Oleh: Syauqi
Apa yang ada di benak sekalian pembaca yang budiman ketika muncul kata Setnov? Ya, Setya Novanto yang lebih dikenal dengan Setnov akhir-akhir ini menjadi buah bibir dimana-mana. Betapa tidak, dalam posisinya sebagai seorang Ketua DPR RI dan juga tersangka kasus korupsi e-KTP oleh KPK, beliau memilih bertahan dan tidak menghadiri panggilan yang dilakukan oleh KPK guna penyelidikan lebih lanjut terhadap dirinya. Yang lebih menggemaskan, beliau Setnov melalui kuasa hukumnya Fredrich Yunadi malah mengajukan permohonan uji materi UU KPK ke MK, yaitu dua pasal dalam UU KPK. Kedua pasal tersebut adalah, Pasal 12 dan Pasal 46 ayat 1 dan 2.
Di samping itu juga, melalui kuasa hukumnya, karena posisi Setnov sebagai Ketua DPR RI tentunya mempunyai Hak Imunitas sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 224 ayat (1) UU Nomor 17/2014 yang berbunyi:
(1) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR atau pun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
Namun yang dimaksud oleh kuasa hukumnya Setnov, Hak Imunitas seolah mencakup keseluruhan atau kekebalan hukum yang sekebal-kebalnya, padahal yang dimaksud Hak Imunitas itu hanya sebatas tugas dan wewenang yang sesuai dengan perannya sebagai Ketua DPR RI. Adapun untuk korupsi yang masuk ke ranah Tindak Pidana Khusus, Hak Imunitas untuk anggota dewan tidak akan berlaku.
******
Henry Campbell Black dalam kamus hukum “Black’s Law Dictionary” mengatakan bahwa korupsi adalah:
“Suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk membeberkan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain”.
Korupsi di Indonesia sangat melawan hukum, sebagaimana tercermin dalam peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang berbunyi:
“Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.
Mengacu pada hal-hal yang dijabarkan di atas, tentunya banyak yang berpikir bahwa tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Setnov harus disikapi sebagaimana mestinya oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) sebagai alat kelengkapan DPR RI yang mempunyai tujuan untuk menegakkan dan menjaga marwah DPR sebagai wakil rakyat. Sebab kalau diperhatikan, MKD mempunyai peran yang sangat signifikan untuk mendesak Setnov menghadiri panggilan KPK guna penyelidikan lebih lanjut. Dan memang sudah semestinya apabila Setnov tidak merasa bersalah, panggilan KPK harus dihadiri, dan di sana lah nanti dirinya membuktikan bahwa pihaknya tidak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan tindak pidana korupsi e-KTP. Selamat berjuang Setnov!
*Penulis konsen dalam Bidang Studi Agama-Agama.
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...