Hampir sudah dipastikan akan ada empat calon pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur di Pilgub Jabar 2018. Pasangan pertama yakni PDI P yang mengusung TB. Hasanudin dan Anton Charlian, kedua Partai Demokrat dan Partai Golkar yang mengusung Deddi Mizwar dan Deddi Mulyadi, ketiga Partai Gerindra, PKS dan PAN yang mengusung Sudrajat dan Ahmad Syaikhu, dan keempat yakni Partai Nasdem, PPP, PKB dan HANURA yang mengusung Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum.
Muncul pertanyaan dalam benak kita, kemana kira-kira Pakde Jokowi akan memberikan dukungan untuk pertempuran politik terbesar nasional di Pilpres 2019? Dan bagaimana strategi politik Pakde Jokowi untuk memenangkan perang pengaruh politiknya di Jawa Barat yang merupakan lumbung suara terbanyak di Indonesia untuk Pemilu dan Pilpres? Berbeda dengan para pengamat politik lainnya yang sudah bicara tentang Pilgub Jabar 2019, saya akan mencoba menganalisanya dari perspektif lain:
Selama dua periode kepemimpinannya Gubernur Ahmad Heryawan (Aher) telah menancapkan pengaruhnya di seluruh pelosok Jabar melalui Gerakan Birokrasi dan kader-kader PKS nya. Tiada hari bagi Aher selain berkampanye politik untuk dirinya dan partainya (PKS). Semua ini dapat kita lihat dari banyaknya baligo-baligo, pamflet-pamflet atau spanduk-spanduk yang memajang foto Aher atau istrinya (Netty Heryawan) di seluruh pelosok daerah Jabar, dan ini dapat dipastikan semuanya terpasang tidak hanya di jalan-jalan, melainkan pula di sebagian besar kantor instansi Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten/Kota se Jabar. Inilah yang saya sebut sebagai Gerakan Birokrasi.
Pertanyaan berikutnya, kemana perginya Netty Prasetiyani Heryawan, istri Aher hingga beliau absen dari bursa Cagub/Cawagub Jabar 2018 ini? Bukankah beliau selama ini telah diprediksi oleh banyak pihak bahwa beliau akan maju dalam Pilgub Jabar 2018? Lalu jika demikian kemana Aher akan memberikan dukungan, sedangkan Deddi Mizwar yang saat ini jadi Wakil Gubernurnya maju jadi Cagub tidak diusung dari PKS melainkan dari Partai Demokrat dan Golkar? Inilah poin yang sangat menarik dan akan saya jadikan dasar untuk membaca strategi politik Pakde Jokowi.
Sadarkah kita semua bahwa selama hiruk pikuk politik Pilkada DKI Jakarta yang sangat mendebarkan sepanjang zaman Indonesia merdeka itu, PKS nyaris tak terdengar suaranya, kecuali Ormas-Ormas garis keras yang terus bergerak membabi buta, dimana mayoritas kader PKS turut serta di dalamnya? Ya, disini semacam ada keganjalan yang layak kita perhatikan, bahwa PKS tidak pernah bersuara lantang (melawan Jokowi) seperti wataknya semula, melainkan malah membuat gaduh melalui ormas-ormas garis keras. Seorang Fahri Hamzah yang dikenal sangat vokal mengkritisi –meski nampak sering asal bunyi/asbun– Jokowi pun kemudian disingkirkan dari keanggotaannya di DPR RI oleh DPP PKS.
Ada strategi politik tersembunyi Jokowi dan PKS disini, dan ini tidak akan bisa dibaca oleh mereka yang tidak bisa membedakan PKS dan HTI, demokrasi dan khilafah, perjuangan politis dan ideologis. Jokowi sangat berbeda dengan PKS, akan tetapi keduanya sama-sama mempunyai kepentingan yang sama pula, apa itu? Kekuasaan ! Bedanya kekuasaan bagi Jokowi itu untuk kesejahteraan rakyat, tetapi kekuasaan bagi PKS adalah untuk kemakmuran pengurusnya, atau bila bukan itu ya kekuasaan untuk kemajuan semua kader partainya sendiri.
Kekuasaan itulah yang mempertemukan Jokowi dan PKS di Pilgub Jabar 2018 ini, dan itu adalah strategi politik terindah dari Jokowi. Jika diibaratkan seorang petinju, Jokowi tidak menampilkan diri sebagai sosok Mike Tyson yang gemar meng KO kan lawan di babak pertama, tapi Mohamad Ali yang bertinju dengan indah dan menjatuhkan lawannya di babak-babak terakhir. Jokowi tidak membuat PKS tersungkur di Pilgub Jabar 2018, tapi di Pilpres 2019. Karena itulah Jokowi masih sering terlihat mesra dengan Aher dalam setiap kunjungannya di Jabar.
PKS yang di permukaan menjalin kontrak politik dengan Gerindra, tidak benar-benar mengusung kadernya yang populer dan mempunyai elektabilitas tinggi, tetapi malah mengusung Ahmad Syaikhu untuk diduetkan dengan Cagub Sudrajat dari Gerindra yang sama-sama tidak populernya. Ini berarti jebakan PKS untuk Gerindra, agar Cagub yang diusungnya kalah. Dan kalaupun Cagub Sudrajat dari Gerindra menang, PKS juga ikut dapat jatah kemenangan.
Tetapi di belakang layar, jauh tersembunyi PKS menjalin kontrak politik dengan Jokowi, yakni menduetkan Deddi Mizwar sohib Aher dan PKS, dengan Deddi Mulyadi yang secara ideologis (Nasionalis) sama dan dikehendaki Jokowi. Strategi politik ini sangat misterius mengingat PKS dan PDIP tidak mengusung keduanya secara formal, melainkan justru diusung dari Demokrat dan Golkar. Mengapa Deddi Mulyadi tidak jadi Cagubnya? Karena secara hitungan politik Dedi Mulyadi pasti kalah, karena itu strategi politik merangkul Deddi Mizwar adalah pilihan taktis.
Cukupkah Jokowi membuat strategi sampai disini? Tidak. Selain pada Deddi Mulyadi, Jokowi juga memasang Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum. Partai-partai pengusung RK dan Uu semuanya adalah partai pendukung Pemerintahan Jokowi. Sedangkan melalui PDIP Jokowi dan Megawati mengusung dua jenderal untuk memenangkan petempuran Pilgub Jabar 2018, yakni TB Hasanudin dan Anton Charlian. Disini betapa kita lihat, Jokowi nampak tidak ingin main-main dengan Pilgub Jabar. Beliu seperti ingin memastikan, bahwa Jabar harus aman untuk perang politik nasional 2019. Dengan memasang tiga calon gubernur yang didukungnya, dapat dipastikan 80% untuk kemenangan Jokowi di Pilgub Jabar 2018 ! Merdeka !.
*Penulis Adalah Advokat dan pemerhati politik.
Profesi: Advokat KAI (Kongres Advokat Indonesia). dan Penulis, Serta Pemerhati Politik
Menyukai ini:
Suka Memuat...