Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa tahun 2018 ini merupakan tahun politik, penjulukan nama tersebut karena ada 171 daerah di Indonesia yakni 17 Provinsi, 39 Kota, dan 115 Kabupaten, akan melangsungkan ajang pesta demokrasi serentak bernama pilkada guna menentukan manusia pilihan bertahta dikursi kekuasaan sebagai kepala daerah dimasing – masing jabatan sesuai wilayahnya.
Adapun yang tak kalah pentingnya menanti harapan dengan pemilihan pemimpin melalui sistem pemilu ini agar supaya membawa konsekuensi logis merubah keadaan bangsa, memberantas kemiskinan yang sudah lama menjadi penyakit untuk segera disembuhkan, menghilangkan pengangguran yang semakin lama mendera, mensejahterakan masyarakat yang diimpikan seperti tertera dalam sila ke lima pancasila, mementingkan kemaslahatan umum dari pada diri dan kelompoknya, dan menjalankan tugas negara dengan baik dan bijaksana, tentu ini tidak bisa ditolak dan dihindari sebagai ikatan kontrak politik antara si pemilih dan yang dipilih.
Akan tetapi apakah melalui sistem pemilu untuk mengangkat dan menentukan seorang pemimpin dambaanya, akan berdampak nyata dan bersifat logis demi mengejar impian keadilan sosial sebagai tujuan bernegara yang mampu menyelesaikan persoalan bangsa yang tengah dihadapi saat ini? Sepertinya perlu pengkajian ulang dan perumusan secara cermat kalau sistem tersebut diyaqini berbuah manis sekaligus berdampak positif bagi bangsa Indonesia sebagai pangkal dari tatanan pemerintahan demokrasi yang bersaskan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Pemilihan kepala daerah atau pilkada secara langsung oleh rakyat ditanah air mulai berlaku pada tahun 2005 sejak berlakunya UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang kemudian diganti dengan adanya UU No 23 tahun 2014. Sebelumnya dalam menentukan kepala daearah baik di wilayah Profensi, Kota , dan Kabupaten dipilih oleh dewan perkawilan rakyat daerah setempat.
Tentu bukan tanpa alasan mengubah sistem dari pemilihan melaui perwakilan oleh dewan perwakilan rakyat daerah menuju pemilihan langsung oleh rakyat. salah satunya yaitu karena mekanisme melalui perwakilan telah menghilangkan hak pilih rakyat untuk menentukan sendiri pilihannya sebagai masyarakat yang bernaung dibawah atap demokrasi.
Kemudian yang menjadi persoalan menurut hemat penulis adalah pemimpin dipilih untuk menyelesaikan problem kerakyatan yang dihadapinya, bagaimana bisa memilih pemimpin yang memang berkometmen menyesaikan persoalan, sedangkan rakyat sendiri tidak mengerti persoalan apa yang menimpa dirinya.
Oleh sebab itu perlu kesiapan dan kecerdasan rakyat keseluruhan agar pemimpin yang dipilih dapat memenuhi janji politiknya, tidak hanya di diumbarkan menjelang pilkada tapi sering lupa ketika duduk dikursi kekuasaannya. Sebaliknya kalau masyarakat masih belum sanggup dan belum siap memilih memilah dengan baik dan bijaksana berdasarkan integritas, kridibilitas, dan rekam jejaknya, tentu pemilihan secara umum (pemilu) untuk mengangkat nahkoda daerah bukanlah sistem yang memberi kabar gembira yang akan menjadi lentera menerangi kegelapan, melainkan sistem sesat sekaligus menyesatkan yang tak mengerti arah perjalan bangsa ini.
Sistem pemilu dinilai baik kalau otak masyarakatnya baik yang tak mudah terhegemoni oleh pihak yang justru memperdayakan demi memenuhi kepentingannya dan tak goyah oleh syaitan politisi busuk yang semakin lama menipu negara dan menghianati konstistusi yang seolah olah bertindak atas nama rakyat tapi justru menghianati rakyat. Semuanya tidak sedikit kita temui pada relitas di bumi pertiwi dimana pemimpin harus memberi teladan pada yang dipimpinnya, tapi yang ada malah sebaliknya.
Mahalnya Mahar Calon Pemimpin
Menjadi pemimpin memang bukanlah hal yang mudah untuk digapai bagi setiap masyarakat yang menghendaki menjadi orang ternama berkuasa, apalagi bagi mereka yang stratafikasi sosialnya termasuk golongan menengah kebawah sangat naif dan penuh ketidak percayaan untuk berlaga dimedan juang panggung politisi, sekalipun ia memiliki sikap integritas, profesionalitas maupun mendapat kepercayaan masyarakat, kalau tidak memiliki biaya segudang akan menuai rasa percuma.
Uang sudah menjadi keyakinan banyak orang apabila diabaikan sengsara hidupnya, khususnya bagi calon pemimpin yang akan dipilih secara pemilu, dapat dipastikan tidak akan ada masyarakat yang mencoblosnya, karena belenggu jual beli suara sudah melilit ditubuh masyarakat awam kita yang tidak bisa dirahasiakan lagi ditelanjangi dihadapan publik.
