Berjamurnya perusahaan-perusahaan baik milik negara maupun swasta di Indonesia membuat Corporate Social Responsibility (CSR) sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat. CSR mulai diperkenalkan oleh negara-negara maju seperti Inggris ketika terjadi kritik terhadap revolusi industri yang sedang berkembang pada tahun 1950an, bahkan tahun sebelumnya. Pada tahun itu, pabrik dianggap sebagai sumber masalah sosial, seperti keresahan tenaga kerja, kemiskinan, pekerja anak dan perempuan, serta pemukiman kumuh di sekitar pabrik. Untuk itu, muncullah skema kesejahteraan yang bertujuan untuk mencegah masalah ketenagakerjaan dan lingkungan dengan mengambil tindakan yang disebut sebagai bisnis dan sosial—sekarang dikenal sebagai tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Kegiatan yang dilakukan saat itu, seperti membangun rumah sakit, pemandian, fasilitas rekreasi, dan lainnya (Gelatik, 2005: 269-270).
Perkembangan zaman turut serta mempengaruhi perkembangan CSR. Di tahun 1979, Archie B. Carroll mendefinisikan CSR sebagai tanggung jawab sosial bisnis yang mencakup ekspektasi ekonomi, hukum, etika, dan kebijaksanaan yang dimiliki masyarakat terhadap organisasi pada titik waktu tertentu (1979:500). Di tahun 1980, Thomas M. Jones mendefinisikan SCR sebagai tanggung jawab sosial perusahaan merupakan gagasan bahwa perusahaan memiliki kewajiban kepada kelompok konstituen dalam masyarakat selain pemegang saham dan ditentukan oleh undang-undang serta kontrak serikat (Jones, 1980: 59-60). Sedangkan menurut Business for Social Responsibility (BSR) yang merupakan perusahaan non-profit, CSR didefinisikan secara lebih luas untuk mencakup topik-topik seperti etika bisnis, investasi komunitas, lingkungan, tata kelola dan akuntabilitas, hak asasi manusia, pasar dan tempat kerja. Business for Social Responsibility menegaskan bahwa CSR dipandang sebagai serangkaian kebijakan, praktik, dan program komprehensif yang diintegrasikan ke dalam bisnis, serta proses pengambilan keputusan melalui perusahaan.
Di Indonesia, perusahaan-perusahaan mulai melakukan kegiatan CSR sekitar tahun 1990, namun belum memakai istilah CSR. Menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pasal 74, Corporate Social Responsibility (CSR) identik dengan kegiatan sosial sebuah perusahaan, yang mana perusahaan tidak hanya berorientasi pada keuntungan profit, namun juga harus memiliki nilai-nilai sosial. Dalam undang-ungang tersebut juga telah ditegaskan bahwa Perseroan yang menjalankan tugas di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan dan jika tidak melaksanakannya akan dikenai sanksi. CSR juga diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas yang merupakan turunan dari Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Selain itu, CSR juga diatur dalam Undang-Undang No. 25 tentang Penanaman Modal, undang-undang ini menegaskan bahwa setiap penanam modal wajib bertanggungjawab sosial perusahaan dan menghormati tradisi budaya masyarakat di sekitar lokasi kegiatan usaha.
Meskipun sudah dibuat peraturan oleh pemerintah pusat, bahkan pemerintah daerah turut serta berinisiatif untuk membuat Perda pelaksanaan CSR, dalam praktiknya masih banyak perusahaan yang enggan untuk melakukan CSR. Hal tersebut dikarenakan CSR dianggap membuang-buang biaya dan merugikan perusahaan. Di sisi lain, banyak perusahaan yang melakukan kegiatan CSR seadanya untuk memenuhi kewajiban perusahaan dan terhindar dari sanksi. Di sinilah letak salah kaprah dalam pelaksanaan CSR di Indonesia. Banyak perusahaan yang melakukan CSR sebagai kegiatan sukarela atau charity dengan membagi-bagikan sembako, melakukan kegiatan CSR sebagai pencitraan untuk menaikkan eksistensi perusahaan di mata masyarakat. Padahal menurut World Bank, kegiatan CSR ditujukan sebagai komitmen bisnis untuk mengembangkan ekonomi berkelanjutan. Corporate Social Responsibility tidak hanya dimaknai sebagai pengumpulan laba perusahaan, tetapi mengingat bahwa etika bisnis lebih kepada profit, people, dan planet yang terdapat dalam Triple Bottom Line.
