Penulis: Serikat News
Rabu, 30 Agustus 2017 - 21:07 WIB
Foto: Dok, Pribadi
Oleh:Danu Pracikal Bulpa
Banyak sumber yang mencoba menjelaskan asal muasal Jawa dan manusianya. JawaDwipa begitulah pulau Jawa dikenal pada masa lalu. Tersebut dalam epik Hindu Ramayan, “ JawaDwipa dihiasi tujuh kerajaan. Ia berupa pulau emas dan perak, kaya dengan tambang emas, ia sebagai salah satu bagian paling jauh dari bumi”.
Claudius Ptolomeus dari Alexanderia seorang ahli bumi Yunani pada abad ke-2 Masehi menuliskan cerita tentang pulau Jawa dengan nama Jabadibur dengan gambaran yang hampir serupa pada epik Hindu Ramayana, Pulau yang sangat kaya, subur dan mengandung emas.
Begitu pula Fa Hien, Gunawarman, Ibnu Batuttah, Marco Polo, bangsa Belanda, petualang Portugis dan ahli perbintangan Arjabhata sepakat mengambarkan Jawa masa lalu sebagai pulau yang kaya dan penuh emas.Hal tersebut wajar karena mereka melihat Jawa sebagai komoditi bukan sesuatu yang romanitis. Padahal roman-roman Javanisme pada tiap sisi dan riwayat lebih menyilaukan dari sebongka emas dan serpihan perak.Pembicaraan tentang Jawa sesungguhnya jauh dari pembicaraan tentang emas dan kesuburan, Jawa pada kejawen menjelaskan manusia Jawa semestinya mengunakan prinsip paparingan Pangeran pada kehidupan ekonomi karena rezaki itu bersifat pininta maka bebathan sedikit banyaknya bukan masalah.
Kejawen meskipun bukan sebuah agama ia adalah kebijakasanaan manusia Jawa yang terkodefikasi dan telah ada semenjak zaman jebunja jauh sebelum Hindu dan Bunda berkuasa. Menjelaskan tentang bagaimana semestinya seoarang Jawa ber-laku kepada dirinya sendiri dan kepada alam. Melalui kejawen kita bisa ketahui bagaimana Jawa menempatkan persaan manusia sebagai unsur yang paling dominan, sesuatu yang sangat romantis.
Penempatan persaan manusia sebagai unsur yang paling dominan itu tersusun secara elegan pada tiap qauli, fi’li dan amali dalam abad berperilaku manusia Jawa. Sekurang lebih itu juga yang dikatakan oleh Mark Woodward dalam buku-bukunya.
Sikap romantis dalam abad berperilaku manusia Jawa membawa mereka kepada pembentukan karya-karya kesusastraan yang sarat akan pesan-pesan moral yang disampaikan secara simbolik. Memang antara romantis dan simbolik itu bukanlah sesuatu yang dapat dipisahkan. Kecenderungan sikap romantis bisa diukur dari pemahaman terhadap hal-hal simbolik. Begitupula dengan jawa yang romantis dan sarat dengan simbolik pada tiap-tiap karyanya.
Bahkan dalam tataran makrokosmos kehidupan manusia Jawa sekalipun hal romantis adalah suatu yang penting. Perjanjian Giyanti antara Pakubuwana III, Pangeran Mangkubumi dan VOC tidak hanya termotivasi oleh pembagian wilayah kekuasaan dan keberlanjutan pengusaan saja. Melaikan juga mengenai pertimbangan rendahnya nilai beli dan nilai kerja yang bisa diberikan oleh masyarakat keapada pengusa akibat dari konflik yang berkepanjangan sehingga disini diperlukanlah pertimbangan yang romantis terkait kemanusiaan demi tetap eksisnya pemasukan para feodalis.
Jawa yang romantis telah dan tetap ada akan tetapi romantis sering kali berujung pada perzinaan.
DALAM era digital yang berkembang pesat, industri ekspedisi menghadapi tantangan dan peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan pertumbuhan bisnis
PILKADA merupakan momentum krusial dalam sistem demokrasi Indonesia. Masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin lokal yang akan mempengaruhi arah dan
Oleh: Mauzun Visioner (Pegiat Literasi) PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur sedang mencuri perhatian publik. Pasalnya, Pilgub kali ini menampilkan tiga figur
FIGUR kyai masih menarik untuk dilibatkan atau terlibat pada kontestasi pilkada 2024. Pernyataan tersebut setidaknya sesuai dengan kondisi proses pilkada