Wilayah Minangkabau dengan Gunung Merapi mencorong di tengahnya, di sekitar tepinya merupakan lembah dataran tinggi berbentuk mangkuk yang diari oleh sungai pegunungan dan tertutup tanah hitam yang subur. Tanahnya jauh lebih bersahabat untuk pertanian dan hunian manusia daripada daerah berawa di pantai timur atau pantai barat yang selalu diguyur derasnya hujan Muson. Kerucut gunung merapi yang tinggi, merupakan titik paling anggun dalam pemandangan alam Minangkabau.
Kampung halaman klasik orang Minangkabau, sebuah lembah dataran tinggi di bagian tengah Pulau Sumatera. Di kedua sisi dilalui khatulistiwa. Lembah-lembah dataran tinggi ini memberikan iklim nyaman bagi manusia. Sederas apapun hujan yang menerpa lembah-lembah ini, dikeringkan dengan cepat oleh adanya banyak sungai. Beberapa diantaranya memberikan jalan untuk memasuki daerah pegunungan. Beberapa lainnya mengalir deras ke arah barat menerjang dinding gunung, membentuk ngarai dan tebing lembah-lembah di dataran tinggi.
Di sepanjang bukit barisan tidak ada lembah pegunungan yang lebih subur atau lebih mudah terjangkau daripada daerah di kedua sisi khatulistiwa ini, daerah yang menjadi kampung halaman orang-orang Minangkabau. Hawanya yang menyenangkan, tanahnya subur, sungai-sungai pegunungan seperti jaringan darah, mengairi sawah, komunikasi dengan masyarakat dataran atas lain yang lancar berkat kemudahan bergerak ke arah utara-barat dan selatan-timur di sepanjang palung, semuanya ini selama berabad-abad telah menjadikan daerah ini tempat pemukiman yang paling disukai di bumi Sumatra.
Baca Juga: Menimbang kembali Madilog
Kota tua yang termahsyur dengan tarekatnya sejak dulu. Pada kira-kira tahun 1784, seorang syeikh yang ternama menjadi kepala surau syattariyah di kota tua. Dia adalah Tuanku nan Tua, seorang guru yang istimewa yang telah menarik ribuan murid ke kota tua dan ke surau-surau syattariyah lain di desa-desa sekitarnya. Surau-surau ini sejak dulu membaur dengan damai dalam panorama agraria. Mereka tidak merupakan tantangan bagi masyarakat luas dan sebelum terjadi kebangkitan perdagangan, kebanyakan ajaran mereka berkisar pada ilmu hakikat, pengetahuan mistik yang harus dimiliki oleh yang mencari Allah. Tuanku Nan Tua sendiri sepenuhnya mencari jalan menuju Allah ini.
Berkonsentrasi memikirkan hal-hal dunia lain merupakan aspek ajaran yang lenyap bersamaan dengan pesatnya pertumbuhan perdagangan hasil pertanian di wilayah itu. Tidak ada larangan bagi murid-murid surau, atau gurunya, untuk ikut terlibat dalam perdagangan ini, bahkan tuanku nan tua pribadi juga menjadi kaya sebagai hasil keikutsertaannya dalam perdagangan. Akan tetapi, keterlibatan semacam ini mendorong timbulnya perhatian baru di antara guru-guru surau mengenai peraturan Islam dalam pelaksanaan usaha-usaha dagang yang berhasil.
Seorang Belanda yang mengunjungi pasar di Payakumbuh pada tahun 1833 mengatakan: ketertiban yang terdapat di sini dan dimana-mana di tanah Padri memang mencolok. Di pasar tidak terdengar pertengkaran. Masing-masing menanyakan harga dan membayarnya kalau sesuai dengan keinginan mereka, tanpa tawar-menawar.
Memasuki daerah ini, kita akan terkesan oleh pakaian penduduknya, yang sama sekali bukan pakaian Melayu lagi, karena semua sekarang berpakaian menurut adat orang Puti/Padri, yaitu putih atau biru, dengan serban dan membiarkan janggutnya tumbuh, sesuai dengan peraturan Tuanku Pasaman, pemimpin agama. Karena tidak biasa memakai serban, dan pada dasarnya memang tidak berjanggut, orang-orang yang malang ini tampak menyedihkan dalam pakaiannya yang baru. Para wanitanya, yang juga memakai kain putih atau biru, juga tidak tampak menarik dalam pakaian mereka. kebanyakan dari mereka menutupi kepalanya dengan kerudung yang hanya terbuka pada bagian mata dan hidungnya…
Teknik Eropa melemahkan lawan yang digunakan untuk mengalahkan Padri di Bonjol digunakan pasukan Belanda bisa mendekati tembok benteng yang kuat bagaimanapun dan menjebolnya dan desa itu diserbu. Sistem persenjataan Belanda dilengkapi dengan yang lebih baru.
