Saya prihatin sekali dengan cara Universitas Indonesia (UI) menangani kasus pengusulan Guru Besar saya. Yang paling memprihatinkan adalah UI bahkan berbohong dalam surat tertanggal 3 Agustus 2019 yang berjudul TANGGAPAN UI TERHADAP UNGGAHAN DR. ADE ARMANDO.
Surat ini tampaknya resmi. Penulisnya adalah Kantor Humas dan KIP Universitas Indonesia. Memang tidak ada nama dan tidak ada nama nara hubung. Tapi ketika seorang teman mencek ke pegawai Humas UI, dikatakan bahwa surat itu memang resmi datang dari kantor Humas UI.
Surat UI tersebut dibuat untuk menanggapi tulisan saya di media sosial (1 Agustus) tentang penolakan terhadap pengusulan nama saya sebagai Guru Besar yang diajukan Departemen Ilmu Komunikasi dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI sejak 2016. Tulisan itu saya sebarkan melalui berbagai WA Group dan melalui Facebook/Fanspage saya.
Di Fanspage saya, reach tulisan itu mencapai lebih dari 94 ribu pembaca dengan 27 ribu engagement. Seorang mantan mahasiswi saya berinisiatif membuat petisi di change.org untuk meminta pemerintah meninjau penolakan usulan guru besar saya. Saat tulisan ini saya buat, sudah ada 1810 penanda tangan.
Seperti saya katakan, surat UI ini tampaknya resmi mewakili sikap institusi UI. Dan justru karena ini bersifat resmi, surat ini menjadi sangat memprihatinkan. Surat UI ini memuat sebuah kebohongan. UI menyatakan bahwa: “Dr. Ade Armando TELAH MENANDATANGANI PAKTA INTEGRITAS SIVITAS AKADEMIKA UI PADA TANGGAL 16 MARET 2018, yang antara lain berisi ikrar untuk menjunjung tinggi Kode Etik dan Kode Perilaku Sivitas Akademika yang berlaku di UI dan menjaga martabat UI dengan menjunjung tinggi norma kesusilaan dan berkomunikasi secara santun, menghormati dan berperilaku yang tidak mengganggu kenyamanan orang lain.”
Itu tidak benar! Saya TIDAK PERNAH menandatangani Pakta Integritas Sivitas Akademika. Pada 16 Maret 2018 saya menandatangani PAKTA INTEGRITAS DEWAN GURU BESAR UNIVERSITAS INDONESIA. Jadi bukan Pakta Integritas Sivitas Akademika.
Isi kedua Pakta tersebut sangat berbeda. Dalam Pakta Integritas DGB UI, tidak ada ketentuan bahwa saya akan “menjunjung tinggi norma kesusilaan dan berkomunikasi secara santun, menghormati dan berperilaku yang tidak mengganggu kenyamanan orang lain” (yang termuat dalam Pakta Integritas Sivitas Akademika UI).
Bahkan perlu dijelaskan, yang disebut sebagai PAKTA INTEGRITAS DEWAN GURU BESAR INDONESIA adalah janji yang harus saya penuhi KALAU SAYA SUDAH MASUK DALAM DEWAN GURU BESAR UI. Dalam pakta itu, saya berjanji kalau sebagai guru besar saya melanggar etika, saya bersedia diberhentikan sebagai guru besar. Jadi itu adalah Pakta Integritas yang mengikat saya kalau saya menjadi guru Besar.
Mari kita luruskan dulu: saya tidak pernah menandatangani Pakta Integritas Sivitas Akademika yang dimaksud dalam Surat UI tersebut. Pertanyaannya: kenapa kesalahan terjadi? Disengaja atau tidak disengaja?
Yang jelas, kalau orang membaca surat UI itu sangat mungkin kesan yang terbangun adalah saya adalah orang yang ingkar dari pakta integritas yang sudah saya tandatangani. Isi surat itu seolah ingin mendorong masyarakat untuk menyangka bahwa sayalah yang memang berkhianat atas janji saya.
Sekadar pembanding, dalam Pakta Integritas DGB yang saya tandatangani, saya berjanji akan menjunjung tinggi kejujuran, keadilan, kepercayaan, kemartabatan, tanggung jawab, kebersamaan, keterbukaan, kebebasan akademik dan otonomi keilmuan, serta kepatuhan pada peraturan perundangan yang berlaku. Saya juga berjanji tidak akan melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, plagiarisme ataupun bentuk kecurangan lain yang bertentangan dengan nilai kejujuran, baik disengaja maupun tidak disengaja.
Saya menandatangani Pakta Integritas DGB tersebut karena saya percaya bahwa apa yang termuat di dalamnya memang penting dan harus dijalankan setiap guru besar. Di depan sejumlah guru besar yang menilai saya, saya mengatakan memang seharusnya seorang guru besar yang tidak menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut, sebaiknya diberhentikan saja.
Akan halnya Pakta Integritas Sivitas Akademik yang disebut dalam Surat UI tersebut, isinya sungguh memprihatinkan. Misalnya dalam Pakta Integritas itu terdapat klausul bahwa sivitas akademik UI berjanji “tidak akan mengganggu kenyamanan orang lain”. Ini maksudnya apa?
Terus terang, kalau saya diminta menandatangani Pakta Integritas semacam itu, pasti saya tolak. Implikasinya Pakta itu sangat serius karena bisa membungkam daya kritis sivitas akademika, kebebasan berbicara dan kebebasan akademik. Sebagai contoh: kalau saya secara terbuka mengkritik Rizieq Shihab, itu tentu ‘mengganggu kenyamanan’ Rizeq dan pengikutnya. Apakah saya lantas dilarang mengkritik dia yang menurut saya membahayakan bangsa hanya karena kritik saya akan mengganggu kenyamanan orang lain?
Kembali Ke Soal Surat UI
Surat itu jelas memuat penjelasan salah atau bohong mengenai saya. Surat UI itu juga dengan agak naif mengatakan DGB tidak pernah menolak pengusulan saya sebagai guru besar. Ini tentu saja menggelikan. Rapat DGB UI pada 20 Mei 2018 menyatakan mereka meminta Komite Etik untuk menilai saya. Lantas dalam pertemuan di FISIP UI pada 31 Juli 2019, Ketua Komite Etik menjelaskan di depan sejumlah guru besar dan pimpinan program di FISIP UI bahwa Komite Etik tidak bisa menerima saya sebagai guru besar karena saya dianggap menimbulkan kontroversi dan membelah DGB.
Anggota Komite Etik ada 12 orang. Dan menurut Ketua Komite Etik, nama saya baru akan disetujui menjadi guru besar kalau seluruh (12 orang) anggota Komite Etik bersepakat untuk mengangkat saya sebagai guru besar. Itu penjelasan KETUA KOMITE ETIK DALAM RAPAT RESMI. Bukankah itu berarti penolakan, walau tidak pernah dinyatakan secara resmi sebagai “penolakan”? Saya prihatin dengan surat UI tersebut. Dan sebagai surat resmi, surat UI tersebut jelas mempermalukan UI.
Sebetulnya UI tidak perlu repot-repot membuat sanggahan dan penjelasan berisi kebohongan semacam itu. Saya sebenarnya hanya meminta hal sederhana. Saya meminta Dewan Guru Besar UI bersikap transparan dan akuntabel dalam menjalankan mandatnya. Saya meminta DGB menunjukkan apa yang mereka nilai sebagai tindakan yang membuat saya diragukan etika dan integritasnya sehingga tidak bisa diterima sebagai Guru Besar.
Penjelasan selayaknya disampaikan secara terbuka kepada saya dan kepada rakyat yang membiayai UI. Tanpa ada penjelasan, saya layak menduga bahwa keputusan itu sebenarnya tidak diambil atas landasan yang valid dan objektif. Universitas Indonesia sebagai lembaga pendidikan tinggi terkemuka di Indonesia seharusnya memberi contoh dan teladan yang baik. UI harus transparan, akuntabel, adil dan tidak diskriminatif.
Saya tidak melihat ada satu pun kesulitan bagi DGB untuk menyebut rangkaian ‘dosa’ saya sehingga saya dianggap tidak memiliki etika dan integritas memadai. Sebagai contoh, saya lazim menggunakan kata dungu terhadap kelompok-kelompok dan tokoh-tokoh rasis yang menghina NKRI, menindas non-muslim, menindas gereja, mengeksploitasi perempuan, memperjuangkan khilafah, menghina kaum Tionghoa, dan sebagainya. Apakah itu yang menyebabkan saya dianggap tidak memiliki etika dan integritas?
Kalau memang itu yang dimaksud, apa yang menjadi kendala untuk mengungkapkannya kepada saya dan rakyat Indonesia? Saya sendiri tentu menolak untuk menjadi guru besar kalau untuk itu saya harus berhenti menyerang mereka yang membahayakan bangsa ini. Tapi paling tidak saya dan rakyat tahu apa yang tidak boleh dilakukan seorang guru besar di UI. Jadi yang perlu dilakukan UI sebenarnya sederhana: Jelaskan secara jelas mengapa DGB menganggap saya tidak memenuhi standar ‘etika dan integritas’. Sangat sederhana!
Terakhir, saya minta maaf kalau saya tetap akan mengangkat masalah ini kepada publik. Saya tahu ini mungkin akan membuka mata masyarakat tentang apa yang sesungguhnya terjadi di belakang tembok UI. Tapi saya rasa, saya juga berhak untuk tahu mengapa saya dinilai “tidak beretika dan tidak berintegritas” oleh Dewan Guru Besar. Rakyat pun perlu tahu tentang komitmen UI untuk menjunjung tinggi kebebasan sipil dan hak sipil di Indonesia.
Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI