Oleh AHMAD NAWARDI
Spektrum demokrasi di Indonesia telah menginjak pada mode politik yang lebih terbuka dan bebas. Kenyataan ini, tentu saja, memengaruhi berbagai atribut bernegara kita. Buktinya, lahirnya banyak partai politik dalam tatanan demokrasi sebagai keniscayaan yang tak terhindarkan (sine qua non).
Tapi soalnya, pergolakan ide dan perilaku politik begitu rajin mencitrakan aktifitas “di luar batas”. Segala ihwal tentang praksis politik di Indonesia nyaris belum menyentuh soal yang paling fundamental: res publica atau kedaulatan “hati nurani” masyarakat.
Setidaknya, gagasan inilah yang menjadi “episentrum” lahirnya lembaga gerakan politik kerakyatan, Partai Hati Nurani Rakyat ( Partai Hanura). Tahun 2006 menjadi momentum politik anyar dengan dibentuknya partai politik yang bukan sekadar institusional, tetapi juga menyentuh akar etik “manusia politik”. Partai Hanura terus berupaya mendayung pada biduk kesejajaran antara lembaga formil konstitusional dan kedaulatan publik.
Samar-samar, ada kekhawatiran meredupnya legitimasi publik atas partai politik. Krisis legitimasi ini, pada tingkat yang lebih akut, juga akan berimplikasi pada penurunan angka kepercayaan publik kepada institusi partai. Partai politik rupanya belum mampu menjadi sarana agregasi dan penyaluran politik masyarakat. Inilah yang kemudian menjadi landasan latar belakang politis Partai Hanura.
Ada beberapa indikator untuk melihat secara lebih luas kenyataan ini. Pertama, tingginya ketidakpercayaan publik terhadap lembaga perwakilan. Defisit kepercayaan publik terhadap kinerja dan prospek lembaga perwakilan (DPR) setidaknya telah berlangsung lama. Survei Poltacking pada 2015 lalu mencatat tingkat ketidakpuasan pubik terhadap DPR menempati urutan tertinggi, 66, 5 persen.
Kedua, menurunnya angka partisipasi aktif publik dalam setiap agenda politik. Kenyataan menurunnya angka partisipasi pemilu, misalnya, menjadi ukuran riil bahwa masyarakat mulai “emoh” pada soal artikulasi politik. Termasuk juga—seperti disinggung Yudi Latif—merosotnya tingkat kepercayaan dan loyalitas terhadap partai dengan tingginya angka pelarian dukungan (voter turnover).
Ketiga, dan yang paling penting, buruknya indeks persepsi korupsi, terutama di domain politik. Disebutkan, sektor politik menjadi primadona yang dipersepsikan paling korup di Indonesia. Demikian ini bisa dilacak pada Transparency International dalam laporan Global Corruption Barometer 2017.
Bahkan, kejatahan luarbiasa (extra ordinarry crime) ini justru banyak melibatkan elite partai politik dan, tentu saja, legislatif. Berdasakan hasil survei Polling Centre bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2017, partai politik dan legislatif adalah dua lembaga yang memiliki tingkat kepercayaan paling rendah, terutama soal agenda berantas kasus rasuah.
Data survei itu menyebut sekitar 32 persen aktor yang terlibat korupsi adalah politisi, yakni sekitar 78 kepala daerah dan 134 anggota legislatif daerah dan pusat. Data ini, dalam hemat saya, bukan sekadar kalkulasi angka mati, tetapi ia juga sebagai bukti bahwa ada yang “rusak” di dalam sistem tubuh partai. Rentetan kasus korupsi politik yang menjerat elit partai adalah ketidaksesuaian antara surplus partai politik dan defisit kredibiltas.
Pada wilayah inilah, Partai Hanura kemudian hendak menunjukkan akuntabilitas dan kredibiltasnya. Partai Hanura mencoba untuk mrespon persoalan-persoalan di atas melalui agenda politik dan sosial masyarakat sebagai basis penguatan “nalar politik” partai.
Menang untuk Merangkul
Partai Hanura sejak berdirinya memiliki prinsip dasar polity, yakni kebaikan, keutamaan, keadaban, kebebasan, dan keadilan. Partai ini mencoba untuk menerjemahkan setiap keluh-aspirasi nurani masyarakat ke dalam struktur politik kebangsaan. Partai Hanura memang tidak secara fluktuatif tiba-tiba besar, tetapi dengan bertahap dan melalui pematangan ide politik, Partai Hanura hadir sebagai pilar dan infrastruktur demokrasi kita.