Setelah runtuhnya Revolusi Minangkabau di bagian tengah dataran tinggi, Gubernur Jendral Van Den Bosch tiba di Padang dengan niat menyelesaikan masa depan Minangkabau untuk tahun-tahun mendatang. Kesimpulan yang ditarik Van Den Bosch mengenai situasi Minangkabau sangat penting karena bulan Mei 1834 hanya beberapa bulan setelah ia meletakkan jabatan sebagai Gubernur Jendral dan kembali ke negerinya, ia diangkat menjadi Menteri Daerah Jajahan (Minister van kolonien). Administrasi berikutnya di Padang tahu pasti bahwa mereka harus mengikuti petunjuknya dan sampai Van Den Bosch pensiun bulan desember 1839 ia sangat berperan dalam menentukan nasib Minangkabau dan penduduknya.
Pada awal tahun 1840-an dengan inisiatif pribadi seorang pejabat belanda, beberapa desa memutuskan untuk mendirikan sekolah-sekolah sekuler yang secara khusus tidak akan memasukkan agama sebagai mata pelajaran dan yang akan diatur dan dibiayai oleh mereka sendiri. Sejak permulaan Belanda campur tangan dalam sekolah ini.
Pada tahun 1846, bahkan sebelum beroperasinya sistem gudang, sudah ada 11 sekolah seperti ini, lima terdapat di kota-kota kantor pusat pasar, di pusat-pusat gudang yang penting untuk distrik kopi daerah pegunungan, di Bonjol, Puar datar dekat Suliki, Maninjau, Sungai Puar di lereng Merapi, Singkarak, dan Buo.
Mata pelajaran yang diajarkan adalah yang dibutuhkan oleh kantor pemerintah terutama untuk menyalin dokumen dan memegang buku. Tiga tahun sesudah sekolah pertama dibuka, 75 murid telah mendapat pekerjaan di kantor-kantor pemerintah, di kantor kepala laras atau sebagai pengawas kegiatan budi daya.
Ketika Fort de Kock berkembang karena kedatangan para pengrajin, pedagang dan sebagainya. Sekolah di Fort de Kock menarik murid-murid dari desa di kaki bukit yang berdekatan. Pada umumnya keluarga penghulu dari dataran padi Agam terutama di dataran menolak sekolah semacam ini. Sekolah ini dimanfaatkan oleh keluarga yang menurut riwayatnya berkecendrungan kepada pertanian, perdagangan atau agama terwakili dengan baik di sini.
Sistem kopi baru tahun 1847 tiba-tiba menjungkirbalikkan kebijakan tindak campur tangan dalam kehidupan desa, sampai jauh lebih luas daripada keputusan untuk mengejar sasaran menciptakan aristokrat desa. Belanda tidak hanya menuntut kerjasama penghulu terkemuka di desa atau distrik.
Untuk memastikan perluasan areal kopi, minat para penghulu pada tiap tingkat harus dirangsang dan dipertahankan. Untuk ini diupayakan adanya satu sistem pemberian insentif. Desa-desa yang menghasilkan cukup banyak kopi untuk gudang-gudang pemerintah diberi hadiah berupa perpanjangan gaji penghulu dan kepala negeri, dan sepertiga untuk penghulu gabungan.
Sistem semacam ini meniadakan keseluruhan kehebatan budi daya kopi Minangkabau. Sebelum itu kopi sangat menarik banyak keluarga desa sebab setelah izin diberikan untuk penyisihan tanah, para penanam sebagian besar dikeluarkan dari pengawasan administratif kepala suku dan usaha serta dinamisme perorangan mendapat penghargaan yang tinggi. Sekarang kebun-kebun kopi yang sering terletak di tepi dan lereng yang jauh dan tidak kelihatan dari desa, dipaksa masuk ke dalam orbit lembaga administrasi desa.
