KRISIS demi krisis dalam ekonomi global mengingatkan kita bahwa dunia tidak pernah benar-benar stabil. Perang dagang, konflik geopolitik, pandemi, inflasi, hingga ancaman resesi membuktikan satu hal: bangsa yang tidak kuat fondasi ekonominya akan terus goyah.
Kita tidak bisa lagi bergantung semata pada harga komoditas, konsumsi rumah tangga, atau arus investasi asing untuk bertahan hidup. Dalam kondisi seperti ini, jawaban paling masuk akal dan bermartabat adalah membangun kembali kekuatan dasar kita: industri.
Industrialisasi bukan sekadar pabrik dan produksi massal. Ia adalah otot yang menggerakkan ekonomi, dari penciptaan kerja hingga teknologi. Negara-negara besar yang tangguh menghadapi guncangan global selalu punya sektor industri yang kuat, beragam, dan mandiri.
Indonesia, sayangnya, justru mengalami kemunduran. Kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB turun dari 28 persen di awal 2000-an menjadi di bawah 19 persen pada 2024. Ini bukan sekadar data ekonomi, tapi peringatan bahwa tulang punggung kita mulai keropos.
Industri Substitusi Impor
Reindustrialisasi bukan wacana masa lalu. Ia adalah kebutuhan mutlak. Namun yang kita butuhkan bukan sekadar industrialisasi ala masa lalu yang mengandalkan upah murah dan ekspor bahan mentah, tetapi industrialisasi yang berpijak pada kekuatan domestik dan kemampuan menggantikan barang impor. Di sinilah strategi substitusi impor menjadi penting dan relevan.
Substitusi impor bukan anti-globalisasi. Ini adalah langkah untuk menyeimbangkan struktur ekonomi dan memberi napas bagi produsen dalam negeri. Saat ini, kita terlalu bergantung pada produk asing, dari bahan baku farmasi, alat kesehatan, hingga barang kebutuhan harian. Banyak industri lokal bahkan gagal tumbuh karena kalah bersaing dalam iklim perdagangan yang tidak adil.
Pengembangan substitusi impor bukan tentang menutup diri, melainkan membangun rasa percaya diri. Ini tentang menciptakan nilai tambah di dalam negeri, membuka lapangan kerja, mendorong inovasi, dan mengisi pasar nasional dengan produk buatan kita sendiri. Indonesia punya pasar domestik yang besar. Tetapi jika pasar itu terus didominasi produk luar, maka kesempatan kita menciptakan masa depan akan selalu ditentukan oleh negara lain.
Presiden Prabowo Subianto secara tegas membawa agenda reindustrialisasi ke depan panggung. Hilirisasi bukan hanya tentang mengekspor nikel dalam bentuk olahan. Ia harus menjadi gerakan nasional yang melibatkan pangan, tekstil, elektronik, alat berat, energi, hingga bahan strategis lain yang selama ini kita impor.
Kawasan-kawasan industri seperti KEK Batang, dan rencana pembentukan dana pembangunan nasional seperti Danantara, menunjukkan arah yang benar. Tapi arah saja tidak cukup; perlu nyali, konsistensi, dan keberpihakan nyata.
Menuju Kemandirian Ekonomi
Pemerintah harus segera menyusun peta jalan substitusi impor yang tegas, dengan tenggat waktu dan sektor prioritas yang jelas. Langkah ini harus diikuti kebijakan fiskal yang berpihak: insentif untuk produksi dalam negeri, reformasi pendidikan dan pelatihan vokasi, hingga penataan ulang arsitektur logistik nasional. Jangan ada lagi petani atau produsen kecil kalah oleh produk asing karena sistem yang tak adil.
Reindustrialisasi adalah jalan panjang menuju kemandirian ekonomi. Kita boleh bangga dengan digitalisasi, ekonomi kreatif, dan pertumbuhan konsumsi. Tapi tanpa industri yang kuat dan berpijak di dalam negeri, semua itu rapuh. Tanpa substitusi impor, kita akan terus tergantung. Dan bangsa yang terlalu bergantung, cepat atau lambat akan kehilangan kendali atas nasibnya sendiri.
Saat dunia saling menutup, saat rantai pasok terganggu, Indonesia harus membuka ruang baru dalam dirinya. Ruang yang lahir dari kemampuan untuk memproduksi, mencipta, dan berdikari. Karena hanya dengan membangun kekuatan sendiri, kita bisa berdiri tegak, bukan sekadar bertahan, tapi tumbuh dan melesat dengan harga diri sebagai bangsa yang benar-benar merdeka.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI; Menteri Ketenagakerjaan RI 2014-2019; Wakil Ketua Umum DPP PKB.
Menyukai ini:
Suka Memuat...