Memang, masalah suksesi (خلافة/Khilafah ) tidak ada hubungannya dengan agama, tetapi isu-isu pemerintahan secara keseluruhan dalam Islam adalah kepentingan seluruh rakyat.
Itu – sesering -Logika dan Sejarah, Mengapa tidak boleh HTI berkuasa? bentuk retorika keras untuk memeras politisi, memalukan intelektual, mengadu domba antar masyarakat dan menarik Perhatian Kandidat Pilpres & Pilkada, agar mendapatkan kemaslahatan. Bahkan ini menjadi terkait dengan banyak fabrikasi fundamental untuk membangun ideologi Islam politik, dengan semua aliran, warna dan nuansa.
Di antara penipuan-penipuan yang paling terkenal adalah penipuan bahwa umat Islam tertinggal setelah meninggalkan sistem kekhalifahan, meninggalkan “aturan Islam” dan mengimpor sistem Barat.
Klaim ini didasarkan pada tiga sudut yang keliru secara logis dan menipu secara politis yaitu: sudut bahwa Muslim yang tertinggal zaman setelah mereka meninggalkan kekhalifahan, sudut bahwa khalifah berarti kekuasaan Islam dalam pemerintahan dan sudut bahwa penghakiman harus didasarkan pada referensi agama Islam khususnya.
Sudut pertama, bahwa umat Islam telah tertinggal zaman karena mereka telah meninggalkan kekhalifahan, dapat muncul seolah-olah itu jelas di tengah-tengah kontroversi sengit. Munculnya hal-hal terkadang dapat menunjukkan bahwa umat Islam berkuasa ketika mereka hidup di bawah panji-panji kekhalifahan Mereka, memperpanjang kekuasaan mereka dari Asia Tenggara ke Timur Jauh. Cukuplah bagi seorang wanita untuk berteriak, WAMU’TASIMAH, maka kuda-kuda penaklukan itu akan berlari dan bangun kembali, tetapi setelah Mustafa Kemal Ataturk (Republik Turki) memutuskan untuk menghapuskan kekhalifahan, situasi masyarakat mayoritas Muslim menjadi lebih buruk.
Persamaan itu tampaknya benar: Setelah orang-orang Muslim di Brigade Khalifah, yang juga Brigade Jihad dilemahkan, itu sudah cukup untuk melepaskan sedikit antusiasme ekstra sampai kita menemukan bahwa persamaan itu jelas salah dan keliru.
Pertama, sejak runtuhnya kekhalifahan dan sampai hari ini, Turki bukanlah negara yang lemah dan lemas, tetapi dalam waktu singkat ia dapat pindah ke negara industri modern. Dan cukup saksi orang dari HTI sendiri yang berlibur ke (Republik Turki ). Kebijakan tanpa musuh yang diinvestasikan oleh pemerintah Partai Keadilan dan pembangunan pada awal masanya adalah, produk dari sekularisme Turki itu sendiri, yang melipat halaman penaklukan Usmani dan mencegah tentara terlibat dalam perang regional baru. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa tentara Turki hari ini kembali ke praktik invasi militer yang kejam secara paralel dengan kualitas sekularisme yang buruk.
Kedua: Indonesia negara mayoritas Muslim terbesar, bukan lagi negara yang lemah, bahkan amat stabil, baik di masa lalu dan di masa kini. bahkan hingga beberapa ratusan tahun, Indonesia masih merupakan negara kepulauan damai, dari suku dan bangsa primitif dan kuno. Berkat nilai-nilai nasional, sekularisme dan prinsip-prinsip konstitusi modern yang didirikan di bawah Presiden Bung Karno, Indonesia telah berhasil teruji secara Internasional di Sektor pembangunan, industry, pertanian, politik modern, sambil menjaga keberagaman agama, budaya dan bahasa.
Ketiga: dunia Islam telah memasuki era Degenerasi berabad-abad sebelum kekhalifahan dihapuskan. Namun kekhalifahan Othmani itu sendiri telah diagnosa oleh dunia Islam bahwa Degenerasi kekhalifahan Othmani menyebabkan penurunan pemikiran, budaya, ilmu pengetahuan dan panggung seni rupa, yang menjelaskan alasan terjadinya perlawanan dari Arab, Kurdi, dan orang-orang Amazigh pendudukan Othmani dari Syam ( Syria ) ke Teluk dan Afrika Utara, dan hampir memberikan kontribusi terhadap runtuhnya Kekaisaran Othmani.
Keempat: Spanyol berhasil memulihkan wilayah Andalusia, dan di saat itu Kekhalifahan Islam masih kokoh. Tetapi ketika kekhalifahan jatuh di timur, Andalusia Spanyol adalah superioritas perkotaan atas semua bagian dunia Muslim.
Sudut kedua, yang merupakan gagasan bahwa ditinggalkannya kekhalifahan berarti meninggalkan kekuasaan Islam, maka aksioma dari Islam Sunni, bahwa khalifah tidak ada dalam teks atau Perintah ALLAH S.W.T maupun Nabi Muhammada S.A.W, tapi itu hanya uji relatif manusia yang dilakukan oleh sahabat Nabi setelah wafatnya Nabi. S.A.W. dan Bukan rahasia bahwa istilah itu sendiri telah disepakati dalam konteks pertimbangan sejarah jangka panjang. Para Muslimin menyebut Abu Bakar sebagai “penerus Rasulullah,” ( خليفة )/KHALIFAH ketika mereka memanggilnya, lalu karena tidak bisa mengatakan “Khalifa Khalifa, Rasulullah,” setelah meninggalnya, maka mereka menyebut Omar bin al-Khattab sebagai (أمير المؤمنين)/Amirulmu’minin. Gelar yang berlangsung hingga periode Ali bin Abi Thalib. Istilah khalifah kemudian kembali dengan Muawiyah menjadi, “Khalifatul Muslimin” dan kemudian yang terakhir sebagai penyangga atap politik yang marak diislamisasikan yaitu “KhalifatullAh”, itu sebuah tanda buruk, yang berlangsung hingga penerus terakhir Bani Otsman pada abad ke-20.
Masalah suksesi ( خلافة/KHILAFAH ) tidak ada hubungannya dengan agama, tetapi isu-isu pemerintahan secara keseluruhan dalam Islam tetap menjadi kepentingan pribadi rakyat.
Poin ketiga adalah bahwa politik harus didasarkan pada otoritas agama Islam misalnya, bahwa partai-partai keagamaan, seperti semua partai lain, memiliki hak untuk menampilkan diri dengan otoritas Islam. Sisa dari partai-partai itu sendiri menawarkan kerangka acuan lainnya (nasional, Marxis, liberal, dll.) Di antara beberapa kasus, beberapa negara Eropa termasuk partai yang menyebut diri mereka sebagai partai Kristen. Apakah diperbolehkan bagi agama-agama lain lalu menjadi haram bagi HTI?
Namun, tuduhan ini benar-benar ditolak. Karena kinerja partai-partai didasarkan pada penghormatan terhadap hukum dan undang-undang yang berlangsung di negara. Program-program partai didasarkan pada pencarian kehidupan yang layak bagi warga negara dan semua rakyat peningkatan layanan sosial lainnya, penyediaan pekerjaan dan perlindungan dana publik. Seperti Partai-partai Islam yang ada di Indonesia: PKB, PPP, PKS dan PAN.
Menyukai ini:
Suka Memuat...