SERIKATNEWS.COM – Anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Daerah Istimewa Yogyakarta Hilmy Muhammad merespons polemik Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). Menurutnya, akan tidak adil dan fair jika UU Sisdiknas menghilangkan ‘madrasah’.
“Namanya juga masih RUU, jadi justru memberi peluang kepada kita semua segenap komponen masyarakat, khususnya stakeholder pendidikan, untuk memberi masukan, kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikannya sebelum nanti menjadi UU,” kata Hilmy Muhammad dalam keterangan tertulis, Senin 28 Maret 2022.
Gus Hilmy sapaan akrabnya, mengatakan bahwa penyebutan nama Sekolah maupun Madrasah dianggap sama saja. Namun, bila kurikulum madrasah sekarang ini bisa lebih diserap oleh “sekolah”, maka akan lebih baik. Menurutnya, kurikulum Madrasah bahkan lebih menjanjikan.
“Terus terang, struktur kurikulum di madrasah hari ini justru lebih menjanjikan anak memiliki kualifikasi akademik yang dibutuhkan oleh pelajar seusianya, dan juga pengetahuan moral dan keagamaan yang mencukupi. Ini berbeda dengan lulusan SD, SMP, SMA atau SMK yang dirasa sangat kurang dalam hal pendidikan moral dan keagamaannya,” ujarnya.
Menurut Gus Hilmy, masyarakat sangat sulit berharap lulusan jenjang-jenjang sekolah itu bagi yang beragama Islam mampu membaca Alquran dengan baik. Yang mampu membaca Alquran dengan baik justru mereka yang kembali melanjutkan sekolah agama di sore hari, ngaji di masjid atau kursus sendiri.
“Padahal kita punya Pancasila. Sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,” tegasnya.
Selain itu, Gus Hilmy juga mengingatkan kepada Kemendikbud agar memperjelas tujuan penghapusan kata Madrasah agar tidak menimbulkan polemik di masyarakat. Sebab, masyarakat saat ini menafsirkan negatif penghapusan tersebut.
“Apabila semangatnya adalah reunifikasi dua badan penyelenggara pendidikan dalam kerangka penyetaraan perlakuan, pembinaan dan penganggaran, maka itu ide yang bagus dan menarik,” katanya lagi.
Menurutnya, madrasah selama ini sebagai lembaga pendidikan yang kelulusannya dianggap setara dengan SD, SMP dan SMA, tapi masih terasa sekali seperti dianaktirikan. Baik dalam hal pembinaan, penganggaran maupun peluang melanjutkan ke perguruan tinggi.
“Akan tetapi bila semangatnya adalah meninggalkan madrasah semakin terbelakang, maka itu namanya tidak fair dan tidak adil. Dan itu yang justru harus kita lawan. Dan sudah terbukti kan dengan UU Sisdiknas 2003, yang di situ disebut madrasah, akan tetapi perlakuannya sama sekali jauh dari setara,” pungkas Gus Hilmy. (*)