Front Pembela Islam (FPI) adalah salah satu organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam yang kerap kali diposisikan setara dengan kalangan radikal. Tentu yang demikian ini bukanlah realitas yang tanpa alasan. Barangkali sikapnya yang terlalu agresif dalam beragama menjadikan FPI cenderung lebih keras menghadapi dinamika sosial yang tidak sesuai dengan pola pandang ideologinya.
Bila dirunut dari sejarahnya, FPI tidak lain adalah Ormas Islam yang sejak kelahirannya cenderung konservatif. Ormas ini mengusung jargon yang hendak mengembalikan rezim nation satate Indonesia pada konstruk Khilafah atas dasar syariat Islam. Lihat misalnya pada tabligh akbar FPI tahun 2002 menuntut agar syariat Islam dimasukkan pada pasal 29 UUD 45 yang berbunyi, “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan menambahkan “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” seperti yang tertera pada butir pertama dari Piagam Jakarta yang dirumuskan pada tanggal 22 Juni 1945.
Lain dari itu, dua tahun sebelumnya (2000) Ormas ini sudah pernah menyerang dan berusaha membubarkan Komnas HAM. Pada 3 Oktober 2004 FPI menyerbu pekarangan Sekolah Sang Timur sambil mengacung-acungkan senjata dan memerintahkan para suster agar menutup gereja dan sekolah Sang Timur. Pada tanggal 21 Mei 2006 FPI mengusir K. H. Abdurrahman Wahid dari forum dialog lintas etnis dan agama di Purwakarta, Jawa Barat. Bahkah pada 2018, tahun kemarin FPI kembali berseteru dengan Ansor dan bahkan dengan NU secara berhadap-hadapan dalam kasus pembelaan bendara (yang dianggap) Tauhid.
Dari rentetan sejarah tentangnya, penulis menaruh perhatian tersendiri pada FPI. Sejarah panjang FPI yang tidak berjalan mulus, dapat diterima oleh berbagai kalangan, namun sebaliknya, rentetan aksi-dakwahnya kerap kali menimbulkan perseteruan dengan berbagai pihak sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Atas berbagai dinamika tersebut, penulis menduga terdapat domain yang berjalan pincang dalam tubuh FPI.
Jika memang benar FPI bervisi suci mengusung pan Islamisme konservatif yang toh pada kenyataannya banyak memakan korban pertikaian dengan sistem negara yang dianggap tidak Islami serta dengan umat lintas Iman yang dipandang telah meresidu Islam sebagai agama mayoritas, maka keberadaannya perlu dipertanyakan. Sudah benarkah FPI mengusung visi suci persaudaraan Islam yang sempurna elemen-elemen keberagamannya? Adakah FPI mendasari gerakannya pada ajaran Tasawuf? Bahkan, akankah FPI memiliki jalan Sufi? Yang dengannya kemaslahatan ammah, kearifan sosial, serta pendekatan-pendekatan teosofis esoterik memperolah tempat yang dominan dalam serangkaian aksi-dakwahnya?
Penulis dengan memerhatikan lebih saksama terhadap sejarah panjang FPI, berasumsi bahwa ormas ini tidak memiliki jalan sufi. Sebab, sejauh tasawuf mengambil varian penting dalam keberagamaan seseorang, sejauh itu pula Tasawuf menanamkan nilai-nilai luhur, kearifan, perdamaian dan kemaslahatan amah melalui pendekatannya yang sangat luwes. Dan FPI selama ini tidak mencerminkan wajah ini. Maka keberadaan pengikutnya yang terdiri dari kalangan muslim dan juga mu’min pada hakikatnya langkah-langkah yang dikerjakannya selama ini hanya bersifat teologis an sich yang kaku. Bahkan juga dimungkinkan aksi-dakwahnya hanya menjadi formalitas yang tidak memiliki ruh. Sebab, pemahaman keberagamaannya tidak dibarengi dengan pendekatan moral etis (ihsan).
Keberadaan FPI yang demikian ini mendapat kecaman keras dari pola pandang Al-Ghazali. Bagi Al-Ghazali seseorang dapat dikatakan telah menjiwai agamanya ketika ia bisa mengetahui tujuan luhur dari hidup dan kehidupannya. Oleh karena itu, suatu amal—bahkan aksi serta dakwah—seorang dapat dipandang baik hanya jika amal itu menghasilkan bekas dalam jiwanya yang mengarah pada saadah addarain (Ihya, jilid IV, h. 138). Dan yang demikian ini hanya dapat diperoleh ketika ia mampu mengendalikan keberadaan dirinya serta mengarahkannya pada nilai-nilai luhur dalam tiga hal, yaitu: mengarahkan akal (al-aql) pada al-hikmah (kebijaksaan), mengarahkan al-Ghadb (kemarahan) pada al-syaja’ah (kekesatriaan) dan al-syahwah (hasrat/birahi) pada al-iffah (kesederhanaan/kontrol diri). Ketika kendali ini dapat terkontrol maka ia mampu bersikap adl dan muhsin.
Berdasarkan standar minimal ini, kita dapat menelaah keberadaan FPI yang kerap kali berkecamuk. Walhasil, penulis sudah dapat memastikan bahwa FPI tidak memiliki jalan etik ini. Dalam artian aksi-dakwah FPI tidak dibarengi dengan pendekatan yang luwes, arif, dan adl dalam memandang dinamika sosial. Maka, tak ayal jika FPI cenderung frontal, agresif dan bahkan berlaku makar. Itu artinya FPI membiarkan pola pandang rasionalitas akalnya tanpa terkontrol. Sebagai dampaknya, sifat al-Ghadb (kemarahan/marah-marah) terus berkobar untuk memenuhi hasrat birahinya (al-syahwah).
Terakhir sebagai refleksi atas keberadaan FPI beserta ikhwal-nya yang bertentangan dengan ajaran religion etic yang diajarkan Al-Ghazali, maka pantaslah jika FPI dibubarkan saja.
Ahmad Fairozi. Alumni PP. Annuqayah Madura yang sedang menyelesaikan program pasca sarjana di UNUSIA Jakarta.