Mengapa orang mudah sekali meluapkan kemarahan dalam media sosial, bahkan memakai kata-kata kasar, penuh kebencian yang tak pantas dibaca apalagi ditiru oleh orang lain. Perilaku ini seperti telah menjadi kebiasaan sebagian besar masyarakat kita, yang begitu mudah melontarkan kalimat keras tanpa memperdulikan bagaimana perasaan orang lain. Budaya tepa selira seolah hilang dari kehidupan sehari-hari. Dia telah pergi bersamaan dengan tumpulnya hati dalam memaknai ajaran Islam yang sebenarnya.
Tidak hanya di jagat maya, tetapi dalam kehidupan sehari-haripun banyak kita temui, ujaran kebencian, mengadu domba, fitnah yang bertebaran, kampanye hitam dalam tahun-tahun politik yang menegangkan, seperti tak pernah henti menjadi santapan rutin pemberitaan, baik di media elektronik maupun cetak. Masyarakat Indonesia yang dikenal dunia sebagai orang timur yang berbudaya, ramah, sopan santun, dan murah senyum seperti hilang samar-samar dalam ingatan.
Selain kata-kata verbal, kekerasan juga bisa dalam bentuk pengabaian terhadap kehadiran orang lain. Tidak peduli dan peka dengan kesusahan orang lain, merasa bahwa dirinya sendiri bersama kelompok dalam komunitasnya adalah yang terbaik, sedangkan kelompok lain, terutama yang minoritas itu tidak baik, bahkan diembel-embeli dengan sebutan kafir, munafik, dan non pribumi.
Dalam catatan tulisan KH. Husein Muhammad dalam buku Mewaspadai Gerakan Transnasional, kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain seringkali terjadi akibat dari ketidakmengertian dia sendiri tentang sesuatu. Sedangkan dalam sebuah wawancara Gusdur menjelaskan “mereka yang melakukan kekerasan itu tidak mengerti bahwa Islam tidaklah terkait dengan kekerasan. Ajaran Islam yang sebenar-benarnya adalah tidak menyerang orang lain, tidak melakukan kekerasan, kecuali apabila kita diusir dari rumah kita. Ini yang pokok. Kalau seseorang diusir dari dirumahnya, berarti dia sudah kehilangan kehormatan dirinya, kehilangan keamanan dirinya, kehilangan keselamatan dirinya. Hanya dengan alasan itu, kita boleh melakukan pembelaan“.
Jika melihat apa yang disampaikan Gusdur dalam wawancara tersebut, berbeda jauh dengan perilaku sebagian besar umat Islam hari ini. Mengaku beragama Islam, namun sikap yang ditunjukkan bertolak belakang dengan Islam sebagai rahmatal lil ‘alamien, bahwa makna Islam adalah agama yang merahmati seluruh alam semesta. Islam hadir untuk manusia, dan memanusiakan manusia.
Dalam konteks ini menurut Buya Husein, sapaan akrab KH. Husein Muhammad, keadilan adalah pilar dan prinsip agama. Ia harus diwujudkan terhadap siapa saja, diri sendiri, keluarga, bahkan kepada orang yang berbeda keyakinan, berbeda kultur, berbeda kebangsaan, dan seterusnya, sepanjang orang-orang tersebut tidak mengusir dan tidak melakukan penyerangan terhadap umat Islam.
Berdasarkan catatan tersebut diatas, semoga dalam tahun-tahun politik yang akan segera menjelang ini, kita semua bisa belajar dari pengalaman Pilpres 2014 dan Pilkada Jakarta 2016-2017, yang menyisakan noda kelam proses demokrasi, menggunakan agama sebagai alat politik mencapai kekuasaan, dengan cara menyebarkan berita bohong, fitnah, kekerasan verbal dan ujaran kebencian. Sehingga antar saudara sebangsa dan setanah air saling berhadap-hadapan. Kawan dan lawan menjadi samar tak terkenali. Memecah solidaritas dan kebersamaan.
Jadi satu hal mungkin yang harus diingat sebagai penutup tulisan ini, Islam tidak pernah mengajarkan tentang kekerasan dan ujaran kebencian. Maka lawanlah kekerasan dengan kelembutan sikap serta kasih sayang terhadap sesama manusia, sehingga kerukunan dan perdamaian tidak hanya slogan belaka dalam aksi demontrasi dan ruang-ruang diskusi. Namun benar-benar mewujud nyata dalam laku dan ucap kita.
Penulis Adalah Aktivis Perempuan, Penggila Baca, Penyuka Sastra dan Hobi Menulis. Tinggal di Indramayu
Menyukai ini:
Suka Memuat...