“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki pemuda…” (Tan Malaka)
Saya hendak mengatakan jika modernisasi telah gagal memberikan pemahaman yang sangat ciamik bagi dunia akademik. Dampak buruk pada akhirnya adalah pada kurikulum yang di buatnya. Pendidikan tidak lagi menjadi jalur yang tepat untuk mencerdaskan anak bangsa, kecuali memberikan penampakan baru pada jalur industri.
Tesis sementara saya, mahasiswa generasi milenial menjadi sangat hedonis, acuh pada banyak persoalan sosial, bahkan perbaikan mental diri sendiri. Pembacaan saya, itu semua akibat narasi besar pendidikan yang telah dilumat kuat oleh kepentingan gurita pasar global.
Miris melihatnya itu pasti !! kian hari gizi intelektual mahasiswa semakin ringkih, gagab, cemas, dan kehilangan kendali nilai kritisnya. Hal ini saya merasakan dampaknya. Setiap hari saya dihadapkan dengan mahasiswa yang begitu nyaring bersuara tapi lemah dalam memberikan wacana.
Oleh sebab itu, penting kiranya mahasiswa kembali membuka tirai lama dari banyak arsip perihal pengertian “Mahasiswa” dan bisa pula mendalaminya langsung kepada saksi sejarah tetang gemelut “66, dan 98.” Tak ada salahnya kemudian masa lalu menjadi aktua kembali, seperti cerita Dilan dan Milea di tahun 1990.
Lembaran itu sedikit demi sedikit saya kembali membukanya, walaupun ini terlihat “ Berat !” tapi saya tetap lalui walaupun dengan pelan dan persedian bacaan yang masih minim. Ada banyak catatan yang kemudian saya berani berpendapat.
Pendapat saya kemudian, mahasiswa adalah “Agent of change.” tentu kabar ini sudah tidak asing, tapi kenapa tidak ada perubahan yang siginifikan? apakah sudah tidak relevan? Bukan, sebab mereka tidak bisa menumbuhkan catatan perjuangan yang baru seperti Gie, Tan, dan Gramscy di masalalunya.
Berikutnya mahasiswa adalah sebagai aspirasi kedaulataran rakyat, dan menjadi hakim yang bijak menentukan arah dan tujuan pemikiran untuk membangun peradaban. Itu sebabnya perguruan tinggi dibutuhkan, bukan menjadi Jubir yang memberikan rasionalisasi dari narasi kebijakan negara.
Perubahan sosial memang tidak segampang yang kita bayangkan, kata Dilan mahasiswa tidak akan kuat. Mahasiswa tetap butuh struktur negara sebagai miniatur kesejahteraan, tinggal bagaimana kedua pihak ini bisa mengatur rumusan yang bijak tentang tujuan dari perubahan sosial itu sendiri. Mulai dari sosial humanity, politik, kebudayaan, dan ekonomi.
Hal yang paling penting, mahasiswa harus bisa memposisikan diri sebagai subjek yang netral tidak diikat oleh kepentingan ideologi manapun supaya ia objektif didalam menilai setiap peristiwa. Netral dan objektif adalah sikap politiknya supaya ia juga bisa mendapat predikat yang sama sebagai “Manusia Politik.”
Menolak kesepakatan sepihak oleh negera, ragu atas kebijakan DPR, dan anti pada penjajah adalah hal yang niscaya bagi mahasiswa. Ia mempunyai kebebasan hukum untuk menafsirkan segalah objek yang ada, ia kebal hukum sejauh ia berpihak pada kebenaran aktual (riset).
Jika kemudian ada kasus kriminalisasi yang sering kali menimpa mahasiswa atas nama hukum perdata maupun hukum positif, itu menunjukkan ada nilai catat ditubuh negara kita yang sudah hamil tua. Kita boleh bertanya kemudian anak siapa yang ia keluarkan menjadi hukum?
Celakanya kemudian, sejarah panjangan mahasiswa Indonesia yang di tulis oleh banyak sejarawan, keberadaanya memang tidak perna dianggap ada oleh negara. Kebijkan NKK/BKK semisal, mahasiswa sebatas manusia kerdil yang hanya ngerjain tugas dan apsensi 70 % yang menjadi hak dan kewajibanya. alasanya mahasiswa memang menjadi ancaman yang sangat menakutkan oleh setiap rezim, baik negara maupun monarki.
Mulai dari tragedi Malari, sampai penumpasan 65, dimana orang yang hebat dan kritis dibungkam habis. Ada yang di penjara, dibuang kepelosok belantara yang dihuni oleh binatang buas (Baca : Hantu Digoel), dan ada pula mahasiswa yang hilang tanpa jejak.
Mulai dari situ kita bisa berkesimpulan, adakah harapan bagi generasi milenial menjadi mahasiswa yang diharapkan peradaban modernis, yaitu rasional dan kritis pada kenyataan jika pendahulu mereka yang hebat dan kritis dilenyapkan?
Bahkan republik ini tak pernah berharap ada orang seperti Aidit, Tan, Nyoto, dan Musso. Dalilnya mengancam kekuasaan.
Peristiwa itu merupakan upaya serius pemerintah Indonesia supaya mahasiwa lupa pada narasi besarnya sebagai “Penggerak Perubahan.” Contoh kasus yang akhir-akhir ini semisal, berkelompok harus legal dari pemerintah, dan DPR juga tidak boleh di kritik.
Lantas kejadian ini membuat aku mengingat rezim orda baru yang dikemas dengan bungkus yang berbeda, Orba dengan tangan besi, berani buka mulut langsung mati, akan tetapi hari ini kau boleh berdebat dan berdemokrasi, tapi tidak boleh buat pak Jokowi dan DPR supaya tidak dipersikusi, cukup di warung kopi.
Yang lebih keji lagi adalah kesadaran mahasiswa dikebiri dengan mainan teknologi dengan argumentasi kemajuan modernisasi yang harus di ikuti. Ingin bahagia cukup main game saja, mau berperang karena rasa kesal sama pemerintah game mobile legend juga ada.
DALAM era digital yang berkembang pesat, industri ekspedisi menghadapi tantangan dan peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan pertumbuhan bisnis
PILKADA merupakan momentum krusial dalam sistem demokrasi Indonesia. Masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin lokal yang akan mempengaruhi arah dan
Oleh: Mauzun Visioner (Pegiat Literasi) PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur sedang mencuri perhatian publik. Pasalnya, Pilgub kali ini menampilkan tiga figur
FIGUR kyai masih menarik untuk dilibatkan atau terlibat pada kontestasi pilkada 2024. Pernyataan tersebut setidaknya sesuai dengan kondisi proses pilkada