Partai Hanura berusahan menempatkan semangat demokrasi keindonesiaan berbaris sejajar dengan arah fundamental dari cita-cita nasional yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Inilah menurut saya “politik ideologi” yang hendak disampaikan Partai Hanura kepada publik luas.
Pada ranah praksis, Partai Hanura berusaha memperbaiki degradasi politik di Tanah Air dengan, salah satunya, menempatkan setiap aktifitas dan agenda politik sebagai medium tukar gagasan kebajikan, perjuangan aspirasi nurani masyarakat, dan akuntabilitas, bukan sekadar sebagai arena kedangkalan berpikir, transaksi kepentingan pragmatis, korupsi, dan kebohongan publik.
Setidaknya, hal itulah yang terus menjadi concern Partai Hanura dari sejak lahir hingga sekarang. Kosistensi ini akan terus dirawat malalui penyegaran kaderasisasi dan pelayanan aspirasi publik. Sehingga, konotasi peyoratif tentang partai politik oleh masyarakat sedikit demi sedikit luntur menjadi legitimasi dan kepercayaan publik. Bagaimanapun, hal ini penting untuk menjaga keseimbangan kehidupan berbangsa yang adil dan sejahtera.
Oleh karena itu, usia 11 tahun Partai Hanura bukan saja mewedarkan angka waktu belaka, tetapi tentu menyimpan momentum dan prospek lembaga partai. Setidaknya, beberapa hal berikut menjadi “kronik politik” bukti kebangkitan Partai Hanura.
Pertama, kredibiltas pemimpin politik partai. Disadari atau tidak, setelah terpilih aklamasi dalam Munaslub Partai Hanura pada 21 Desember 2016 lalu, Oesman Sapta Odang (OSO) yang menggantikan Jenderal TNI Purn Wiranto terus bergerak cepat melakukan agenda konsolidasi, mengatur strategi, menguatkan struktur organisasi, sistem kelembagaan, dan menajamen skill kader partai.
Kecerdasan politik OSO dituangkan ke dalam prinsip etos 5-S (strategy, structure, skill, syistem, speed, dan target). Prinsip ini memang manjur dan terbukti. Sejak kepemimpinan OSO, kepengurusan tingkat kecamatan meningkat 100 persen dari sekitar 41 persen pada Desember 2016 menjadi 83 persen pada Juli 2017. Target 100 persen di tingkat desa tidak akan mustahil tergapai dalam waktu dekat.
Usaha OSO untuk mencapai target tiga atau empat besar dengan perolehan 81 kursi di DPR pada Pemilu 2019 setidaknya menjadi langkah segar dan prospektif partai. Namun begitu, langkah ini dilakukan dengan dasar dan pertimbangan untuk membawa aspirasi rakyat, terutama di daerah, sebagaimana dilakukan OSO sepanjang karir politik sejak 1999.
Kedua, masuknya barisan senator. Bila dicermati, OSO effect juga berpengaruh di DPD, setidaknya dengan bergabungnya beberapa senator ke Partai Hanura dengan sukarela. Hal ini menjadi keuntungan bagi Partai Hanura untuk makin menjaga soliditas kader dari berbagai latar belakang dan disiplin. Posisi senator, selain memang sebagai belancing syistem lembaga parlemen kita, ia juga sebagai akomodasi poitik untuk menyatukan aspirasi daerah.
Ketiga, Partai Hanura tercatat sebagai partai bersih. Partai Hanura memang sepi dari isu kasus asusila seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Meski Partai Hanura hadir sebagai “kasta tengah”, tetapi kualitas dan elektabilitas partai ini lebih besar karena memang sangat jarang disandung kasus politik. Inilah, seperti disebutkan di atas, kesejajaran antara lembaga formil konstitusional dan kedaulatan publik.
Itulah beberapa hal yang menjadi point plus Partai Hanura. Setidaknya, Hari Ulang Tahun (HUT) Partai Hanura ke-11 ditandai dengan capaian-capaian gemilang untuk partai secara partikular, dan untuk rakyat secara universal. Antonio Gramsci suatu kali berujar, “Sebuah partai yang ingin memimpin masyarakat, harus sudah menjadi pemimpin sebelum berkuasa”. Apa yang dimaksudkan Gramsci setali tiga uang dengan prinsip Partai Hanura: menang untuk merangkul.
Selamat HUT Partai Hanura Ke-11
*Penulis Adalah Anggota DPD RI; Ketua DPP Bidang Pertanian Partai Hanura
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...