Minat resmi Eropa juga melanda desa. Jenjang administrasi baru untuk pegawai Eropa diciptakan dengan membagi Keresidenan Dataran Tinggi Padang, yang tadinya juga afdeling atau bagian, menjadi afdeling yang setara dengan keregenan lama/kabupaten dengan pembagian politis seperti Tanah Datar, Agam, Limapuluh Kota, Rao dan sebagainya.
Sejak sistem keregenan gagal, diputuskan bahwa apa yang dilakukan di Jawa oleh seorang Regen, di Minangkabau akan dilakukan oleh pejabat Eropa, oleh seorang asisten residen untuk afdelingen atau oleh kontrolir untuk satu atau beberapa distrik. Jenjang adiministrasi dengan pegawai Belanda diatur dan diberi nama kembali selama abad 19, makin lama makin besar dan makin ruwet, sedangkan administrasi desa Minangkabau, yang dikepalai oleh kepala negeri dan kepala laras, tetap tidak berubah sampai tahun 1914.
Pejabat Eropa sekarang langsung terlibat dalam ekonomi desa, tugasnya mencakup mengadakan inspeksi secara teratur di kebun kopi. Dengan cara ini pengawasan para pejabat Eropa dan penghulu mencampuri kehidupan para petani yang dulunya dengan menanam kopi telah bisa menyingkirkan diri dari norma-norma konvensional. Terutama penghulu menjadi agen budi daya kopi pemerintah, dan ini adalah tugas utama bagi mereka.
Atas nama pemerintah, dan bertindak atas intruksi pejabat Eropa, mereka harus terus menerus mencampuri budi daya kopi petani. Pejabat-pejabat pemerintah memberikan pendapat mengenai dimana harus menanam, bagaimana menanam, pohon apa yang harus dipakai untuk naungan dan sebagainya. Campur tangan ini dirasakan berat terutama di desa-desa perbukitan yang tentu saja merupakan pendukung utama sistem kopi.
Kontrolir Belanda mencampuri urusan petani pada tiap tahap kegiatan penanaman kopi: penanaman harus membuat teras pada lahannya, membersihkannya, menanam tanaman pelindung yang cocok dan secara teratur memapasnya, semuanya untuk memenuhi gagasan sang kontrolir lokal, yang memeriksa kebun tiap bulan September untuk melihat pertumbuhan bibitnya. Seringkali kebun harus dibuka di tempat yang tanahnya tidak cocok atau di tempat yang terlalu jauh dari desa. Kadang-kadang pohon yang dipilih untuk naungan malah mematikan bibit yang baru.
Kunjungan September Sang Kontrolir tidak merupakan campur tangan akhir yang dilakukan pejabat ini setiap tahun pada penanaman kopi. Dia membuat kunjungan inspeksi lagi tiap bulan Maret, untuk melihat pohon-pohon baru, menghitung dan menilai serta memerintahkan untuk membuang pohon yang kurang baik. Tidak hanya itu saja. Kalau dia tidak ada, penghulu suku dengan kewenangannya yang dimiliki berhak, bahkan berkewajiban, mengawasi panenan.
Tuntutan pengendalian mutu memang dirasakan sangat berat. Petani hampir tidak bisa memetik kopi sekaligus pada suatu waktu tertentu dalam satu tahun, menjualnya dan mengerjakan pekerjaan lain untuk menambah penghasilannya. Sekarang dia harus memetik beberapa kali karena buahnya tidak serentak masak, dan tiap kali harus memprosesnya dan menyerahkan ke gudang. Menurut sebuah perkiraan Belanda, untuk satu pikul kopi yang diserahkan ke gudang, satu keluarga menghabiskan 120 hari kerja.
Selama beberapa tahun pemerintah puas dengah hasil yang dicapai sistem wajib setor. Ekspor naik secara mencolok pada tahun-tahun awal dan kenaikan harga barang kebutuhan pokok seperti beras memaksa dia untuk hanya menanam tanaman yang sudah ia kenal dengan baik. Pada tahun 1857 jumlah kopi yang diekspor 191 ribu pikul. Tahun antara 1847-1862 merupakan masa jaya sistem wajib setor.
Sesudah itu rasa benci orang-orang Minangkabau terhadap budidaya kopi berangsur timbul. Harga yang dibayar pemerintah di depot-depot dataran tinggi jauh di bawah harga beli di Padang. Pada tahun 1856, misalnya, harga beli pemerintah di pedalaman adalah f 7, namun harga jualnya di Padang adalah f 30. Karena harga yang dibayarkan kepada petani begitu rendah, berarti insentif untuk memperluas penanaman kopi juga tidak ada lagi. Dengan cepat pundi-pundi uang Belanda bertambah penuh.
Sekarang kopi tidak hanya dianggap usaha yang tidak menguntungkan dari segi pendapatan, tapi juga sudah tidak menarik lagi dari segi kebebasan sosial yang dulu dimiliki petani kopi. Sistem ini sangat bersifat paksaan. Semua ancaman hukuman pemerintah diperlukan agar statistik produksi bisa naik, dan dari catatan harian para pejabat Belanda dan minangkabau tahun 1860-an terlihat bahwa orang yang melalaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan kopi mendapat hukuman yang sama dengan orang yang tidak mau melakukan kerja paksa. Bahkan desa-desa di dataran yang tidak bisa ditanam kopi tidak luput dari beban untuk menyukseskan sistem ini.
Untuk membangun gedung-gedung dan jalan-jalan utama penduduk diwajibkan kerja paksa bersamaan dengan sistem wajib setor kopi dan kebanyakan tenaga untuk kerja ini dikerahkan dari desa-desa di dekat pusat administrasi di Batu sangkar, Fort de Kock, Solok dan Payakumbuh.
Tahun 1870, kebencian terhadap budi daya kopi sudah tampak sekali. Seorang pejabat belanda di dataran tinggi menulis pada tahun 1870 tentang mundurnya produksi kopi di desa-desa di Gunung Merapi dan Gunung Talang.
Dengan demikian berkembanglah dinasti pegawai negeri di minangkabau. Setelah belanda mengadakan reorganisasi di bidang pendidikan tahun 1870-an, keluarga yang sudah mempunyai tempat berpijak dalam dinas sipil merasa bahwa investasi mereka dalam pendidikan sangat menguntungkan.
1874
Cengkraman kekuasaan Belanda semakin kuat atas tanah Minangkabau. Padang telah berubah dari kampung sepi di tepi sungai menjadi pusat administrasi gaya Eropa. Kota ini telah menjadi kota modern yang megah dengan pelabuhan internasional yang menyediakan gedung-gedung militer dan administrasi. barak militer, gudang senjata, gudang mesiu, tempat penyimpanan barang, penjara, rumah sakit, rumah dan sekretariat untuk residen.
Di Padang kelas sosial yang terdiri atas para perajin, pedagang dan pembudi daya semakin mapan. Kampung untuk orang orang India Muslim disebut kampung keling, yang awalnya kaum lelakinya bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan pedagang kecil telah berubah menjadi elite masyarakat. Juga masyarakat Eropa menempati lapisan paling atas sebagai tuan besar. Dengan meningkatnya jumlah tentara Eropa yang tinggal di benteng, masuk juga bersama mereka perlengkapan yang berasal dari budaya Eropa.
Sekarang seluruh pedalaman Minangkabau sudah berada di tangan Belanda dan rupanya sebuah era telah berakhir. Tak ada lagi kekuatan yang mampu mengusir kekuasaan Belanda dari seluruh wilayah pedalaman Minangkabau. Kekuatan militer Padri telah berhasil dihancurkan. Semua kekuatan penduduk asli yang akan bergabung melawan orang Eropa sudah berhasil diredakan.
Yang ada sekarang hanyalah gerutuan tidak puas di seluruh dataran tinggi disebabkan banyak hal, satu diantaranya adalah kebencian terhadap cukai pasar, yang dirasakan secara luas. Lainnya adalah penolakan terhadap kebijakan belanda yang mempersyaratkan jasa kuli. Bagian-bagian administratif baru, yang ditetapkan oleh Belanda, diwajibkan untuk berfungsi sebagai pemasok tenaga kerja untuk membangun jalan baru, mengangkut perlengkapan militer, merawat benteng dan rumah sakit atau untuk mengantarkan barang. Tiap distrik diminta untuk menyediakan sejumlah orang pada waktu tertentu untuk bekerja selama satu atau dua minggu dengan makan dan peralatan yang disediakan oleh desanya.
Perubahan administratif yang berhubungan dengan sistem penghulu yang digaji Belanda juga memuakkan. Tiap suku yang wakilnya tidak memperoleh kedudukan sebagai kepala negeri dalam dewan desa diasingkan dari sistem itu, apalagi kalau orang yang baru diangkat itu memakai kedudukannya untuk membalas dendam. Orang-orang yang mendapat kehormatan istimewa ini biasanya juga tidak awet sebagai favorit pejabat yang mengangkatnya. Pengangkatan yang disusul dengan pemecatan sudah merupakan hal biasa, yang berakibat timbulnya rasa benci terhadap sistem baru di antara mereka yang sebetulnya bisa menjadi pendukung sistem itu.
Ada juga keluhan yang bersifat ekonomi. Sudah tampak jelas bahwa Belanda berniat melibatkan diri dalam usaha menghasilkan dan memperdagangkan kopi. Di bawah De Stuers, dilakukan upaya membujuk desa-desa tertentu di tanah datar untuk membuat kebun kopi menurut model Jawa. Yang lebih menjengkelkan pada waktu itu adalah usaha Belanda meningkatkan mutu panennya dan untuk ini mendirikan pos resmi di salah satu jalan utama dari dataran tinggi turun ke Pariaman dan di tempat ini kopi harus diperiksa kalau ada cacatnya.
Bagi Lima puluh kota, keadaannya menjadi lebih buruk ketika terungkap Belanda, ekspor gambir dan kopi ke pangkalan kota baru dan pantai Timur sebagai bertentangan dengan kepentingan mereka. Rute dagang utama ke Timur ditutup dan mengalihkan ke Padang.
Belanda mulai menuntut jasa kuli dan banyak laki-laki dikerahkan untuk mengerjakan jalan raya Pos dan rel kereta api, dan untuk mengangkut makanan dan material untuk pasukan belanda di pedalaman.
Pada tahun 1886 ekspor kopi anjlok menjadi 48 ribu pikul. Dalam dekade berikutnya, dengan adanya begitu banyak tanah yang miskin, diputuskan bahwa pemerintah tidak bisa lagi didasarkan atas keuntungan sistem perpajakan untuk Minangkabau dan mulai diberlakukan pada tahun 1908. Pada tahun yang sama sistem wajib setor kopi berakhir.
Industri pertenunan mendapat pukulan keras akibat impor Eropa, sudah sejak tahun 1860-an para penenun di desa harus beralih dari penghasil kain untuk dipakai sehari-hari menjadi penghasil kain bergengsi, seringkali sutera dengan benang emas yang mahal dan terbatas pemasarannya. Ini diiringi dengan mundurnya usaha penanaman kapas di dataran rendah dan penanaman indigo di bukit-bukit juga hampir mati tahun 1880. Industri peleburan besi juga ambruk, karena harus menghadapi besi Eropa yang lebih murah.
Permulaan pembudidayaan karet di dataran tinggi Minangkabau dan perluasan penanaman kopi secara bebas di daerah terpencil. Minangkabau mulai ditarik ke dalam ekonomi pasaran dunia. Pada pertengahan tahun 1850-an tembakau mulai ditanam dalam skala besar daripada sebelumnya terutama di desa-desa bukit di limapuluh kota, solok, dan tepi danau singkarak.
Pembudidayaan tebu untuk pasaran dalam negeri juga naik sekali. Tahun 1877 dilaporkan adanya perkebunan yang sangat luas antara Padang Panjang dan Fort de Kock, semuanya di daerah pegunungan, dan tebu juga tumbuh dengan lebat di bukit-bukit di sekitar Batipuh.
Ekspedisi Sumatra tahun 1877 yang disponsori pemerintah Hindia Belanda membuka laporannya mengenai perdagangan sebagai berikut: di mana-mana di Sumatra Tengah terdapat perdagangan yang aktif. Orang-orang Melayu sama baiknya sebagai pedagang dan sebagai petani, dalam menawar dia menunjukkan kesabaran yang luar biasa. Para anggota ekspedisi terkesan oleh bukti adanya pasar yang ramai di mana-mana di seluruh dataran tinggi dan oleh kesibukan hari-hari pasar mingguan. Pasar-pasar besar di bukit tinggi, batu sangkar, payakumbuh dan padang panjang, yang sekarang menjadi pusat kota, makin menarik banyak orang dengan melajunya abad 19 dan pasar-pasar mulai diadakan tiap hari bukan hanya seminggu sekali.
BENTENG BELANDA
Garnisun yang ditempatkan di Minangkabau yang tinggal dalam benteng-benteng semakin kuat. Letaknya yang strategis di suatu tempat yang tinggi di atas beberapa desa untuk mengawasi gerak gerik musuh di daerah sekitarnya, tetapi kalau didirikan di persimpangan yang strategis bangunan ini menjadi titik pusat yang memiliki kekuatan politik dan ekonomis bagi penduduk sekitarnya.
Di tanah datar, benteng Fort van der Capellen dibangun di atas bukit di dekat batu batu karang yang disebut batu sangkar, di seberang sungai Selo dari Ibukota Pagaruyung lama dan tempat garnisun ini segera menjadi perkotaan. Tempat ini segera menjadi ibukota afdeling dataran tinggi Minangkabau.
Di Fort de Kock di Agam, sebuh benteng dibangun di atas bukit hampar di tengah tengah lembah Agam, dengan pemandangan yang indah di daerah sekitarnya.
Tempat-tempat garnisun ini sekarang menjadi daya tarik ekonomis bagi desa-desa sekitarnya yang mengkhususkan diri dalam memasok penghuninya. Beras, daging dan kuda untuk keperluan militer terus diperlukan dan pasar garnisun menjadi sangat sibuk. Fort de Kock tidak saja memiliki pasar yang ramai yang dikunjungi 200-300 orang tiap hari, disamping ribuan pada hari pasar mingguan, telah menjadi kota modern. Pedagang kecil, Eropa, Koja dan Cina telah mapan disini dan menjalankan perdagangan yang menguntungkan. Beberapa orang Minangkabau menjadi kaya karena menyediakan susu bagi penduduk Eropa.
Garnisun Belanda yang modern disertai jalan-jalan raya yang bagus. Perawatan jalan dilakukan Belanda secara teratur di dataran tinggi, karena ini diperlukan untuk mengangkut hasil bumi dan persenjataan berat.
Semua desa yang penting bagi Belanda sudah bisa dicapai dengan jalan yang bagus. Payakumbuh, pasar besar di Limapuluh Kota sudah bisa dicapai dari pos Belanda yang paling terpencil di Tanah Datar dalam waktu 7 jam berkuda sepanjang jalan lebar yang terawat baik.
Pasukan belanda yang bergerak juga memerlukan banyak orang untuk mengangkut barang-barang. Setiap tiga serdadu yang pergi ke dataran tinggi harus disertai satu pembawa perlengkapan dan bekal makanan, dan para pembawa ini juga harus mendirikan gubuk-gubuk di pos-pos perhentian dan menarik artilerinya. Orang laki-laki yang tegap sering dikerahkan dari desa-desa dan dengan demikian mengurangi tenaga kerja untuk bercocok tanam karena pada waktu begitu banyak orang diperlukan dalam pertempuran sebagai serdadu cadangan.
Pada suatu hari, pada tahun 1904, seorang pejabat Belanda di Fort de Kock menghitung 29.000 orang dalam perjalanan menuju pasar yang berdekatan dan ini ia anggap bukan hari yang sibuk. Perhitungan serupa yang diadakan tahun 1879 mencatat 15.000-16.000 pengunjung pasar.
Kebanyakan kegiatan pasar masih di tangan pedagang kecil yang bekerja dengan kredit dari pedagang yang lebih besar atau dengan mengumpulkan modal dalam ikatan kemitraan sementara. Sedikit sekali orang Minangkabau yang berkembang menjadi pedagang besar, meskipun ada satu dua perkeculiaan di pusat-pusat perdagangan utama di dataran tinggi.
Orang-orang ini sering kali berasal dari keluarga penghulu dan pada umumnya telah memiliki status dan modal pada kesempatan awal yang mereka peroleh dalam industri transpor pada awal perkembangannya, dengan mengontrakkan pedati untuk mengangkut kopi pemerintah.
Industri ini makin lama makin menjadi usaha penting, yang tidak hanya melayani kebutuhan pemerintah tapi juga pedagang kecil yang merasa bahwa untuk bisa tetap bersaing mereka juga harus menyewa kereta beroda atau kuda untuk mengangkut barang dagangan mereka. Tahun 1904 jumlah kereta sewa yang terdaftar di kantor polisi di Fort de Kock berjumlah 531, dibandingkan tahun 1892 yang hanya berjumlah 125. Di Limapuluh Koto tahun 1885 dari 33 kereta meningkat menjadi 1020 pada tahun 1904.
Pialang Cina masih menjalankan fungsi perpialangan yang penting di daerah pelabuhan. Jauh memasuki abad 20 para pialang cina menangani komoditi pertanian Minangkabau untuk dikirim ke pasaran luar negeri. Seperti telah diramalkan oleh Van Den Bosch jauh hari sebelumnya, bila mereka bisa menempatkan diri di dataran tinggi, para pialang Cina akan berhasil menyaingi orang Minangkabau sebagai pedagang grosir dan pialang. Perdagangan tembakau di Payakumbuh, semuanya jatuh di tangan mereka.
Tenaga administrasi kopi Minangkabau inilah yang membentuk inti birokrasi Minang. Seperti yang terjadi dalam penanaman kopi pada masa lalu, sekarang kedudukan dalam administrasi kopi merupakan sarana bagi orang-orang, dengan kemauan kuat tetapi tanpa modal, di desa untuk mendapatkan lapangan yang lebih luas bagi tenaganya. Untuk menjadi kepala gudang dituntut kemampuan membaca bahasa melayu dan pengetahuan dasar tentang memegang buku, karena kepala gudang wajib mencatat semua produksi kopi di distriknya.
Gaji f 20 perbulan, ini sama banyak dengan gaji banyak kepala negeri, dan di samping itu ia mempunyai lapangan luas untuk membantu sanak dan saudara, karena tiap daerah pengiriman kopi secara bertahap membentuk tim administrasi yang lebih besar dari jumlah pegawai di kantor asalnya.
Selama abad 19, dengan meluasnya kantor pemerintah di Sumbar yang berpegawai Eropa, makin banyak kesempatan bagi orang-orang Minang di jajaran rendah dinas sipil, sebagai inspektur dan pembina pertanian, sebagai pegawai kantor dan juru tulis, sebagai pesuruh dan sebagainya. Lambat laun muncul keluarga khusus bekerja sebagai pegawai sipil.
Yang memanfaatkan kesempatan menduduki jabatan-jabatan baru ini adalah dari kelompok sosio ekonomi tingkat menengah di desa-desa pegunungan, terutama desa daerah penanaman kopi. Kelompok ini sudah mengembangkan tradisi meninggalkan desa untuk berdagang atau mempelajari suatu kerajinan. Mereka juga sudah sejak lama menganjurkan anak-anak muda mereka untuk meninggalkan rumah untuk belajar di surau yang penting, yang berarti mereka melek huruf Melayu.
Sekarang kesempatan untuk memperoleh pendidikan di Jawa bahkan di Nederland terbuka bagi mereka. Demikian juga kesempatan menduduki jabatan administratif di seluruh hindia belanda dan kemudian juga untuk profesi sekular seperti kedokteran dan hukum. Dari kasus Agam kita bisa belajar banyak. Pada tahun 1880 dan 1890-an surau-suraunya memberi tanggapan dengan cepat terhadap masalah yang muncul karena perdagangan dalam komoditi pertanian yang baru.
Pada awal abad 19, desa perbukitannya tempat penanaman komoditi ini telah mencoba untuk mereorganisasi daerah mereka agar dapat menghadapi akibat pola dagang dan pola pertanian baru.
Pada tahun 1840-an, dengan gagalnya pemberontakan mereka dan menghadapi kenyataan pemerintah kolonial, beberapa keluarga di desa-desa ini memutuskan untuk mencari kemajuan yang sebaiknya. Ternyata mereka telah memilih dengan bijaksana.
Kalau pada masa lalu desa-desa ini menghasilkan gugusan keluarga pedagang dan perajin, sekarang yang dihasilkan adalah guru-guru, birokrat, dokter atau ahli hukum, dengan keluarga-keluarga tertentu sering mengkhususkan diri dalam sejenis profesi intelektual tertentu, sama seperti sebuah keluarga berspesialisasi dalam perdagangan tertentu.
Komponen utama golongan elite indonesia abad 20 muncul dari desa-desa Agam ini, dan kaum elite ini terbukti siap menghadapi imprialisme Belanda ketika waktunya tiba. Dalam hal ini desa-desa perbukitan di Agam melanjutkan perjuangan nenek moyang Padri mereka, tidak lagi bersenjatakan ideologi yang diajarkan oleh Wahabi di Arab, tapi lebih merupakan hasil perkembangan sejarah di Eropa Barat.
