SEJAK dulu, fenomena dinasti politik sudah menjadi perdebatan, dan hampir terjadi di semua negara dengan sistem demokrasi. Bahkan, di Amerika Serikat, negara yang mengaku sebagai negara paling demokratis di dunia, saat ini presidennya mendorong anaknya maju untuk terlibat banyak dalam politik negara. Sementara di Indonesia, pada masa Orde Baru, politik dinasti mencolok di tingkat nasional. Dan, ketika rezim Soeharto runtuh, politik dinasti semakin subur, tapi di tingkat lokal. Hal ini dimulai ketika Pilkada langsung diberlakukan pada 2005.
Berbicara tentang aksentuasi budaya politik dalam membahas dinasti, sebenarnya sudah dilakukan dalam berbagai sudut pandang seperti halnya neopatrimonialisme, klan politik, dan predator politik. Pendekatan neopatrimonialisme sendiri digunakan oleh Haris dan Zuhro. Menurut perspektif ini, dinasti politik merupakan ekses negatif dari otonomi daerah yang menjadikan demokrasi terbajak (hijacked democracy) oleh sirkulasi hubungan inti genealogi, berdasarkan relasi kekeluargaan maupun di luar garis genealogis yang memiliki kepentingan terhadap pelanggengan kekuasaan famili (keluarga). Hal inilah yang kemudian memicu kalangan kerabat menjadi elite sebagai kata kunci pemahaman dinasti dalam perspektif ini.
Dinasti politik sebagai elite tunggal diartikan hanya satu kelompok elite yang menguasai jalannya politik dan pemerintahan. Dinasti politik dalam tipologi elite ini bentuknya prismatik: dinasti politik bertindak sebagai elite pemerintah (governing elite) yang memiliki hubungan patronase dengan berbagai pihak, terutama tokoh informal yang memiliki pengaruh sosio-politik maupun sosio-kultural dalam masyarakat (non-governing elite), dan juga masyarakat (non-elite). Adapun patronase tersebut diwujudkan dengan cara mengunci pos-pos penting dalam pemerintahan dan masyarakat oleh orang-orang terdekat. Hal ini dilakukan sebagai upaya meredam demonstrasi masyarakat karena sadar bahwa jumlah elite tunggal ini sebenarnya lebih sedikit sehingga cara itu dilakukan untuk mengefektifkan kekuasaan.
Sedangkan makna elite pluralis lebih dinamis dibandingkan dengan elite tunggal yang sangat statis. Elite pluralis diartikan sebagai jejaring antar elite dalam konteks berbagi kekuasaan dalam ekonomi dan politik. Hal ini sekaligus juga sebagai koreksi atas elite tungal yang jumlahnya kecil sehingga rawan terjadinya pergolakan kemasyarakatan. Monopoli dengan mengunci pos jabatan politik formal dalam pandangan elite pluralis tidaklah tepat dalam menghadapi dinamika masyarakat. Akan lebih baik jika logika elite sendiri dijalankan dalam kerangka oligopoli. Artinya, kontrol atas sumber kekuasaan tetap dijalankan namun juga mengundang aktor lain untuk masuk dalam jejaring elite tersebut.
Adapun pemahamanan dinasti politik sebagai bentuk politik keluarga (political clan) digunakan Kreuzer (2005) dan Cesar (2013). Dinasti politik muncul sebagai ekses dari warisan feodalisme yang masih menancap kuat di masyarakat. Feodalisme yang dimaskudkan bukan hanya penguasaan sumber daya ekonomi saja, tapi juga terbentuknya jejaring loyalitas dalam masyarakat dengan melibatkan para tokoh informal. Tokoh informal tersebut pada umumnya memiliki massa besar yang digunakan untuk menopang kekuasaan keluarga.
Mutualisme tersebut dibangun atas mekanisme pertukaran kepentingan, yakni tokoh informal mendapatkan aksebilitas terhadap pembuatan kebijakan publik, sedangkan keluarga bisa mengikat loyalitas pemilih melalui pengaruh tokoh informal. Seperti yang terjadi di Filipina di mana dinasti politik muncul karena sistem institusionalisasi politik maupun penegakan hukum yang lemah karena kooptasi kekuatan klan politik. Sementara kajian dinasti politik sebagai bentuk praktik politik predator merupakan pengembangan tesis Migdal (1988) mengenai local strongman atau Sidel (2005) tentang local bossism. Studi pendekatan ini dilakukan oleh Asako (2010) dan McCoy (1994) yang menganalisis tumbuhnya dinasti politik justru terjadi karena adanya kolusi bisnis-politik di tingkat lokal. Dalam hal ini, jejaring keluarga telah menguasai berbagai proyek pembangunan daerah, yang kemudian dibagi-bagikan kepada kroni-kroninya.
Dinasti politik berperan sebagai patron dalam menjaga stabilitas kolusi tersebut dengan menempatkan sanak familinya ke dalam jajaran perusahaan maupun pemerintahan. Karena itu, praktik selalu dilakukan oleh jejaring elite keluarga. Perspektif dinasti politik sebagai bentuk kartel local strongman dan local bossism yang meneliti tentang adanya pengaruh seorang elite yang secara individual membangun hubungan patrimonialistik dalam masyarakat maupun negara. Dalam hal ini, dinasti politik merupakan bentuk kolektif dari patronase elite dalam wujud kolektif yang didasarkan pada hubungan keluarga (famili), etnisitas, maupun hubungan darah lainnya, yang intinya memunculkan monarki dalam demokrasi di atas lokal.
Referensi:
Cranston, Bryan T. Political Dynasties in A Democracy: Why Political Families Exist and Persist in the United States of America. This paper has been prepared for presentation at the 24th World Congres of Political Science. Poznan, Poland, 23-28 July 2016.
Djati, Wasisto Raharjo. 2013. Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi: Dinasti Politik di Aras Lokal. Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol. 18, No. 2, Juli.
Djohan, H. Djohermansyah. 2016. Pembangunan Politik Indonesia: Konsep Dasar dan Teori Politik Dinasti. Jakarta: IPDN.
Haris, Syamsudin. 2007. Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Zuhro, Siti et al. 2010. Demokrasi Lokal. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Pengelola arsipprosamadura.net