Di Indonesia, praktik CSR yang dilakukan oleh perusahaan baik milik negara maupun swasta banyak yang tidak sesuai dengan visi dan misi perusahaan, khususnya perusahaan-perusahaan yang ranah usahanya bergantung pada sumber daya alam. Padahal sudah dijelaskan bahwa perusahaan yang usahanya berkaitan dengan sumber daya alam berkewajiban untuk bertanggungjawab sosial terhadap masyarakat di sekitar perusahaan yang beroperasi. Selain kurang tepat dalam mengadakan kegiatan CSR, lemahnya hukum dalam pelaksanaan kegiatan CSR juga menjadi penyebab kurang optimalnya kegiatan CSR di Indonesia. Terbukti dengan lemahnya hukum di Indonesia, terdapat beberapa perusahaan yang hanya membuat janji-janji manis mengenai pelaksanaan CSR. Contoh penyimpangan kewajiban perusahaan dalam melakukan CSR yakni beberapa perusahaan tambang batu bara di Kalimantan. Seharusnya daerah di sekitar penambangan menikmati dampak positif dari adanya proyek tersebut, misalnya perekonomian daerah tersebut menjadi berkelanjutan dan penataan kawasan yang lebih maju karena adanya reklamasi dan revegetasi (perbaikan lingkungan dengan penanaman kembali dan pemeliharaan) di kawasan bekas tambang. Kenyataannya, bekas tambang batu bara tersebut malah memakan banyak korban akibat tidak direklamasi dan revegetasi. Selain memakan korban, juga menyebabkan kerusakan lingkungan dan berdampak buruk bagi kesehatan karena lubang bekas tambang berisi air yang mengandung asam.
Meskipun begitu, tidak semua perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia melakukan penyimpangan dalam melaksanakan kegiatan CSR. Masih banyak perusahaan-perusahaan besar yang peduli dan bertanggungjawab sosial kepada masyarakat di sekitar perusahaan yang beroperasi sesuai dengan visi dan misi perusahaan. Contohnya, PT Unilever Indonesia Tbk. dengan program CSR yang bernama Yayasan Unilever Indonesia (YAI) yang memiliki tiga pilar CSR, yakni Pilar Peningkatan Taraf Hidup; Pilar Lingkungan; Pilar Kesehatan, Kesejahteraan dan Nutrisi. Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur, pemasaran, dan distribusi barang, menurut penulis beberapa kegiatan CSR yang dilakukan oleh PT Unilever Indonesia Tbk. sudah tepat. Sebagai salah satu perusahaan yang memproduksi kecap, kegiatan CSR PT Unilever Indonesia yaitu pemberdayaan petani kedelai hitam di beberapa daerah di Indonesia. Dalam menciptakan kedelai hitam yang berkualitas, PT Unilever Indonesia bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada. Pemberdayaan tani ini mengacu pada Unilever Sustainable Agriculture Code (USAC) dan Kebijakan Perolehan Bahan Baku yang bertanggung jawab atau Responsible Sourcing Policy Unilever yang bertujuan untuk memastikan bahwa bahan-bahan baku produksi memiliki dampak minimal terhadap lingkungan dan mendorong perbaikan para petani kedelai dalam budidaya sehingga menghasilkan panen yang berkualitas.
Kabar gembira lain muncul bahwa sudah banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia yang menjalankan CSR 2.0. Corporate Social Responsibility 2.0 merupakan revolusi dari bentuk-bentuk CSR sebelumnya. CSR 2.0 lebih berprinsip pada kreativitas, skalabilitas, responsiveness, glocality dan circularity. CSR 2.0 lebih memanfaatkan teknologi, khususnya internet dalam berhubungan bisnis dengan masyarakat. Beberapa perusahaan yang telah menerapkan CSR 2.0 merupakan perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang e-commerce dan perusahaan startup. Salah satunya yaitu program GO-SCHOLAR TECH milik GO-JEK. Program ini diperuntukkan bagi anak-anak bangsa yang memiliki minat di bidang teknologi untuk mendapatkan pembelajaran pemrograman secara intensif. Program ini dilakukan oleh GO-JEK bersama Hacktiv8, lembaga pendidikan informal di bidang pemrograman untuk mendukung industri teknologi Indonesia dengan mencetak programmer kelas dunia.
Dari uraian di atas, CSR memang penting dan wajib dilakukan oleh pelaku usaha atau perusahaan karena tujuan bisnis bukan semata-mata hanya untuk mencari keuntungan, tetapi untuk membantu dan memudahkan kehidupan masyarakat. Untuk itu, harapannya perusahaan-perusahaan di Indonesia baik milik negara maupun swasta dapat melaksanakan program CSR sebagaimana mestinya, bukan hanya sebagai formalitas untuk meningkatkan eksistensi perusahaan dan agar terhindar dari sanksi.
Mahasiswa Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada