Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) diperingati setiap 9 Febuari sesuai Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1985. Tonggak sejarah ini mengacu tanggal pendirian organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang dibentuk di Solo pada masa revolusi, 9 Febuari 1946. Dalam setiap peringatannya, kita perlu memberi kritik dan saran atas perjalanan dunia pers nasional dan tantangannya selama ini.
Sejak kran reformasi politik terbuka pada 21 Mei 1998, ditandai suasana demokratis dalam hal kebebasan berekspresi dan berpolitik. Dalam kebebasan pers, Presiden BJ. Habibie mengeluarkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjadi tonggak kebebasan pers di Indonesia. Juga dicabutnya ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang selama era Orde Baru dijadikan alat kontrol negara terhadap media massa yang dianggap tidak sejalan dengan pemerintah.
Kebebasan pers menciptakan ribuan media cetak, elektronik dan online. Menurut mantan Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, terdapat sekitar 47.000 media massa terdiri dari media cetak, radio, televisi dan media online di Indonesia. Dari jumlah itu, 2.000 adalah media cetak, 674 radio, 523 televisi termasuk lokal, dan media daring.
Era kebebasan pers juga memasuki era industrialisasi media, para investor bermodal besar membentuk konglomerasi media baik di tingkat nasional maupun lokal. Menurut Ross Tapsell, Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga dan Revolusi Digital (2018), media di Indonesia didominasi oleh delapan konglomerat. Dominasi kepemilikan media ini menjadi salah satu tantangan utama terhadap media di era reformasi.
Menurut Taspell, dampak dari konglomerasi media mengurangi otonomi jurnalis dalam membuat pemberitaan dan pelaporan, juga dalam membingkai berita-berita. Monopoli media juga bertentangan dengan prinsip keragaman kepemilikan (diversity of ownership) dan keragaman isi (diversity of content). Sementara adanya afiliasi politik dari beberapa pemilik media, turut menentukan model pemberitaan terhadap sebuah berita.
Media Online dan Medsos
Era media online juga telah menumbangkan berbagai media tradisional, terutama media cetak. Satu persatu media cetak bermigrasi ke media online. Menurut laporan PricewaterhouseCoopers (PwC) dalam Perspective from the Global Entertaiment and Media Outlook 2017 menyebutkan bahwa laju global pertumbuhan koran dalam lima tahun ke depan adalah minus 8,3 persen. PwC memprediksi media berbasis internet tumbuh 0,5 sampai 6 persen.
Di Indonesia, grup media besar seperti Kompas Gramedia Group (KKG) telah menutup edisi cetak Koran Bola dan majalah HAI, majalah remaja legendaris. KKG juga menutup edisi cetak delapan produknya Kawanku, Sinyal, Chip, Chip Foto Video, What Hi Fi, Auto Expert, Car and Turning Guide, dan Motor. Juga telah ditutup edisi hari minggu Galamedia, koran regional grup Pikiran Rakyat, edisi hari minggu Koran Tempo (Tempo Media Group), Sinar Harapan, dan Jakarta Globe.
Ketika media cetak bertumbangan, media online tumbuh pesat. Menurut Dewan Pers, jumlah media online (siber) di Indonesia mencapai 43.300 hingga tahun 2017. Dari jumlah tersebut menurut Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), media online yang telah terverifikasi Dewan Pers tidak lebih dari 100 media.
Keberadaan media online tidak lepas dari kebebasan pers dan perkembangan teknologi digital yang menghasilkan media online dan platform media sosial. Kemudahan akses internet dan kepemilikian smartphone menjadikan media online dan media sosial mampu menjangkau publik secara cepat dan luas. Media sosial juga menjadikan tiap individu dapat memproduksi berita dan opininya ke publik dengan mudah.
Menurut Kementerian Kominfo, penguna internet Indonesia mencapai 54 persen atau 143 juta dari 265 juta jiwa penduduk Indonesia. Sementara jumlah pengguna media sosial juga bertambah. Tahun 2019, menurut riset dari perusahaan media We Are Social bekerja sama dengan Hootsuite, menyebut ada 150 juta pengguna media sosial di Indonesia. Jumlah itu naik 20 juta pengguna dibanding hasil riset pada 2018.
Facebook masih menjadi aplikasi media sosial yang paling banyak digemari di Indonesia, dengan penetrasi 81 persen. Menyusul Instagram sebagai media sosial terpopuler kedua di Indonesia dengan penetrasi 80 persen. Popularitas Facebook sebagai media sosial hanya bisa dikalahkan oleh platform streaming video YouTube dan aplikasi pesan instan WhatsApp.
Maraknya penggunaan media sosial juga tidak luput dari penumpang gelap yang memanfaatkan platform ini untuk tujuan politik dan ideologis kelompoknya. Para pendukung ekstrimisme agama dan terorisme menggunakan jajaring sosial untuk menyebarkan ide-ide dan rekrutmen para anggotanya.
Menurut data Kementerian Kominfo telah ditemukan sekitar 20 ribu akun pendukung ekstrimisme di media sosial. Kementerian Kominfo telah memblokir 22 situs atau website radikal berdasarkan pengaduan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Media online yang tidak terverifikasi juga membawa masalah serius. Menurut Kementerian Kominfo ada sekitar 800.000 situs di Indonesia yang telah terindikasi sebagai penyebar informasi dan berita palsu (hoax) yang mencapai puncaknya selama Pilpres 2019.
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat 230 hoax yang terklarifikasi sebagai disinformasi selama Juli-September 2018. Hoax politik mencapai 135 buah atau 58,7%. Sisanya, 7,39% bermuatan agama, 7,39% penipuan, 6,69% lalu lintas, dan 5,2% kesehatan. Sarana yang paling banyak digunakan untuk menyusun hoax adalah narasi dan foto (50,43%), narasi (26,96%), narasi dan video (14,78%), dan foto (4,35%). Hoax paling banyak disebarkan di Facebook (47,83%), Twitter (12,17%), Whatsapp (11,74%), dan Youtube (7,83%).
Ancaman Demokrasi
Dua tantangan utama Hari Pers Nasional adalah dominasi kepemilikan media serta penggunaan media online dan media sosial yang mencederai kebebasan berekspresi serta kebebasan pers. Untuk konglomerasi media, pemerintah diharapkan membuat aturan agar hak publik mendapatkan informasi yang obyektif dan kredibel di atas kepentigan pemilik media, baik kepentingan ekonomi maupun politik.
Media memiliki kekuatan untuk memengaruhi masyarakat agar mempercayai suatu isu atau peristiwa dianggap penting. Dengan agenda setting, media juga memiliki kekuatan untuk membuat suatu isu dianggap penting oleh pembaca atau masyarakat. Jika tidak diatur konglomerasi media bisa menjadi ancaman bagi kebebasan pers dan demokrasi.
Dalam hal media online dan media sosial, salah satu tantangan masyarakat adalah kemampuan untuk menyaring informasi yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan untuk membedakan apakah informasi atau berita melalui media online adalah hoax atau bukan. Sementara para jurnalis dituntut tidak hanya kecepatan menyampaikan berita, tapi juga penyajian informasi yang akurat.
Bagi pembuat dan penyebar hoax, tindakan hukum harus dijalankan dengan mempertimbangkan nilai-nilai demokrasi dan hak berekspresi. Juga perlunya pendidikan literasi digital kepada para pengguna media sosial yang jumlahnya jutaan orang. Ini semua agar fungsi media sebagai fondasi demokrasi tetap mampu menjaga kepentingan dan suara publik.
Penulis adalah Deputi Komunikasi Politik Kantor Staf Presiden (2015-2019).
Menyukai ini:
Suka Memuat...