SERIKATNEWS.COM – Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK), UIN Sunan Kalijaga menggelar acara bertajuk “Visiting Lecture”, pada Selasa (2/11/2021). Acara ini menghadirkan Samia Kotele sebagai narasumber utama dari The Lyon Institute of East Asian Studies, École Normale Supérieure, Prancis.
Acara dimoderatori oleh Hamdan Daulay, Ketua Magister Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam. Diawali dengan sambutan yang disampaikan oleh Pajar Hatma Indra Jaya, Wakil Dekan III menggantikan Marhumah, Dekan FDK yang berhalangan hadir.
Walaupun berhalangan hadir, Marhumah menyampaikan bahwa acara yang digelar perdana secara resmi oleh Fakultas Dakwah dan Komunikasi ini memiliki banyak manfaat. Setidaknya, ia menyebutkan ada tiga manfaat penyelenggaraan acara visiting lecture ini, yakni sebagai sarana studi komparatif, membuka wawasan untuk mengetahui bagaimana model-model dakwah pada negara minoritas dan mayoritas, serta mengenalkan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga ke perguruan yang ada di luar negeri.
Marhumah juga berharap bahwa acara Visiting Lecture bisa terus terlaksana setiap tahunnya. Dia pun berharap agar hadirin yang mengikuti acara tersebut dapat mengambil pelajaran berharga. “Saya mengharapkan bahwa, ada yang namanya lesson learn, ada hikmah pembelajaran yang dapat diambil dari acara tersebut,” jelasnya saat diwawancara melalui telepon pada Kamis, (4/11/2021).
Dalam acara seminar yang dilakukan secara online ini, Samia menyampaikan materi yang bertemakan “Trend Dakwah di Eropa”. Namun, dalam seminar yang dilaksanakan melalui Zoom itu, Samia menjelaskan trend dakwah yang lebih spesifik yakni trend dakwah di Prancis. Karena menurutnya, trend dakwah Eropa terlalu luas untuk dibahas.
“Menurut saya, untuk memahami tren dakwah di Prancis di masa sekarang, kita harus kembali ke sejarah dan konteks masyarakat muslim di Prancis,” tuturnya.
Samia kemudian mulai menjelaskan sejarah masyarakat muslim di Prancis pada tahun 1950-an. Pada masa itu, Eropa membutuhkan banyak tentara pada perang dunia sehingga memanggil beberapa laki-laki muda dari Tunisia, Maroko, Jazair, dan Senegal untuk menjadi tentara perang dunia. Setelah perang dunia berakhir, beberapa imigran masih menetap di Eropa untuk membangun kembali Eropa yang hancur akibat perang.
Samia memaparkan bahwa pemerintah Prancis memandang masyarakat imigran tersebut, bukan sebagai warga negara Islam Prancis, tetapi hanyalah masyarakat koloni dari Tunisia, Maroko, Aljazair, dan Senegal walaupun telah berkontribusi dalam perang dan memilih menetap.
Pendatang baru yang datang ke Eropa pun menganggap perjalanan mereka hanyalah misi ekonomi jangka pendek. Sehingga mereka tidak membangun organisasi sosial, organisasi kultural, atau institusi apa pun.
“Mereka di sini hanya untuk tujuan finansial, untuk bisa menghasilkan lebih banyak uang,” paparnya. Sehingga masa itu mendapat sebutan “The age of under the ground”, karena mereka tidak melakukan hal yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan ibadah mereka memberikan tanggung jawab pelaksanaan ibadah kepada istri mereka yang tetap tinggal di negara asal mereka. Namun, mereka tetap menjauhi larangan dalam agama seperti meminum alkohol atau memakan daging babi.
Pada tahun 1975, para imigran diperbolehkan oleh pemerintah Prancis membawa keluarganya untuk tinggal di Prancis. “Jadi, mereka yang bekerja pada waktu itu bisa menjadi warga negara Prancis dan memiliki dua passport,” jelasnya. Hal itu membuat umat muslim memiliki rencana jangka panjang untuk menetap di Prancis. Sehingga pada saat itu, umat muslim di Prancis mulai memikirkan cara untuk mengembangkan tempat edukasi dan sosialisasi untuk keturunan mereka.
Pada tahun 1984, masyarakat muslim imigran mulai merasa jati dirinya adalah warga Prancis, sehingga pemerintah pun melihat para imigran bukan lagi sebagai imigran, tetapi warga muslim Prancis. Sehingga umat muslim Prancis membuat persatuan umat muslim, dan dakwah di Prancis dimulai dari terbentuknya persatuan tersebut. Persatuan umat muslim kemudian turut menggunakan strategi dakwah untuk menyebarkan Islam.
“Strategi dakwahnya stop bicara mulai bergerak. Berdakwah dengan melakukan kegiatan sosial yang baik, itu yang pertama. Strategi yang kedua adalah mengukuhkan masyarakat muslim sendiri dengan non-muslim untuk berdialog. Jadi, alam beberapa hari dalam sebulan masjid itu terbuka untuk semuanya yang mau datang ke masjid dan bisa datang ke masjidnya. Sehingga, volunteer atau relawan masjid tersebut bisa menjelaskan apa itu Islam,” terang Samia dalam acara Visiting Lecture.
Menyukai ini:
Suka Memuat...