Tuhan tidak pernah mencabut ilmu pengetahuan, melainkan dengan mengangkat nyawa para ulama. Begitulah pesan Rasulullah dalam salah satu hadisnya, bahwa tidak sedikit para alim yang kemudian menjadi tanda dari kebesaran Tuhan dan utusan-Nya. Berbagai label yang disematkan, apalagi ketika ia memiliki sisi supernatural atau dalam tradisi pesantren dikenal dengan harikul adah (di luar kebiasaan). Kemudian berjubel pesan yang dimuat melalui beragam tulisan ilmiah maupun tulisan bebas.
Mbah Maimoen atau Kyai Maimun Zubair, di samping sebagai politisi di masa muda, beliau juga pencinta ilmu yang luar biasa. Pengembaraannya ke kota Makkah al munawwarah tidak hanya menyisakan berbagai cerita, melainkan memberi warna atas kedamaian dan kearifan hubungan sosial di Indonesia pun di dunia. Melalui wadah organisasi NU dan PPP beliau berjuang mengusung nilai dasar ajaran agama yaitu sisi kemanusiaan, sedang melalui pesantren beliau berjuang meneguhkan – sembari menanam benih-benih keimanan kepada Tuhan.
Keteguhan dan semangat yang terus dituangkan adalah bentuk dari pengamalan ilmu yang beliau dapatkan. Harapannya terwariskan kepada siapa saja yang pernah belajar kepada beliau, pun masyarakat luas. Sudah tujuh hari setelah beliau tilar (red: wafat), masih saja menyisakan duka yang mendalam, tidak hanya bagi keluarga, ternyata bagi khalayak luas. Berbagai hal yang bisa dikenang tertuang dalam berbagai memoar di media cetak maupun media online. Jika memang hal ini menjadi tonggak estafet pergantian, maka harus diterima dengan legawa, walaupun pastinya akan banyak yang merasa tidak pantas menggantikan beliau, khususnya di kalangan NU sendiri.
Mbah Moen tidak hanya menyalurkan pengetahuan yang beliau miliki namun menerapkan dalam kehidupan sehari-hari, hal ini yang kemudian menjadi teladan bagi kita semua. Etika yang luhur menjadi wujud atas sikap saling menghargai satu sama lain. Sehingga tidak hanya dikenang melainkan akan terus hidup di dalam hati setiap masyarakat. Mbah Moen adalah wajah kesejukan dan kedamaian, serta akan selalu menjadi teladan bagi bangsa, bahwa etika di atas segalanya.
Banyak pesan dari Mbah Moen yang berlandaskan kepada etika. Ketika Mbah Hasyim Asyari memaknai al ilm an nafi’ sebagai hikmah atau kebijaksanaan, maka Mbah Moen menerapkan kebijaksanaan tersebut dalam kehidupan. Dari berbagai tulisan di berbagai media akhir-akhir ini, terlihat bahwa Mbah Moen adalah simbol dari etika itu sendiri. Sepatutnya setiap manusia memilikinya. Bukan saling menilai kebaikan diri sendiri melainkan menjunjung asas kemanusiaan. Bukan merasa paling benar atau paling mengerti, melainkan menjunjung nilai-nilai untuk—kemudian belajar bersama.
Ketika banyak di luar sana yang mengenang para ulama dengan karomah yang di milikinya, pun dengan Mbah Moen, banyak sekali yang mengabadikan cerita tentang karomah beliau. Karomah yang muncul dari kesabaran dan ketlatenan beliau dalam memahami siapa pun, baik santri yang mondok ataupun ngalap barokah, pun para pejabat atau masyarakat yang silaturahmi kepada beliau mengadukan keluh kesahnya. Tidak pandang bulu, siapa pun diterima, dan inilah yang menjadi bukti bahwa—meminjam istilah Muhsin Labib—Islam adalah sosialisme itu sendiri. Sehingga para ulama adalah wujud dari keteduhan Islam itu sendiri. Bukan saling sindir atau saling tantang di sosial media, hanya untuk menjaga eksistensinya. Islam rahmatan li’alamin benar-benar dijaga—bahkan dikerjakan oleh Mbah Moen. Maka wajar ketika beliau tilar bukan hanya keluarga atau Indonesia yang kehilangan, melainkan umat Islam bahkan warga dunia.
Semoga kita semua mendapatkan keberkahan dan semangat atas apa yang Mbah Moen wariskan kepada kita, yaitu wujud wajah kesejukan, melalui moral dan meta—etika yang beliau contohkan semasa sugeng.
Sedang Nyantri di Bayt Al-Karim Gondanglegi dan Bayt Al-Hikmah Kepanjen Malang