Petani minangkabau mulai menganut mental ekonomi dan individualisme yang makin meningkat yang berbeda dari masa lalu sehingga disebut dengan istilah Revolusi dalam pandangan/jiwa. Suatu masa kemunduran produksi, yang boleh dikatakan membuat rakyat bergembira karena bebas dari suatu kewajiban yang mereka benci, yakni penghentian pembudidayaan, disusul dengan suatu masa kebangkitan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di sini kita berurusan dengan revolusi dalam jiwa, serupa dengan apa yang terjadi pada awal masa kapitalis di Eropa. Mental ekonomi telah memasuki ajang. Di mana-mana di Sumatra Tengah terdapat perdagangan yang aktif.
Pada tahun 1890-an Minangkabau disapu gerakan pembaruan ortodoks. Kekuatan motivasinya berasal dari Syekh Ahmad Chatib, seorang keturunan kadi Padri dan penduduk asli desa kerajinan emas Kota Gedang di dekat Bukit Tinggi, yang sudah sejak lama terkenal dengan suraunya yang penting.
Ahmad Chatib adalah seorang pedagang kecil di Agam yang pergi ke Mekkah pada tahun 1876 dan disana menjadi guru yang berpengaruh dikalangan murid-murid minangkabau. Ortodoksinya banyak persamaan dengan padri. Dari 49 bukunya, sebagian besar menyerang sistem pewarisan matrilineal minangkabau, dan mengecam tarekat yang dikatakannya sebagai heterodoks.
Pada awal tahun 1900-an gerakan pembaruan kolot rupanya sudah diturunkan ke dalam tangan murid Ahmad Chatib sendiri, yang kembali ke Minangkabau untuk hidup sebagai guru agama yang independen, di luar kerangka kerja persaudaraan apapun. Seluruh gejala bangkitnya guru agama independen di minangkabau, yang layak disebut ulama, juga perlu diteliti, seperti halnya perbedaan antara madrasah mereka dan surau yang dikelola persaudaraan.
Yang pasti, jumlah guru didikan Mekkah meningkat pada akhir abad 19, dan kepada merekalah Ahmad Chatib mengarahkan gerakannya. Ulama ini mempertahankan hidup gerakan ortodoks dengan mengadakan serangan pada tarekat dan surau mereka, dan pada inovasi tak sah dalam praktik keagamaan/bidah. Selanjutnya mereka menganjurkan agar meninggalkan taklid dan kembali ke sumber asli hukum yaitu quran dan hadis yang bisa ditafsirkan dengan ijtihad. Tampak jelas persamaannya dengan gerakan padri.
Ahmad Chatib sendiri sangat kritis terhadap modernisme Islam beberapa ulama Muslim di Timur Tengah, tapi akhirnya tepat ketika gerakan Padri harus meninggalkan ortodoksinya yang ekstrem, cabang utama gerakan pembaruan kolot cendrung bergabung menjadi gerakan Islam kontemporer di Minangkabau yang memiliki asas modernisme Islam terutama di sekitar kota Padang, Padang Panjang, dan Bukit Tinggi.
Kesimpulannya bahwa peninggalan gerakan Padri di Minangkabau tidak pernah terhapus. Memang pembaruan tidak pernah bisa dihilangkan dari suatu agama yang begitu menekankan sebuah Kitab dan contoh dari suatu masyarakat yang berminat terhadap sejarah. Lebih-lebih lagi, perhatiannya terhadap pembaruan, cepat tanggap terhadap keadaan yang berubah, merupakan ciri kehidupan Minangkabau.
Hidup di ketinggian pegunungan Bukit Barisan, orang Minangkabau mempertahankan hasratnya untuk menentukan nasibnya sendiri, dan setelah jangka waktu panjang dalam sejarahnya ia menemukan dalam Islam sarana untuk mencapai hal itu. Lebih dari segalanya, sejarahnya telah mencerminkan keinginannya, yang diungkapkan oleh Imam Bonjol sebelum dia tertangkap, yaitu menjadi seorang Melayu yang bebas.
Penulis adalah anggota Tan Malaka Institute (TMI)
Menyukai ini:
Suka Memuat...