Jalanan Arequipa hening bersama penjaga museum, Felipe Machacca. Museum Mario Vargas Llosa di Peru, Amerika Latin sedang tutup lima tahun yang lalu. Negara bekas jajahan Spanyol itu memperingati Hari Nasional Spanyol.
Saya rindu Peru dan sejarahnya. Hutan Amazon penyangga dunia kaya keanekaragaman hayati begitu menawan. Lima tahun lalu saya mampir ke Peru dengan perasaan bahagia.
Saya jatuh cinta dengan pengarang Amerika Latin, satu di antaranya Mario Vargas Llosa. Dia meraih Nobel Sastra tahun 2010. Persahabatannya yang unik dengan Nobelis sejawatnya asal Kolombia Gabriel Garcia Marquez membuat saya tertarik. Mereka berdebat keras soal ideologi dan politik.
Sebetulnya waktu ke Peru saya ingin blusukan, mandi di sungai-sungai Amazon, melihat burung-burung cantik dan kehidupan belantara Amazon seperti di film animasi Rio. Tapi, apa daya saya belum sempat mampir ke Amazon.
Tak apalah, saya cukup senang bisa masuk ke Museum Mario Vargas Llosa di Provinsi Arequipa yang tutup hari itu dengan cara membujuk penjaganya, tepatnya sedikit memelas.
Kepada Felipe saya bilang datang dari Indonesia yang sangat jauh jaraknya dari Arequipa. Hampir dua hari perjalanan saya lalui melalui pesawat. “Tolonglah saya Felipe, ini kesempatan berharga,” kata saya merengek. Tentu saja saya dibantu warga negara Indonesia yang bekerja di Arequipa, Mas Anto Kadyanto untuk berbicara dengan Felipe dalam Bahasa Spanyol.
Gambaran tentang hutan Amazon dan isinya saya temukan ketika membaca Sang Pengoceh, novel Llosa. Judul aslinya El hablador yang ditulis pada 1987.
Dia memulai cerita dari sang narator yang berkunjung ke sebuah galeri di Jalan Santa Margherita, Peru. Mata narator terbelalak saat melihat pameran foto yang menyuguhkan suasana belantara Peru. Sungai-sungai lebar, pohon-pohon besar, sampan-sampan ringkih, gubuk-gubuk rapuh yang didirikan di atas tiang pancang. Juga kerumunan lelaki dan perempuan yang telanjang sampai ke pinggang dan berpulas cat, yang menatap tanpa berkedip dalam cetakan mengkilap.
Foto-foto itu diambil dari perjalanan dua pekan di Amazon, kawasan Cusco dan Madre de Dios di timur Peru. Fotografer menggambarkan keseharian hidup sebuah suku terpencil yang tak sampai sekian tahun tinggal dalam unit satu atau dua keluarga. Machiguenga, nama suku itu.
Foto bicara tentang orang-orang Machiguenga yang membidikkan tempuling dari pinggir kali, menarik busur untuk memburu babi liar, memanen ubi kayu di petak-petak lahan kecil. Sekelompok perempuan bersimpuh merenda tikar dan keranjang, membuat hiasan kepala,menautkan bulu-bulu burung beo dan kastuari berwarna cerah ke gelang-gelang kayu.
Cerita selanjutnya tentang Saul Zuratas, sahabat karib narator. Saul karakter yang unik. Dia punya tompel gelap yang menutupi seluruh sisi kanan wajahnya. Saul digambarkan sebagai laki-laki jelek. Orang memanggilnya Mascarita atau muka topeng. Dia lahir dari keluarga Yahudi.
Orang-orang menganggap remeh Saul karena mukanya yang jelek. “Kau tak boleh masuk monster. Dengan tampang seperti itu kau mestinya dijauhkan dari jalanan. Kau menakuti orang-orang,” kata seorang pemabuk.
Saul tinggal di rumah yang sempit, penuh perabot kuno, dan punya seekor beo yang cerewet yang dia namai Kafkais. Ah Saul mengingatkan pada Metamorfosis karya Kafka dengan Gregor Samsa-nya, si serangga raksasa yang malang, terbuang, dan tersingkir.
Saul kuliah di Jurusan Etnologi. Dia menjelajahi belantara Amazon dan menolak segala bentuk eksploitasi komunitas kecil Amazon yang marjinal atas nama modernitas. Ia melihat kehancuran yang dihadirkan orang-orang beradab di hutan.
Proyek-proyek atas nama modernitas yang merusak hutan. Perilaku manusia modern yang jauh berbeda dari cara orang-orang Machiguenga yang hidup harmonis dengan dunia alam. Industrialisasi datang: kilang-kilang minyak misalnya.
Itu seperti saat mereka diserbu pasukan Inca, misionaris, penjelajah Spanyol, cukong-cukong karet, pencari emas dan imigran abad ke-20.
Orang Machiuenga yang dihancurkan atas nama modernitas itu kemudian bertahan dengan cara berdiaspora. Terus berjalan seperti mitos-mitos yang melingkupi kehidupan mereka.
Llosa memotret benturan modernitas dan pertahanan hidup masyarakat adat. Juga berkisah tentang bagaimana menjadi minoritas, paria, dan orang-orang yang kalah.
Novel itu mengingatkan saya pada kondisi hutan-hutan di Indonesia yang rusak. Hutan di Kalimantan, Papua, Sumatera dieksploitasi sedemikan rupa untuk berbagai macam proyek, misalnya sawit. Hutan hancur, biodiversitas hilang.
Karya-karya Mario Vargas banyak berkisah tentang struktur kekuasaan dan perlawanan individu. Ia pun memasukkan unsur sejarah, misteri pembunuhan, politik hingga komedi. Beberapa novel Mario Vargas: The Time of the Hero, The Green House, Conversation in the Catedral, dan Aunt Julia and the Scriptwriter.
Dia sangat populer di kalangan warga Peru. Sopir, pegawai hotel hingga pemandu wisata mengenal Mario Vargas dengan baik. Saya bertanya kepada Ronald, sopir taksi yang tinggal di Arequipa di sepanjang perjalanan dari Bandara Arequipa menuju penginapan.
Ronald mengenal Mario Vargas sebagai orang yang menghargai hak individu. Ia tahu Mario Vargas punya sejumlah karya novel yang bagus. “Mario Vargas penulis terbaik dan memenangi Nobel,” kata Ronald.
Sopir taksi asal Lima, Peru, Hwang mengenal kehidupan Vargas Llosa. Menurut dia, Mario Vargas adalah penulis sekaligus politikus yang berani mengkritik otoritarianisme. Tahun 1990, Mario Vargas Llosa pernah bersaing dengan Presiden Peru Alberto Fujimori yang kini dipenjara karena melakukan kejahatan hak asasi manusia dan korup. Tapi, Mario Vargas Llosa pada persaingan pencalonan presiden itu kalah.
Aktif menulis di Tempo, AJI Yogyakarta, Vice, dan ragam isu lainnya. Meliput pemilu di Myanmar (2015), Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations Framework Convention on Climate Change) di Peru, Amerika Latin (2014).