Selama pilkada dimasing – masing daerah tersebut diselenggrakan dipilih oleh rakyat yang dinamakan pemilu, maka disanalah kesulitan menentukan calon pemimpin ideal pro rakyat semakin buram dimata masyarakat dan semakin hanyut dalam kebingungan, karena tolak ukur bukan lagi pada diri pemimpin tapi seberapa banyak materi yang ia miliki. Kalau Rene Descartes pernah berkata cogito ergo sum “aku berfikir maka aku ada” maka sebagian masyarakat awam kita berkata “aku dapat uang, maka aku akan mencoblosnya”
Syarat menjadi pemimpin daerah dinegeri yang sistem pemilihannya dengan cara pemilu tidak cukup bertaqwa kepada tuhan yang maha esa saja, tapi juga menghamba kepada tangan pemodal agar dapat bekerja sama dalam administrasi keuangan sebagai bekal untuk naik kontestan pesta perpolilitikan. wakil anggota DPR RI Fahri Hamzah meyakini akan mahalnya biaya berpolitik dipanggung kekuasaan. ia berkata saat di undang di ILC (16/01) bahwa sistem pembiayaan politik memang memaksakan membayar mahar. “Kalau ada yang mengatakan tidak ada, merupakan kebohongan dan kemunafikan yang nyata,”katanya.
Keadaan tersebut merupakan potret dinamika kondisi politik di tanah air ini, selagi pemilihan diserahkan kepada rakyat, maka kebertumpuan utama terhadap uang tidak bisa dihindari bagi mereka yang ingin memimpin. Bisa diperhatikan, selain mencekoki rakyat dengan uang sebagai rayuan agar rakyat memilihnya(baca: money pilitik), belum lagi apabila minta persetujuan partai untuk merekomendasikan hingga pada koalisi antar partai yang barang tentu melibatkan calon kepala daerah sebagai aktornya, sangat mustahil jika tidak mengeluarkan biaya yang tak sedikit.
Selain itu tentu banyak biaya lain pula yang berkaitan dengan bekal ia memimpin. Rupanya pesta pilkada serentak melalui sistem pemilu bukanlah pesta demokrasi yang sebenarnya, tapi pesta antara elite partai dan kaum pemodal. Maka tak heran telah banyak para pemimpin daerah tertangkap tangan KPK yang melanggar hukum dengan cara korupsi uang rakyat, suap menyuap, dan pelanggaran lain yang berkaitan dengan kode etik sosok pemimpin. Kesemuanya dapat dibenarkan jika belum bisa melupakan masa lalunya yang telah mengeluarkan uang banyak agar menjadi pemimpin untuk mengembalikan modal dengan cara tercela dan hina sejenis korupsi.
Telaah Ulang Pemilih Rakyat
Mengambil pemikiran politik Islam bernama Al Mawardi dalam mentelaah mengenai mekanisme pemilihan sosok pemimpin negara, harus memenuhi dua unsur yang disebut Ahlul Ikhtiar dan Ahlul Imamah. Unsur Ikhtiar adalah orang yang berwenang memilih kepala negara, mereka harus memenuhi kualifikasi adil, mengetahui dengan baik kandidat kepala negara dan memiliki wawasan yang luas serta kebijakan, sehingga dapat mempertimbangkan hal – hal yang terbaik buat negara.
Selain Al Mawardi perlu kiranya kita mengutip pendapat Jean Jacque Rousseau pemikir asal Francis, ia mendukung pada demokrasi perwakilan. Menurutnya dalam menentukan kebijakan bukanlah rakyat yang mengatur secara keseluruhan, melainkan perwakilan.
Dari pemikiran kedua tokoh tersebut begitu penting diamati apabila dikontektualisasikan pada pilkada serentak tahun ini melalui sistem Pemilu di wilayah Indonesia tanpa kualifikasi siapa yang berhak memilih dalam menentukan pemimpinnya, akan berakibat fatal dan membawa petaka jika melihat keadaan rakyat kita yang tak mengerti akar persoalan apa yang harus diselesaikan, tak faham siapa sosok calon yang patut dipilih berdasar kualitas, profesionalitas, kredibelitas, dan integritas sebenarnya.
Bukan malah memperbaiki keadaan seiring berubahnya pemimpin yang dipilih melalui pemilu, melainkan semakin memperburuk kalau sistem pemilu secara langsung oleh rakyat masih saja dipelihara dan dipertahankan dimasa saat ini, masa yang sulit menilai baik/buruq, benar/salah, moral/immoral, yang dalam hal ini termasuk kajian post modernisme.
Seiring berkembangnya tekhnologi seperti sekarang ini, alat tekhnologi semacam komputer, televisi, dan hp dengan dilengkapi media sosial sebagai saluran komonikasi terbuka antar manusia tersaji dipermukaan menjadi senjata ampuh dan menjanjikan untuk mengiklankan diri calon pemimpin dihadapan publik melalui berbagai cara menghegemoni dan meyakinkan massa.
Pada masa kecanggihan ini tak mempedulikan penilaian sosok calon pemimpin baik, jujur, pembohong dan penghianat, semuanya diera post modernime beradauk jadi satu. Hanya kesamaran dan kesemuan yang hanyot dalam gelombang politik dalam menentukan dan memantapkan calon pemimpin semakin tak akan jelas arus alirnya. Kalau sistem pemilu secara langsung oleh rakyat masih saja diyaqini melahirkan calon pemimpin baik dan bijaksana yang memiliki kapasitas mempimpin dengan dasar bersikap demi rakyat, bertindak untuk kepentingan rakyat adalah bentuk kesalahan nyata.
Karena rakyat sendiri sebenarnya tidak mengerti persoalan apakah yang tengah dihadapinya, sehingga pesta politik yang mengatasnamakan secara demokratis mengalami kekaburan makna dan kehilangan perspektif sebagaimana demokrasi sesungguhnya. Sekali lagi penulis tekankan, demokrasi baik kalau masyarakatnya baik, sebaliknya kalau tidak, maka pemilihan pemimpin berdasar pemilu secara langsung oleh rakyat kiranya perlu dikaji dan fikir ulang kembali agar pemilihan umum tidak menunjukkan pada arah yang sesat sekaligus menyesatkan.
Menyukai ini:
Suka Memuat...