung …
Lonceng bambu berbunyi. Bergegas ia bangkit membukakan pintu.
“Selamat malam …,” sapa perempuan berpenampilan sporty, menarik kopor bermotif army dan ransel motif sama.
“Ya?” Kirana bingung merasa tak mengundang tamu.
“Maaf, saya pasti salah alamat. Saya mencari Vila Srikandi,” sambung tamu tak diundang itu.
“As you can see, ini Vila Sri-we-da-ri. Kirana mengeja nama vilanya sambil menunjuk papan nama yang tergantung di pintu.
“Ooh ok, kamu tahu di mana …. Eh, nggak jadi deh, saya akan cari sendiri, maaf sekali lagi,” terbata-bata ia menyelesaikan kalimat.
“Adin …!! Mampir ke mana saja kamu? Aku tungguin dari tadi, nyasar?” Seorang laki-laki berbadan cungkring, berambut ikal sebahu tiba-tiba muncul menghampirinya. Mereka langsung berpelukan. Adinda nama perempuan itu, terbang dari Jakarta untuk menemui kakak semata wayangnya, Dimas, pemain biola yang juga menjadi pengisi acara Ubud Festival, pagelaran seni dan sastra tahunan terbesar di Asia Tenggara yang berlangsung mulai esok di Ubud, Bali. Kirana menyaksikan perjumpaan itu, dan mencium aroma wangi yang ditinggalkan Adin. “Sialan, wangi apa yang dipakai perempuan tadi,” gumam Kirana.
***
Keesokan hari, pagi buta.
Saatnya lari pagi. Sepatu Asics warna kuning, visor, earphone, spibelt berisi kunci vila dan lip balm rasa cherry, handuk kecil, handphone, all set and done. Jika ada plesetan lari dari kenyataan, ada benarnya bagi Kirana. Sebab ketika lari, bayangan Genta dan kisah cinta mereka yang berakhir getir tak datang mengganggu.
“Heiii,” sebuah suara menyapa Kirana sambil menepuk pundaknya dari belakang.
“Shittttt …!” Ia kaget setengah mati sambil melepas earphone.
“Sorry, sorry, aku panggil-panggil tapi kamu nggak dengar. Mau lari bareng? Pernah lihat sawah berundak di kampung belakang kompleks vila kita? Asyik buat lari. Yukk keburu siang!” Dimas memberondong sapaan tanpa koma. “Oh iya, aku Dimas, vilaku di ujung dan ini adikku Adin, yang salah alamat kemarin.” Sambil lari, Adin senyum dan melambaikan tangan.
Tengsin, Kirana tak menjawab dan memilih rute lain.
“Hhhhh lagi-lagi wangi perempuan itu tertinggal,” batinnya
***
Jalan Raya Sanggingan yang menjadi pusat beberapa venue Ubud Festival semakin siang semakin ramai. Dimas dan biolanya di Taman Baca dipadati para pecinta seni. Ia mainkan “Mawar Berduri” sebagai pembuka, lagu lawas ciptaan A Riyanto. Syahdu. Ia tampak begitu menjiwai setiap tarikan bow. Satu lagu yang tak asing bagi Kirana. Café Melasti, lokasi ia mengisi acara “Cultural Workshop; Resep Nusantara” berada di seberang Taman Baca. Namun, ia tak kuasa melangkah menyeberang.
“Hai, baru kelihatan. Yuk, masuk,” tiba-tiba Adin muncul dan menarik tangannya.
Ada apa dengan kakak adik ini, selalu muncul tiba-tiba.
“Oh, tidak, terima kasih, aku sudah ditunggu,” Kirana melepaskan tangannya. Menunjuk Café Melasti di seberang jalan.
“Ayolah, satu lagu saja,” dasar perempuan persistent. Rambutnya berkibar lembut dimainkan angin.
Ahhh wangi itu lagi.
Kirana menyerah.
Beberapa tokoh di dunia sastra dan jurnalis senior tampak tersihir melihat permainan Dimas.
Satu lagu usai.
“Untuk adikku tersayang, Adin …!” Tepuk tangan pun riuh.
“Kakak kamu keren,” Kirana berbisik.
“He is,” jawab Adin.
“Aku ke seberang yah, udah telat nih,” Kirana pamit.
“Ok, bye,” Adin mendaratkan ciuman di pipi Kirana.
Saat itulah Kirana tahu bahwa sesungguhnya wangi Adin berasal dari rambut hitamnya yang diombre warna hijau keabu-abuan.
“Kamu wangi,” tak sadar kalimat itu muncul dari mulut Kirana.
“Heh? Kamu bilang apa?” Taman Baca kembali riuh ketika Dimas berduet dengan pemain biola berdarah campuran Amerika-Jerman, David Garrett memainkan “Viva La Vida” milik Cold Play.
“I said, bye!” sambar Kirana cepat.
Ia pun berlari kecil menyeberang. Café Melasti sudah ramai pengunjung.
“Kenapa wajahku jadi panas begini? Ahh tak mungkin,” Kirana merasa aneh. Pipinya memerah. Dan bukan, bukan karena sang surya.
***
Klung … klung ….
Lonceng bambu membuyarkan konsentrasi Kirana yang lagi-lagi tengah menyiapkan perlengkapan memasak untuk acara esok.
“Hai. Sibuk?” Rupanya Adin yang membunyikan lonceng. Masih dengan pakaian lari, sedikit terengah-engah.
“Hai. Masuk?” tawar Kirana. Berbeda dengan malam sebelumnya. Kali ini mereka sedikit cair.
“Aku lupa bawa kunci, Dimas pergi. Boleh minta air?” terang Adin.
Kirana mematung melihat Adin yang tampak sangat segar dengan bulir-bulir keringat membasahi anak rambut, kening, dan belahan dada yang menyembul dari balik sport bra.
“Boleh?” tanya Adin lagi, mengagetkan. Perut rata Adin tampak naik turun karena napasnya yang tak beraturan.
“Oh boleh dong, mau masuk dulu sambil nungguin kakak kamu?” lanjut Kirana, berhasil menenangkan diri.
“Asal tak mengganggu penghuni Vila Sri-we-da-ri,” goda Adin sambil mengeja papan nama di pintu.
Lagi-lagi Kirana merasakan panas di wajahnya. Persis siang tadi.
Setelah habis satu botol Aqua dingin.
“Jadi kamu chef? Besok ada jadwal lagi?”
“Iya, setiap tahun aku diundang ke acara ini. Jadi aku mesti kreatif membuat kreasi menu nusantara. Kamu sendiri? Apa yang membuatmu ke sini?”
“Aku ke sini buat Dimas saja. Di Jakarta aku siaran radio. SAS FM. Pernah dengar?” Adin menjawab sambil lalu, lebih tertarik ke perlengkapan memasak yang disusun rapi di meja, dibanding membicarakan dirinya. Tiba-tiba sesuatu membakarnya.
“Kamu harus buat cooking book, Kirana. Hey, I am good in marketing, selling and publicity. And I will do that for free, for a new friend,” tantang Adin.
“Aku pernah berpikir juga untuk membuat buku memasak. Tetapi tak pernah ada waktu untuk itu,” Kirana ingat dulu ketika Genta mendorongnya melakukan hal yang sama.
“Yang penting ada keinginan, sisanya serahkan aku,” jawab Adin tegas sambil menatap tajam bola mata Kirana yang sedetik lalu teringat akan mantan kekasihnya.
Tak disadari, Adin telah menggenggam tangan Kirana.
Wajah Kirana kembali memanas. Keringat dingin.
“Sial … ada apa ini?” pikir Kirana.
“Tadi siang aku dengar kamu bilang aku wangi?” Tangan mereka masih saling menggenggam.
“Ini karena hair mist. Ada kandungan silicone derivative-nya, tidak hanya wangi tetapi juga membuat rambut halus dan bercahaya,” lanjut Adin seraya mengarahkan tangan Kirana ke rambutnya.
Tersihir dengan perasaan aneh, Kirana melepas ikatan rambut Adin dan menghirup aroma rambutnya, dalam.
“Mmm, orange, rose, patchouli …” sederet ingredients lainnya yang terkandung dalam hair mist di rambut Adin siap meluncur dari mulut Kirana.
“Dasar tukang masak, hafal saja sama bau-bauan,” goda Adin sambil menikmati perlakuan Kirana pada rambutnya. Embusan napas Kirana di tengkuknya. Kulit mereka bersentuhan.
Tak butuh waktu lama, bibir mereka berpagut.
Lembut.
Jantung saling berdebar.
Berdiri kaku.
Waktu berhenti.
Mekanisme alam semesta tak lagi berlaku.
Di luar, Dimas menyaksikan semuanya. Adin bukanlah adik kandungnya. Ia gadis yang ia pacari sebelum akhirnya mengaku jika perasaannya kepada Dimas hanya sebatas kakak. Perbedaan orientasi seks Adin, tak menyusutkan perasaan Dimas kepadanya. Di belahan dunia lain, Genta terus mencari jalan untuk kembali bersama Kirana. Meski terpisah jauh, tak sehari pun ia lewati tanpa bayang Kirana dan rasa bersalah yang terus hinggap, tak mau pergi ….
Penulis adalah News Presenter BeritaSatuTV dan Tenaga Ahli DPR RI, Jakarta
Mahasiswi Program Doktor Ilmu Kriminologi UI
Baru-baru ini meluncurkan buku Kumpulan Cerpen; Apple Strudel
Chat Nastiti untuk informasi lebih lanjut melalui Twitter/Instagram @nastitislestari
Menyukai ini:
Suka Memuat...